Mohon tunggu...
Muklis Puna
Muklis Puna Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Penulis Buku: Teknik Penulisan Puisi, Teori, Aplikasi dan Pendekatan , Sastra, Pendidikan dan Budaya dalam Esai, Antologi Puisi: Lukisan Retak, Kupinjam Resahmu, dan Kutitip Rinridu Lewat Angin. Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi IGI Wilayah Aceh dan Owner Sastrapuna.Com . Saat ini Bertugas sebagai Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sebenarnya yang Dibutuhkan Siswa Setelah Belajar, Nilai atau Angka?

26 Desember 2023   19:48 Diperbarui: 27 Desember 2023   07:25 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Mukhlis, S Pd., M.Pd

Pembelajaran semester ganjil Tahun 2023/2024 baru saja berlalu. Rapor bukti keberhasilan belajar sudah dibagikan. Para siswa kegirangan, karena liburan panjang datang menyambang. Seperti ada sesuatu yang mendera jiwa mereka selama satu semester belajar. 

Pada saat calibri ini menari, mereka sedang menikmati liburan bersama keluarga, orang tua dan sanak famili. Sebagian berpergian ke luar kota, sebagian lagi diam di rumah melepaskan penat dari belajar panjang selama 6 bulan berlalu. 

Tempat-tempat hiburan anak -anak jadi ramai membludak, sehingga berdampak pada kemacetan lalulintas. Dilihat sekilas memang ada pergerakan ekonomi musiman bagi masyarakat, apalagi muncul penjual kagetan. 

Ternyata ada hal yang tidak terindentifikasi kasat mata bahwa, di balik perayaan liburan seperti lebaran Idul Fitri ini tersimpan sebuah euforia dari tekanan jiwa yang menghimpit pikiran para generasi emas ini.

Sedikit sekali insan dan pakar pendidikan menyadari hal tersebut. Mereka menganggap bahwa hal ini lumrah dan wajar. Apalagi terjadi pada momen menyambut tahun baru. 

Tulisan ini tidak hendak mengulas tentang bagaimana gemuruhnya perayaan liburan semester tahun ini. Akan tetapi penulis ingin mencari jawaban melalui sebuah analisis mengapa perayaan liburan begitu meriah dirayakan oleh peserta didik.

Perayaan ini mirip sekali dengan orang yang sedang berpuasa selama sebulan penuh, tiba-tiba lebaran datang. Mereka sambut dengan gembira dan berbagai perayaan religi dilangsungkan.

Merujuk pada ulasan di atas, berarti ada yang bermasalah dengan pendidikan Indonesia hari ini, khususnya mereka yang wajib belajar 12 tahun. Sebenarnya selama belajar, mereka mencari angka atau nilai sih? Indikator ganda seperti inilah yang membuat suasana batin para siswa meledak letup ketika musim liburan datang.

Sudah menjadi kewajiban bagi orang tua ketika anaknya pulang sekolah yang ditanya adalah "Kamu dapat nilai berapa hari ini Nak?"

Dari pertanyaan tersebut munculah jawaban ,"90 Pak?"

Lantas orang tuanya menyampaikan pujian bahwa anaknya hebat bisa dapat nilai 90. Pertanyaan lanjutan adalah apa beda nilai dengan angka? Jawaban inilah yang menjadi pokok soal akan dibentangkan pada badan tulisan ini.

Konsep Nilai dalam Ilmu Pendidikan

Nilai dalam berbagai disiplin ilmu termasuk ilmu pendidikan disebut dengan suatu norma atau aturan yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. 

Menurut ilmu sosiologi nilai adalah berbagai prinsip, anggapan maupun keyakinan yang berlaku dalam suatu masyarakat.

Jika merujuk pada kata kunci pada kutipan di atas "Prinsip, anggapan maupun keyakinan yang berlaku dalam masyarakat". Dapat diuraikan, jika berkaitan dengan pendidikan bahwa, tujuan utama pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Kecerdasan yang dimaksud pada uraian ini adalah kecerdasan yang berkolerasi dengan manusia sebagai tujuan pembangunan. 

Hal ini tentunya berbeda dengan nilai yang berlaku dalam ruang -ruang kelas pada saat proses pembelajaran berlangsung. Dalam Ilmu pendidikan, nilai merupakan suatu aplikasi konsep yang sudah dipelajari dari berbagai disiplin ilmu.

Tujuan utama diberlakukannya kurikulum, apapun bentuknya selalu mengharapkan ada sesuatu nilai atau norma yang berdampak pada kehidupan peserta didik kelak. 

