Sebagai konsumen informasi berupa materi, konsep, dan keterampilan yang ditransfer oleh guru sebagai bank ilmu, wajar saja kalau mereka menganggap ada guru favorit dan guru biasa.
Dalam undang- undang sistem pendidikan nasional, tidak satupun pasal yang menyebutkan adanya guru favorit. Akan tetapi, ketika ada sekolah ada yang melakukan survei terhadap siapa guru favorit di tengah kehidupan siswa malah menuai kontroversi.
Nah, Untuk hal ini penulis setuju, karena apabila guru favorit diberikan legalisasi oleh pemerintah, maka akan muncul sejumlah kesejangan diantara sesama guru. Menurut penulis biarkan saja guru favorit berlangsung di kalangan siswa secara tersembunyi (hidden).
Masalah utama dalam tulisan ini apa sajakah kriteria yang dimiliki guru sehingga menjadikan guru favorit versi siswa sebagai subjek pembelajaran?
Mengganggap Siswa sebagai Mitra Belajar
Filosofi pendidikan di negara maju seperti Prancis, Jerman, Inggris dan Amerika berlangsung secara demokratis. Hal ini berbeda dengan filosofi pendidikan yang berlangsung di Indonesia, yaitu filosofis feodal. Ini merupakan filosofi  yang ditinggalkan Belanda.Â
Dalam filosofi pendidikan yang berlangsung secara demokratis. Semua warga belajar antara guru dan siswa berlangsung secara horizontal. Artinya, guru dan siswa berlaku sebagai mitra belajar.Â
Keuntungan negara yang menganut sistem pendidikan berdasarkan filosofi demokrasi adalah semua warga negara, baik siswa maupun guru mempunyai hak yang sama dalam bidang belajar.Â
Dalam paradigma ini guru menganggap siswa sebagai mitra belajar. Kesetaraan yang dimiliki oleh siswa dan guru membuat siswa lebih nyaman dalam belajar.Â
Segala kelebihan dan kekurangan guru bisa dieksplorasi oleh siswa baik dalam penguaasan materi maupun kehidupan pribadi.Â