Dalam tata kelola yang beretika, kejujuran adalah elemen vital untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas. Institusi yang jujur akan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, yang merupakan modal sosial penting untuk mendukung pelaksanaan kebijakan. Sebaliknya, institusi yang penuh dengan manipulasi data atau informasi akan kehilangan legitimasi di mata masyarakat.Â
Untuk mewujudkan kejujuran dalam tata kelola, penting untuk membangun sistem yang memungkinkan transparansi di setiap tingkat, seperti melalui penerapan teknologi informasi, audit independen, dan mekanisme pelaporan pelanggaran (whistleblowing). Pemimpin yang jujur tidak hanya memengaruhi dirinya sendiri, tetapi juga menjadi teladan bagi seluruh organisasi.Â
4. Rasa Malu (Wirang): Tameng dari Perilaku Tidak Etis
Dalam ajaran Mangkunegaran IV, rasa malu atas perbuatan yang melanggar moral adalah mekanisme internal yang sangat efektif dalam mencegah perilaku tidak etis. Rasa malu ini tidak hanya bersifat pribadi, tetapi juga memiliki dimensi sosial. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi rasa malu, pelanggaran moral dianggap mencederai nama baik keluarga, organisasi, atau komunitas.Â
Dalam tata kelola modern, prinsip rasa malu dapat diwujudkan dengan membangun budaya organisasi yang menjunjung tinggi integritas. Organisasi yang memiliki budaya ini akan menciptakan lingkungan di mana pelanggaran etika, seperti korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan, dianggap sebagai sesuatu yang sangat tercela.Â
Sebagai contoh, lembaga pemerintah atau perusahaan dapat menerapkan penghargaan untuk pegawai berintegritas tinggi dan memberikan sanksi sosial maupun hukum bagi pelaku pelanggaran. Dengan demikian, rasa malu tidak hanya menjadi mekanisme individual, tetapi juga menjadi bagian dari sistem yang menjaga etika di tingkat institusional.Â
5. Kesadaran akan Tanggung Jawab Moral (Prayitna): Mengutamakan Kepentingan Publik
Mangkunegaran IV menekankan pentingnya tanggung jawab moral sebagai bagian dari harmoni batin. Ia percaya bahwa setiap tindakan manusia memiliki konsekuensi moral, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Pemimpin yang memiliki kesadaran ini akan selalu berusaha untuk mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi.Â
Dalam tata kelola yang beretika, tanggung jawab moral diwujudkan melalui kebijakan yang adil, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Misalnya, alokasi anggaran yang berdasarkan pada kebutuhan masyarakat, bukan pada tekanan politik atau kepentingan pribadi. Kesadaran ini juga mendorong pemimpin untuk bertindak dengan penuh kehati-hatian dalam mengelola sumber daya publik.Â
6. Spiritualitas sebagai Landasan Etika: Menghubungkan Manusia dengan Nilai Luhur
Mangkunegaran IV percaya bahwa harmoni batin tidak dapat dipisahkan dari spiritualitas. Ia mengajarkan bahwa manusia adalah bagian dari tatanan ilahi yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Kesadaran spiritual ini membawa manusia untuk selalu berusaha menciptakan keseimbangan antara dirinya, sesama manusia, dan alam semesta.Â