Selain itu, setiap disiplin ilmu yang dipelajari selalu mempunyai nilai yang khas. Nilai-nilai tersebut berwujud pada sikap dan karakter yang dimiliki siswa. 

Selanjutnya, bagaimana hubungan nilai dengan angka yang selama ini dijadikan indikator keberhasilan dalam pembelajaran? Hal ini baru dapat dijawab apabila seseorang sudah mampu membedakan antara nilai dan angka. Kemudian ada lagi pertanyaan apakah yang dikumpulkan siswa setiap hari nilai atau angka? Ini pertanyaan yang sukar untuk dijawab. 

Jika mengacu pada nilai yang diberikan guru kepada siswa, hal ini lebih mengarah pada angka. Pada tataran ini angka merupakan sebuah indikator keberhasilan dalam pembelajaran.

Tampak sekali pada saat guru memberikan sebuah evaluasi dalam pembelajaran, mereka selalu menjadikan angka sebagai indikator ketercapaian pembelajaran. Oleh karena itu, indikator tersebut dibuat dalam standar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Kriteria ini merupakan sebuah standar evaluasi secara keseluruhan, baik pada satu mata pelajaran, mampu semua mata pelajaran secara klasikal.

Merujuk pada ilmu yang mengulas tentang kurikulum dalam konsep pendidikan, untuk menentukan Kriteria Ketuntasan Minimal  (KKM) harus melewati tiga aspek, yaitu aspek intake ke siswa, kompleksitas materi, dan sarana dan prasarana. 

Untuk aspek intake ke siswa, seorang guru harus memahami Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki siswa. Ini dapat dilihat pada setiap evaluasi yang dilakukan secara simultan. 

Kemudian untuk aspek kompleksitas adalah karakteristik yang dimiliki oleh materi disandingkan dengan kemampuan siswa, Artinya, kesukaran materi dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki siswa dapat dijadikan indikator dalam penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). 

Sedangkan aspek ketiga adalah sarana dan prasarana yang mendukung materi dan sumber daya yang dimiliki siswa. Apabila ketiga aspek tersebut sudah ditetapkan secara terukur, maka Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dapat dijadikan sebagai alat utama dalam penilaian siswa secara komprehensif. 

Nilai dalam Bentuk Angka

Berkaitan dengan nilai dan angka ada dua prinsip yang harus dipahami terlebih dahulu. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi ambiguitas dalam aplikasi nilai dan angka pada kehidupan belajar di sekolah. Nilai secara khusus lebih bersifat pada hal yang kualitatif. Artinya, segala sesuatu yang diukur menggunakan metode kualitatif ini tetap menggunakan bahasa sebagai indikator, bukan angka. 

Setiap yang diukur dengan bahasa sudah tentu menggunakan deskripsi dari sebuah penilaian. Deskripsi penilaian kualitatif bersifat abstrak. Hal ini akanberbeda, jika dibandingkan dengan angka.

Namun setiap batasan angka dalam sebuah penilaian diberikan kriteria kualitatif, misalnya angka 70 s.d 85 kriteria "Baik " atau angka 85 s.d 100 " Sangat Baik" dapat dipahami bahwa dalam konteks ini ada perpaduan antara kualitatif dan kuantitatif yang berbetuk angka. 

Kembali ke permukaan judul tulisan ini, apakah yang dicari siswa selama belajar, nilai atau angka?

Ada dua keterampilan yang diharapkan oleh kurikulum, apapun bentuk dan jenis kurikulum tersebut. Pertama, keterampilan afektif dan kedua ketrampilan kognitif. 

Keterampilan afektif ini adalah wujud dari apresiasi yang muncul secara keseluruhan pada diri pembelajar setelah ia belajar dalam kurun waktu tertentu. Bentuk ketrampilan ini berupa sikap dan karakteristik siswa yang dipengaruhi oleh faktor belajar yang diikuti.

Selama ini ketrampilan afektif ini semakin terabaikan dalam dunia pendidikan. Hal ini terjadi karena paradigma berpikir yang berubah. Setiap siswa dikatakan berhasil dalam belajar, apabila Ia mendapatkan nilai di atas rata -rata dalam bentuk angka. Fenomena ini  sudah dijadikan faktor penentu dalam belajar dalam mencari bibit -bibit siswa cerdas 

Akhirnya, setiap siswa berlomba mengumpulkan angka sebanyak-banyaknya dengan mengenyampingkan nilai atau sikap. Diperparah lagi dengan istilah pemberian reward dalam bentuk perangkingan dan dimunculkan dalam bentuk angka. Hal inilah yang membuat nilai semakin menjauh dari peserta didik, karena mereka mengejar angka sebagai indikator keberhasilan.

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun