Suatu saat penulis bertanya pada siswa kelas favorit di salah satu sekolah favorit di kota X pada kelas Y. Penulis menanyakan tentang keinginan siswa yang mempunyai kemampuan dan IQ di atas rata-rata. Dari 36 siswa yang hadir, hanya 4 orang yang bercita-cita menjadi guru, sisanya ingin menjadi dokter, pengacara, ahli hukum, dll.
Anehnya, hal yang paling dominan adalah sebagian besar mahasiswa ingin menjadi dokter, karena kehidupan dokter cukup menjanjikan. Penulis mencoba mengubah pemikiran siswa dengan memberikan informasi bahwa menjadi guru kini juga mendapat penghasilan ganda melalui program sertifikasi.
Mereka bimbang, namun siswa menyikapi pernyataan penulis dengan tanggapan lain. “Sebagai seorang guru, siswa melecehkan kita dari belakang dan dari depan” Berdasarkan kasus ini, ditarik simpulan, apakah ada yang salah dengan guru ? Mengapa guru kita tidak bisa memberi contoh untuk mendukung impian siswa?
Dialog singkat di atas membuat penulis bertanya adakah orang dengan rata-rata IQ lebih tinggi mau menjadi guru sebagai agen perubahan? Penulis membayangkan betapa majunya dunia pendidikan kita seperti negara Finlandia, karena pendidikannya menduduki peringkat pertama di dunia.
Di sana, sepuluh orang berkualifikasi tinggi bersaing untuk mendapatkan satu kesempatan menjadi calon guru, seperti halnya persaingan di universitas-universitas di Indonesia untuk memilih jurusan kedokteran.
Guru adalah orang/perorangan yang dibekali ilmu oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah melalui proses akreditasi yang ketat untuk menghasilkan guru yang memiliki kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian.
Mereka memiliki informasi berbeda terkait pengajaran dan pendidikan. Tabulasi guru di Indonesia tidak tersebar merata di daerah pinggiran. Untuk mengatasi hal tersebut, lahirlah proses naturalisasi dari non guru menjadi guru. Hal ini telah menimbulkan permasalahan baru dalam pembentukan karakter peserta didik secara nasional.
Permasalahan pendidikan di Indonesia sama rumitnya dengan membangun kembali rumah-rumah yang dihantam angin puting beliung .Apa yang bisa diharapkan dari rangkaian analisis di atas, jika pembangunan pendidikan belum mengambil bentuk yang sesuai dengan sifat ketimuran bangsa Indonesia? Kita masih belum percaya secara kolektif bahwa guru adalah rahim terpenting bagi pembangunan bangsa. Pengambil keputusan di negara masih belum berpihak pada guru.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H