Mukhlis, S.Pd., M.Pd.
Setiap tahun pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan pendidikan selalu mengalokasikan dana yang luar biasa untuk pendidikan. Dana tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Untuk Tahun 2023 saja pemerintah menetapkan 25 persen dana dari APBN tersebut untuk pembangunan pendidikan . Angka ini sangat fantastis jika dilihat pada besarnya dana APBN setiap tahunnya.
Negara tetangga kita seperti Vietnam juga mengalokasikan APBN nya untuk pendidikan juga 25 persen dari pendapatan perkapita negarnya. Namun hal ini berbeda dengan negara kita jika merujuk pada dampak yang muncul pada kualitas pendidikan kita.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa posisi negara Vietnam berada di atas negara kita dalam rangking penduduk Se-Asia Tenggara. Inilah yang menjadi permasalahan besar dalam pembangunan pendidikan Indonesia hari ini.
Hemat penulis, dunia pendidikan Indonesia hari ini (maaf seperti orang buang angin) baunya menyebar kemana-mana, namun tidak terlihat bentuknya.
Ketika berbicara tentang pendidikan, semua orang memberikan reaksi yang beragam. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari guru. Karena guru adalah suatu hal yang mengubah pola pikir dan karakter masyarakat. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional untuk membudayakan kehidupan bangsa secara komprehensif dan sistematis dalam kurikulum sebagai kerangka acuan pembangunan pendidikan.
Lebih lanjut, kurikulum sebagai tolak ukur pendidikan saat ini belum mampu mengubah karakteristik siswa. Tantangan sulit dewasa ini tidak dapat dijawab dengan bantuan kurikulum yang sesuai.
Kebutuhan pengguna layanan dan pengguna jasa masih belum terpenuhi, Itulah sebabnya orang asing bisa masuk setiap ada lowongan. Secara keseluruhan, kurikulum masih belum sesuai harapan.
Dikutip dari filosofis orang Aceh, : "Jaroe Bak Cangkoi, Mata U Pasai' Artinya, jika seorang petani ingin menanam di ladang atau kebun, jika ia mempunyai cangkul, maka matanya harus tajam untuk melihat kebutuhan pasar.
Apapun kebutuhan pasar dalam tiga hingga empat bulan ke depan akan ditanam. Sekarang...! Kurikulum yang ada saat ini belum sepenuhnya memenuhi hal-hal seperti itu. Kebutuhan tenaga kerja saat ini dan masa depan harus mampu disediakan oleh lembaga pendidikan.
Maaf...!Terkadang kita tidak mau menerapkan hal itu dalam dunia pendidikan. Sudah menjadi tradisi di negeri ini bahwa setiap pergantian menteri selalu dibarengi dengan perubahan kurikulum. Seperti apa sebenarnya sistem pendidikan kita?
Sebagai fasilitator dan perancang pembelajaran, guru sering kali disibukkan dengan tugas administratif yang banyak dan rumit. Penulis melihat guru kita sebagai wanita yang dilihat Nabi Muhammad pada masa Israk Mikraj.
Seorang wanita yang mengangkat tumpukan kayu ketika dia tidak bisa mengangkatnya. Namun Ia malah menambah bebannya lalu mengangkatnya kembali kayu tersebut begitu seterusnya.
Analoginya, kurikulum lama tidak dilaksanakan secara sempurna dan kurikulum baru dengan berbagai perubahan muncul lagi. Ciri yang diharapkan berubah dari penerapan kurikulum ini adalah siswa dapat mengenal Tuhan sebagai ciptaan-Nya.
Tumbuhnya jiwa-jiwa kebaikan yang menghargai orang lain sebagai mitra hidup di dunia. Hal ini tercermin dalam pada tindakan dan perilaku yang muncul pada siswa sebagai warga belajar.
Hal lain yang diharapkan dari penerapan kurikulum adalah terciptanya hubungan sosial yang humanis antara peserta didik dengan sesamanya sebagai makhluk sosial, menghormati guru dan orang yang lebih tua dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara (lihat KI.1 dan KI.2 Kurikulum) 2013
Penyempurnaan Nomor 22 Tahun 2016) Apakah penerapan isi kurikulum sudah sangat tepat? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Munculnya berbagai kasus dalam dunia pendidikan serta banyaknya kejadian yang menimpa guru selama ini merupakan bukti nyata bahwa kurikulum gagal mengubah perilaku siswa sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.
Mengingat dewasa ini begitu banyak hal yang terfokus pada kehidupan guru, para guru duduk diam di sudut kelas dan menikmati sendiri perubahan yang terjadi. Mereka adalah guru yang tidak mau mengambil risiko yang mengancam profesinya.
Mereka tahu bahwa mereka juga mempunyai tanggung jawab hidup. Sudah menjadi rahasia umum di negeri ini, ketika seorang mahasiswa masuk ke universitas bergengsi, mereka bertanya anak siapa dia? Namun ketika siswa melakukan kesalahan besar, mereka akan bertanya “Siapa gurunya?”
Guru dan Profesinya
Suatu saat penulis bertanya pada siswa kelas favorit di salah satu sekolah favorit di kota X pada kelas Y. Penulis menanyakan tentang keinginan siswa yang mempunyai kemampuan dan IQ di atas rata-rata. Dari 36 siswa yang hadir, hanya 4 orang yang bercita-cita menjadi guru, sisanya ingin menjadi dokter, pengacara, ahli hukum, dll.
Anehnya, hal yang paling dominan adalah sebagian besar mahasiswa ingin menjadi dokter, karena kehidupan dokter cukup menjanjikan. Penulis mencoba mengubah pemikiran siswa dengan memberikan informasi bahwa menjadi guru kini juga mendapat penghasilan ganda melalui program sertifikasi.
Mereka bimbang, namun siswa menyikapi pernyataan penulis dengan tanggapan lain. “Sebagai seorang guru, siswa melecehkan kita dari belakang dan dari depan” Berdasarkan kasus ini, ditarik simpulan, apakah ada yang salah dengan guru ? Mengapa guru kita tidak bisa memberi contoh untuk mendukung impian siswa?
Dialog singkat di atas membuat penulis bertanya adakah orang dengan rata-rata IQ lebih tinggi mau menjadi guru sebagai agen perubahan? Penulis membayangkan betapa majunya dunia pendidikan kita seperti negara Finlandia, karena pendidikannya menduduki peringkat pertama di dunia.
Di sana, sepuluh orang berkualifikasi tinggi bersaing untuk mendapatkan satu kesempatan menjadi calon guru, seperti halnya persaingan di universitas-universitas di Indonesia untuk memilih jurusan kedokteran.
Guru adalah orang/perorangan yang dibekali ilmu oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah melalui proses akreditasi yang ketat untuk menghasilkan guru yang memiliki kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian.
Mereka memiliki informasi berbeda terkait pengajaran dan pendidikan. Tabulasi guru di Indonesia tidak tersebar merata di daerah pinggiran. Untuk mengatasi hal tersebut, lahirlah proses naturalisasi dari non guru menjadi guru. Hal ini telah menimbulkan permasalahan baru dalam pembentukan karakter peserta didik secara nasional.
Permasalahan pendidikan di Indonesia sama rumitnya dengan membangun kembali rumah-rumah yang dihantam angin puting beliung .Apa yang bisa diharapkan dari rangkaian analisis di atas, jika pembangunan pendidikan belum mengambil bentuk yang sesuai dengan sifat ketimuran bangsa Indonesia? Kita masih belum percaya secara kolektif bahwa guru adalah rahim terpenting bagi pembangunan bangsa. Pengambil keputusan di negara masih belum berpihak pada guru.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI