Mohon tunggu...
Muklis Puna
Muklis Puna Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Penulis Buku: Teknik Penulisan Puisi, Teori, Aplikasi dan Pendekatan , Sastra, Pendidikan dan Budaya dalam Esai, Antologi Puisi: Lukisan Retak, Kupinjam Resahmu, dan Kutitip Rinridu Lewat Angin. Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi IGI Wilayah Aceh dan Owner Sastrapuna.Com . Saat ini Bertugas sebagai Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Korelasi Tingkat Pendidikan Caleg dan Harapan Masyarakat Selaku Pemilih

28 November 2023   20:50 Diperbarui: 30 November 2023   08:47 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd.

Ada tiga indikator untuk mengukur kemajuan suatu bangsa, pertama sumber daya manusia, kedua pertumbuhan ekonomi, dan ketiga sumber daya alam. Ketiga indikator tersebut tidak mutlak harus dimiliki, namun yang paling pokok dalam mengukur kemajuan suatu bangsa adalah sumber daya manusia.

Sumber daya manusia berkaitan erat pendidikan. Majunya suatu bangsa juga bisa dilihat dari tingkat pendidikan yang dimiliki oleh bangsa tersebut. Tingkat pendidikan dilihat dari gelar yang dimiliki oleh masyarakat suatu bangsa. Gelar-gelar ini biasanya disebut dengan gelar akademik. 

Gelar akademik ini diberikan oleh sekolah tinggi, universitas, dan lembaga terkait setelah seseorang menyelesaikan studi dalam masa tertentu. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menentukan tingkat pendidikan seseorang dan dapat dijadikan sebagai ukuran maju tidaknya suatu bangsa.

Gelar akademik yang disebutkan dalam tulisan ini adalah gelar-gelar akademik yang dimiliki oleh calon legislatif pada saat mendaftar jadi peserta atau kontestan dalam pemilu 2024. 

Gelar gelar tersebut akhir-akhir ini semakin fenomenal di baliho para caleg. Kadang-kadang penulis merasa heran apabila melihat begitu masifnya pemasangan baliho para caleg dengan gelar yang mentereng.

Tidak jarang penulis mengenal baik dengan tokoh atau caleg yang ada di baliho yang dipasang. Dulu dia tidak punya gelar, kemudian mencalonkan diri menggunakan ijazah paket C. 

Nah..! Kenapa tiba-tiba sekarang namanya menjadi tambah panjang lengkap dengan gelar S1 dan S2. Pertanyaannya kapan dan di mana mereka bersekolah? Kenapa baru satu kali pemilihan umum mereka terpilih sekarang sudah punya gelar akademik S1 dan S2. 

Namun satu hal yang perlu dicari jawaban atas pertanyaan di atas bagaimana dampak yang muncul terhadap kinerja para caleg bagi kebutuhan masyarakat?

Sekitar satu bulan lalu, surat kabar lokal di Aceh mengabarkan sebuah berita yang membuat sejumlah orang khawatir. Berita tersebut menyatakan bahwa hampir 85 persen calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) diisi oleh orang-orang yang berijazah Paket C. Berita ini tentunya memunculkan fenomenal yang luar biasa di Aceh. 

Sebagian orang membayangkan bagaimana kondisi negeri ini ke depannya, jika sebuah lembaga terhormat yang merancang program pembangunan lima tahun ke depan diisi oleh orang-orang keluaran Paket C?

Sebagian lagi menganggap itu lumrah, karena yang dipentingkan dalam dunia politik khususnya pemilihan umum adalah tingkat kepopulerannya figur yang ikut pemilu, bukan tingkat sekolah yang dimiliki. 

Bagi mereka "sekolah hanya sebagai tanda bahwa orang pernah sekolah, bukan sebagai tanda pernah berpikir," meminjam istilah Rocky Gerung dalam berbagai talkshow di sebuah stasiun televisi swasta nasional.

Dalam konteks pembahasan ini, penulis tidak menafikan bahwa ijazah Paket C tidak bagus, namun yang perlu ditanyakan ulang adalah apakah proses pengambilan ijazah Paket C dilakukan secara sehat? Atau hanya karena ada relasi, sehingga sertifikat tersebut lebih mudah didapat.

Namun seyogianya , orang yang menjadi wakil rakyat di parlemen untuk membela kepentingan rakyat harus betul-betul perfeksionis, berintegritas dan akuntabel. 

Secara umum hal ini hanya didapat dari proses pendidikan reguler dengan menghadirkan gelar-gelar akademik yang mampu dipertanggungjawabkan. Apa yang akan terjadi dan dampak yang muncul terhadap pembangunan berkelanjutan, jika masalah di atas tidak terselesaikan? Hal ini berlaku bagi anggota dewan terpilih dengan latar belakang pendidikan non formal atau Paket C.

Ilustrasi Caleg (Foto: BeritaSatu.com)
Ilustrasi Caleg (Foto: BeritaSatu.com)

Terjadinya Penyimpangan Dana Aspirasi

Setiap anggota dewan terpilih sudah pasti bekerja untuk konstituen yang telah memilihnya saat pemilihan umum. Sebagai wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat, tentunya banyak hal yang menjadi tuntutan. Salah satu kewajiban anggota dewan terpilih adalah menyalurkan dana aspirasi untuk kepentingan rakyat. 

Rakyat sebagai pemilih tentunya selalu diprioritaskan oleh anggota dewan. Agar hal tersebut bisa dirasakan oleh masyarakat selaku pemilih tentunya anggota dewan harus amanah, berintegritas bertanggung jawab dan piawai dalam berkomunikasi untuk melakukan lobi-lobi politik di parlemen. 

Secara kasat mata kemampuan-kemampuan ini hanya dapat dimiliki melalui jalur pendidikan formal. Ini bukan berarti orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan formal tidak memilik hal tersebut. Dalam Ilmu psikologi, karakter baik itu terbentuk karena pembiasaan secara sistematis. Ia dibentuk dengan aturan-aturan dan disiplin yang tepat. 

Dalam kehidupan normal ada juga didapat bahwa ada orang-orang yang tidak sekolah formal punya karakter baik. Hal ini setelah dikaji lebih dalam ternyata ada pengaruh lain yang membuatnya berkarakter baik.

Aspirasi anggota dewan yang telah disahkan undang-undang untuk diberikan kepada rakyat sebagai konstituen, dikhawatirkan akan merugikan negara apabila dikelola oleh orang-orang yang tidak punya kredibel. 

Aspirasi ini diberikan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam bentuk apa saja yang membawa asas manfaat kepada masyarakat.

Sering desas-desus terdengar bahwa penyaluran dana aspirasi anggota DPR kepada rakyat mengalami masalah yang luar biasa. Apakah ini disebabkan oleh faktor sumber daya manusia (SDM) anggota DPR yang dipilih berdasarkan tingkat kepopuleran, bukan pada kemampuan berpikir dan menganalisis rancangan pembangunan?

Mandeknya Penyusunan Undang-undang

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebuah lembaga legislatif yang terhormat. Tugas utama dari lembaga tersebut adalah mengawasi jalannya pemerintahan (yudikatif) dan menentukan arah pembangunan negara. 

Tugas mengawasi pemerintahan tentunya membutuhkan orang-orang yang punya kualifikasi pendidikan menjanjikan dan terpercaya.

Berkaitan dengan penyusunan undang-undang, di tangan dewan perwakilan rakyatlah semua undang-undang lahir. Sebagai penghasil produk aturan untuk kemaslahatan negeri yang akan dijadikan acuan oleh pemerintah harus betul-betul perfek. 

Di mana pun di dunia ini, setiap produk hukum yang dihasilkan harus melibatkan pakar tertentu. Pakar-pakar tersebut tidak diturunkan dari langit, akan tetapi ditempah dan diproses melalui jalur pendidikan formal.

Selanjutnya, apabila orang-orang yang tidak punya kualifikasi pendidikan bagus, hal ini dikhawatirkan tidak tercapainya target yang diharapkan. Apabila produk undang-undang tidak dapat dihadirkan secara tepat, maka dipastikan pembangunan akan mengalami hambatan. Bila hal ini berkelanjutan lagi-lagi masyarakat yang mengambil risiko dari permasalahan tersebut. 

Pertumbuhan mata rantai kasus tersebut bermula dari terpilihnya orang-orang yang tidak punya sumber daya yang mumpuni menjadi anggota dewan. Dengan demikian pendidikan formal memegang peranan terhadap keberlangsungan pendidikan saat ini.

Lebih Mementingkan Kepentingan Partai daripada Masyarakat

Partai merupakan sebuah kendaraan yang disahkan undang-undang bagi calon legislatif (caleg) untuk menuju gedung terhormat. Kendaraan tersebut atau partai yang dijadikan sebagai media politik. 

Ada sejumlah aturan yang mengikat calon legislatif dalam menjalankan tugasnya sebagai anggota dewan. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam konteks ini rakyatlah yang menjadi faktor penentu atas terpilihnya seorang anggota dewan.

Anggota dewan yang punya integritas dan punya pendidikan, pengalaman dalam berorganisasi, mereka akan memisahkan antara perintah partai dan perintah rakyat sebagai orang yang memilihnya di pemilihan umum. 

Sebagai perwakilan rakyat yang telah memilihnya, seorang anggota dewan terpilih akan terus bersuara lantang demi kepentingan konstituennya di daerah. 

Tidak sedikit dari mereka yang sudah terpilih lupa terhadap hal tersebut. Rata-rata mereka mengambil jalan pintas dengan berfoya-foya dan hidup secara hedonis, sehingga menimbulkan kecemburuan di tengah masyarakat.

Mereka berprinsip nanti ketika pemilu selanjutnya dibuat trik baru untuk kampanye agar terpilih pada tahap berikutnya. Ini prinsip-prinsip orang yang tidak punya pendidikan yang bagus. Kalaupun mereka termasuk sarjana yang bergelar macam-macam, berarti proses kesarjanaannya yang tidak sehat.

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa orang-orang cerdas dengan pendidikan bagus sudah pasti mampu membedakan antara tugas partai dan perwakilan masyarakat. Dalam hal ini jelas sekali tampak bahwa tingkat pendidikan calon legislatif (caleg) mampu memberikan kontribusi yang luar biasa untuk negeri.

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun