Mohon tunggu...
MUKHLISHAH SYAWALIYAH
MUKHLISHAH SYAWALIYAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI S1 AKUNTANSI | NIM 43223010129

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG Universitas Mercu Buana Meruya Prodi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard, dan Jack Bologna

20 November 2024   18:37 Diperbarui: 20 November 2024   18:37 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan  

Korupsi merupakan salah satu masalah mendasar yang menjadi penghambat utama dalam proses pembangunan dan tata kelola pemerintahan yang baik di Indonesia. Praktik korupsi tidak hanya menimbulkan kerugian finansial yang signifikan, tetapi juga melemahkan integritas institusi, memperburuk ketimpangan sosial, dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia terjadi di berbagai tingkat, baik di pemerintahan pusat maupun daerah, melibatkan pejabat publik, swasta, dan bahkan masyarakat sipil. Dengan dampak yang begitu luas, memahami akar penyebab korupsi menjadi langkah awal yang sangat penting dalam upaya memberantasnya secara efektif.

Para ahli telah mencoba menjelaskan penyebab korupsi dengan berbagai pendekatan teoretis. Salah satu pendekatan yang paling sering digunakan adalah pendekatan Robert Klitgaard, yang dikenal melalui formulanya: 

> Korupsi = Monopoli + Diskresi Akuntabilitas.

Pendekatan Klitgaard menekankan bahwa korupsi berkembang dalam kondisi di mana terdapat monopoli kekuasaan, diskresi atau kewenangan yang tidak terkendali, dan rendahnya tingkat akuntabilitas. Di Indonesia, monopoli kekuasaan sering terjadi dalam pengelolaan sumber daya negara, seperti pengadaan barang dan jasa, pengelolaan izin, dan sektor strategis seperti pertambangan dan energi. Ketika otoritas yang besar tidak disertai dengan mekanisme kontrol yang memadai, pejabat cenderung menyalahgunakan wewenang untuk keuntungan pribadi. 

Diskresi, atau kebebasan dalam membuat keputusan tanpa pengawasan yang jelas, menjadi elemen penting lainnya. Dalam birokrasi Indonesia, sering kali pejabat memiliki diskresi yang luas dalam menentukan kebijakan atau alokasi sumber daya. Tanpa mekanisme akuntabilitas yang memadai, diskresi ini dapat membuka jalan bagi keputusan yang berpihak pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Selain itu, lemahnya sistem akuntabilitas memperburuk situasi ini. Ketika mekanisme pengawasan, baik internal maupun eksternal, tidak efektif, pelaku korupsi merasa aman dari risiko hukum. 

PPT Modul dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
PPT Modul dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Sementara itu, pendekatan lain yang memberikan perspektif berbeda adalah konsep fraud triangle yang diperkenalkan oleh Jack Bologna. Pendekatan ini berfokus pada perilaku individu yang terlibat dalam tindak korupsi dan menyoroti tiga elemen utama, yaitu: 

1. Tekanan (Pressure): Tekanan atau dorongan yang dirasakan individu untuk melakukan kecurangan. Di Indonesia, tekanan ini bisa berasal dari kebutuhan finansial yang mendesak, gaya hidup konsumtif, tuntutan sosial, atau target kerja yang tidak realistis. Misalnya, seorang pejabat yang memiliki gaya hidup tinggi mungkin merasa terdorong untuk melakukan korupsi guna mempertahankan status sosialnya. 

2. Peluang (Opportunity): Kesempatan untuk melakukan kecurangan tanpa risiko besar tertangkap. Peluang ini sering kali muncul karena kelemahan dalam sistem pengawasan dan kontrol. Di Indonesia, lemahnya sistem pengawasan internal, kurangnya transparansi, serta korupsi yang sudah dianggap lumrah di beberapa institusi menciptakan peluang yang besar bagi pelaku untuk melakukan tindak pidana tersebut. 

3. Rasionalisasi (Rationalization): Proses pembenaran oleh pelaku untuk melegitimasi tindakannya. Pelaku sering kali mencoba membenarkan perbuatannya dengan alasan seperti "semua orang melakukannya," atau "gaji saya tidak cukup untuk hidup layak." Budaya permisif terhadap korupsi di Indonesia memperkuat rasionalisasi ini, sehingga pelaku merasa tindakannya bukanlah kejahatan besar. 

Pendekatan Klitgaard dan Bologna memberikan sudut pandang yang saling melengkapi dalam memahami fenomena korupsi. Jika Klitgaard menyoroti kelemahan institusional sebagai penyebab utama korupsi, Bologna lebih menekankan aspek psikologis dan perilaku individu. Kedua pendekatan ini sangat relevan untuk menganalisis korupsi di Indonesia yang sifatnya kompleks dan melibatkan berbagai aktor serta institusi. 

Dengan memadukan kedua pendekatan ini, kita dapat memahami penyebab korupsi secara lebih komprehensif. Klitgaard membantu kita mengevaluasi kelemahan struktural dan kelembagaan yang menciptakan peluang korupsi, sedangkan Bologna membantu menjelaskan motivasi individu dan bagaimana mereka merasionalisasi tindakan tersebut. Pemahaman yang mendalam ini diharapkan tidak hanya memberikan analisis yang lebih menyeluruh tetapi juga menjadi dasar untuk merancang strategi pemberantasan korupsi yang lebih efektif. Strategi ini dapat mencakup reformasi sistemik untuk memperkuat pengawasan, meningkatkan transparansi, dan mendorong akuntabilitas, serta upaya untuk membangun integritas individu melalui pendidikan dan penegakan hukum yang tegas. 

Melalui pendekatan yang integratif, diharapkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tidak hanya mampu mengatasi gejala, tetapi juga menyentuh akar masalah, sehingga tercipta tata kelola pemerintahan yang lebih bersih, adil, dan terpercaya. 

Apakah pendekatan klitgaard dan Bologna dapat cukup menggambarkan rasionalisasi yang terjadi di kalangan pejabat dengan kekuasaan tinggi yang merasa bahwa korupsi adalah bagian dari sistem?

Pendekatan Klitgaard dan Bologna dapat memberikan gambaran tentang rasionalisasi di kalangan pejabat dengan kekuasaan tinggi, tetapi ada batasan dalam kedalaman penjelasan mereka. Klitgaard lebih fokus pada ketidakseimbangan antara monopoli, diskresi, dan akuntabilitas sebagai penyebab korupsi. Namun, ia tidak sepenuhnya mengakomodasi bagaimana pejabat dengan kekuasaan tinggi merasionalisasi korupsi sebagai bagian dari sistem, terutama di negara seperti Indonesia di mana praktik korupsi sering dianggap sebagai hal yang normal dalam mencapai tujuan atau mempertahankan kekuasaan.

Bologna, dengan pendekatan fraud triangle-nya, mengidentifikasi tiga faktor utama dalam korupsi: tekanan, peluang, dan rasionalisasi. Rasionalisasi ini dapat dilihat dalam pandangan pejabat bahwa korupsi adalah bagian dari sistem atau bahkan kewajiban dalam mempertahankan stabilitas politik atau ekonomi. Namun, meskipun teori Bologna memberi penjelasan tentang bagaimana individu mengatasi konflik moral melalui rasionalisasi, teori ini lebih bersifat individual dan kurang menyoroti faktor-faktor sosial-politik yang mendorong perilaku tersebut dalam skala yang lebih besar.

Secara keseluruhan, meskipun kedua teori ini relevan, keduanya memiliki keterbatasan dalam menggambarkan bagaimana pejabat tinggi merasionalisasi korupsi sebagai bagian dari struktur sosial dan politik yang lebih luas. Pendekatan ini memerlukan pengembangan lebih lanjut yang dapat mencakup pemahaman yang lebih kompleks tentang norma sosial dan budaya politik yang memungkinkan korupsi menjadi dianggap wajar dalam praktik pemerintahan.

Mengapa pengaruh politik dan jaringan kekuasaan menjadi salah satu alasan utama mengapa korupsi di Indonesia sulit diberantas, berdasarkan teori monopoli dari Klitgaard?

Pengaruh politik dan jaringan kekuasaan menjadi alasan utama mengapa korupsi di Indonesia sulit diberantas karena adanya praktik monopoli kekuasaan yang memperburuk sistem pemerintahan dan birokrasi. Dalam teori monopoli Robert Klitgaard, korupsi berkembang pesat ketika satu pihak atau kelompok memiliki kontrol penuh terhadap sumber daya atau keputusan-keputusan strategis tanpa adanya pengawasan yang efektif. Di Indonesia, jaringan kekuasaan sering kali terjalin erat antara politisi, pejabat publik, dan sektor swasta, menciptakan celah-celah yang memperkuat praktik korupsi.

Politik yang dikuasai oleh segelintir orang atau partai politik mengarah pada penyalahgunaan wewenang dalam pembuatan kebijakan yang seharusnya adil dan transparan. Ketika kekuasaan terpusat dan tidak ada check and balance yang cukup, maka tindakan korupsi dapat dengan mudah terjadi tanpa takut ada konsekuensi serius. Sistem yang terstruktur dalam bentuk jaringan politik ini memungkinkan para pengambil keputusan untuk saling melindungi, sehingga sulit bagi pihak berwenang atau masyarakat untuk mengungkapkan penyalahgunaan yang terjadi.

Selain itu, politik yang dikendalikan oleh jaringan kekuasaan tertentu menciptakan ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya dan peluang ekonomi, sehingga merangsang individu untuk mengambil jalan pintas, seperti korupsi, untuk memenuhi kebutuhan atau ambisi pribadi. Ketergantungan antara politisi, pejabat, dan pengusaha yang memiliki kepentingan bersama semakin memperparah situasi ini. Dalam konteks ini, teori monopoli Klitgaard menjelaskan bahwa korupsi dapat berkembang dalam sistem yang kekuasaannya tidak terdistribusi dengan baik, dan akuntabilitas serta transparansi sangat minim.

Oleh karena itu, pemberantasan korupsi membutuhkan reformasi yang tidak hanya mengatasi kelemahan birokrasi tetapi juga harus melibatkan perubahan struktural dalam politik dan pembagian kekuasaan yang lebih adil, agar semua pihak dapat diawasi dengan ketat, dan praktik korupsi bisa diminimalisir.

Bagaimana integrasi teori Robert Klitgaard dan Jack Bologna dapat membantu pembuat kebijakan di Indonesia untuk merancang strategi pemberantasan korupsi yang lebih efektif?

Integrasi teori Robert Klitgaard dan Jack Bologna dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai penyebab korupsi dan menawarkan panduan bagi pembuat kebijakan di Indonesia untuk merancang strategi pemberantasan korupsi yang lebih efektif. Kedua pendekatan ini, meskipun memiliki fokus yang berbeda---Klitgaard dengan analisis kelembagaan dan struktural, serta Bologna dengan faktor psikologis individu---dapat digabungkan untuk menciptakan solusi yang lebih holistik, mengatasi akar masalah korupsi dari dua sisi yang saling melengkapi. Untuk merancang kebijakan pemberantasan korupsi yang efektif, pendekatan ini harus dipahami dan diterapkan secara menyeluruh. 

1. Pendekatan Robert Klitgaard: Memperbaiki Sistem dan Struktur Kelembagaan

Robert Klitgaard dalam teorinya menjelaskan bahwa korupsi muncul sebagai akibat dari tiga faktor utama: monopoli, diskresi, dan akuntabilitas yang rendah. Menurut Klitgaard, untuk mengurangi korupsi, kebijakan harus fokus pada mengurangi atau menghilangkan monopoli kekuasaan, memperbaiki sistem pengawasan, dan meningkatkan akuntabilitas dalam setiap tingkatan pemerintahan. Di Indonesia, yang menghadapi masalah sistem birokrasi yang besar dan kompleks, pendekatan ini sangat relevan. Pembuat kebijakan perlu mengidentifikasi dan merombak sektor-sektor yang memiliki kecenderungan tinggi terhadap monopoli, seperti pengadaan barang dan jasa serta perizinan. Selain itu, untuk mengurangi diskresi, kebijakan yang mengatur kewenangan harus lebih jelas dan terstruktur, sehingga pejabat publik tidak memiliki kebebasan yang tidak terkendali dalam mengambil keputusan. 

Reformasi dalam sektor akuntabilitas juga menjadi kunci. Klitgaard menekankan pentingnya meningkatkan transparansi dalam setiap keputusan administratif dan kebijakan publik, serta memperkuat mekanisme pengawasan. Pengawasan yang efektif tidak hanya datang dari lembaga internal, tetapi juga dari masyarakat dan media yang berperan dalam menciptakan tekanan publik. Pembuat kebijakan di Indonesia dapat memperkuat lembaga-lembaga yang bertanggung jawab dalam pengawasan, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta memastikan bahwa mereka memiliki independensi yang cukup untuk melakukan tugasnya tanpa tekanan politik. 

Penerapan pendekatan Klitgaard akan mendorong pembuat kebijakan untuk fokus pada pembaruan kelembagaan dan penciptaan sistem yang lebih transparan, serta meningkatkan kapasitas lembaga pengawasan untuk melakukan deteksi dini terhadap potensi korupsi. 

2. Pendekatan Jack Bologna: Memahami Motivasi Individu dalam Tindak Korupsi  

Sementara Klitgaard lebih berfokus pada sistem dan struktur kelembagaan, Jack Bologna berfokus pada faktor psikologis yang memotivasi individu untuk terlibat dalam praktik korupsi. Pendekatan *fraud triangle* Bologna menyatakan bahwa korupsi terjadi ketika tiga elemen---tekanan (pressure), peluang (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization)---bertemu. Dalam konteks ini, pembuat kebijakan perlu memahami bahwa korupsi tidak hanya disebabkan oleh faktor sistemik, tetapi juga oleh kondisi internal individu, seperti tekanan finansial atau dorongan untuk memenuhi ambisi pribadi. Oleh karena itu, kebijakan yang hanya fokus pada perubahan struktural tidak cukup untuk memberantas korupsi secara menyeluruh. Kebijakan juga perlu mempertimbangkan pendekatan yang mengurangi faktor-faktor yang mendorong individu untuk melakukan tindakan korupsi. 

Tekanan atau dorongan yang mendorong individu untuk melakukan korupsi bisa datang dari berbagai sumber, seperti kesulitan ekonomi atau target kinerja yang terlalu tinggi. Oleh karena itu, kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan bagi pegawai negeri, seperti pengupahan yang lebih baik dan sistem kesejahteraan yang adil, dapat membantu mengurangi tekanan yang mendorong individu untuk terlibat dalam korupsi. Selain itu, target kinerja yang realistis dan pencapaian yang berbasis pada kualitas dan integritas dapat mengurangi dorongan untuk mengejar keuntungan pribadi dengan cara yang curang. 

Peluang untuk melakukan korupsi sering kali muncul ketika pengawasan lemah dan sistem kontrol tidak memadai. Oleh karena itu, pembuat kebijakan perlu memastikan bahwa sistem kontrol dan pengawasan yang ada tidak hanya berfungsi, tetapi juga berperan secara aktif dalam mengidentifikasi potensi korupsi. Pembuat kebijakan juga perlu memastikan bahwa setiap kesempatan untuk melakukan korupsi diminimalkan, misalnya dengan memastikan adanya rotasi jabatan untuk mengurangi akumulasi kekuasaan yang tidak terkendali, serta menerapkan teknologi yang lebih transparan dalam proses administrasi publik. 

Rasionalisasi adalah elemen yang sering kali tidak disadari dalam praktik korupsi, di mana pelaku merasa bahwa tindakannya tidak salah atau dibenarkan karena alasan tertentu, seperti "semua orang juga melakukannya." Untuk itu, kebijakan pencegahan korupsi harus menyasar pada perubahan budaya dan mindset dalam birokrasi, dengan menanamkan nilai-nilai integritas, kejujuran, dan tanggung jawab sejak awal dalam pendidikan dan pelatihan bagi pejabat publik. Upaya untuk memperkuat etika dan moral dalam instansi pemerintahan dapat mengurangi rasionalisasi yang memungkinkan individu merasa tidak bersalah atas tindakannya. 

3. Mengintegrasikan Kedua Pendekatan untuk Solusi yang Komprehensif

Integrasi teori Klitgaard dan Bologna menawarkan solusi yang lebih komprehensif dalam memberantas korupsi. Dengan menggabungkan analisis kelembagaan dan psikologis, pembuat kebijakan di Indonesia dapat merancang strategi pemberantasan korupsi yang lebih efektif dengan melihat masalah korupsi dari dua perspektif yang berbeda namun saling melengkapi. 

Untuk mengurangi korupsi secara sistemik, reformasi kelembagaan dan pengawasan yang ketat, sesuai dengan pendekatan Klitgaard, harus dilaksanakan bersamaan dengan pendekatan yang fokus pada faktor psikologis individu menurut Bologna. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan etika yang lebih baik bagi aparatur negara, serta menciptakan sistem yang meminimalisir peluang korupsi melalui transparansi dan akuntabilitas. Pada saat yang sama, mengurangi tekanan yang mendorong pejabat untuk melakukan korupsi, seperti dengan menyediakan kesejahteraan yang lebih baik atau memperbaiki sistem insentif berbasis kinerja yang adil, juga menjadi langkah yang tidak kalah penting. 

Selain itu, pembuat kebijakan juga perlu menciptakan sistem yang memungkinkan deteksi dini terhadap potensi korupsi dengan menggunakan teknologi, seperti sistem pelaporan online yang transparan dan sistem audit berbasis data. Kombinasi dari reformasi kelembagaan, peningkatan kesejahteraan, perubahan budaya kerja, dan penguatan pengawasan akan menciptakan ekosistem yang lebih sulit bagi korupsi untuk berkembang. 

4. Peningkatan Penegakan Hukum dan Partisipasi Masyarakat 

Selain kedua pendekatan tersebut, penegakan hukum yang tegas dan partisipasi aktif masyarakat juga merupakan faktor penting dalam pemberantasan korupsi. Dalam konteks ini, kebijakan yang memperkuat peran KPK, BPK, dan lembaga-lembaga pengawas lainnya menjadi sangat krusial. Pemerintah juga perlu menciptakan ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengawasan dan pelaporan korupsi, dengan meningkatkan transparansi dan akses informasi publik. Dengan memadukan pendekatan kelembagaan, psikologis, dan penegakan hukum yang kuat, Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan bebas dari korupsi.

Contoh Studi Kasus Korupsi

Korupsi PT Timah (Rp 300 Triliun)

Kasus korupsi PT Timah yang melibatkan sejumlah pejabat dan pihak terkait, termasuk nama besar seperti Harvey Moeis, mengungkap praktik penyelewengan yang terjadi dalam pengelolaan perusahaan milik negara ini. PT Timah merupakan salah satu perusahaan pengolahan timah terbesar di Indonesia, dan kasus ini mencuat ke publik karena melibatkan kerugian negara yang sangat besar, baik dari segi ekonomi maupun kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Kasus ini berawal dari dugaan adanya penyalahgunaan izin usaha pertambangan (IUP) yang diterbitkan oleh pihak-pihak terkait dalam perusahaan. Beberapa izin yang diberikan kepada perusahaan rekanan PT Timah diduga digunakan untuk menutupi penambangan ilegal yang merusak kawasan hutan dan taman nasional. Praktik manipulasi data dan dokumen terkait IUP juga ditemukan dalam proses pengadaan bijih timah yang digunakan oleh perusahaan. Salah satu nama yang terlibat adalah Harvey Moeis, yang merupakan bagian dari manajemen PT Timah pada saat terjadinya korupsi tersebut. Meskipun ia tidak terlibat langsung dalam proses operasional penambangan ilegal, keberadaannya dalam jajaran manajemen membuatnya dipertanyakan terkait kebijakan dan pengawasan terhadap aktivitas perusahaan yang tidak sesuai dengan regulasi. Praktik penambangan ilegal ini mencakup kawasan yang seharusnya tidak dieksploitasi, seperti kawasan hutan lindung, dan semakin memperburuk kerusakan ekosistem di wilayah tersebut.

Dugaan kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai sekitar Rp271 triliun, mencakup kerugian ekonomi yang disebabkan oleh penambangan ilegal serta kerusakan ekologis yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut. Kerugian lingkungan sangat signifikan, terutama di provinsi Bangka Belitung, yang merupakan salah satu pusat penambangan timah terbesar di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa lebih dari 170 ribu hektare lahan digali oleh perusahaan tanpa izin yang sah. Bahkan, sekitar 75 ribu hektare dari lahan yang digali terletak di kawasan hutan yang dilindungi. Kerusakan lingkungan ini juga berkontribusi pada kerugian ekologi yang mencapai lebih dari Rp223 triliun, yang terdiri dari biaya rehabilitasi lingkungan dan kerusakan ekosistem yang melibatkan ekosistem perairan dan tanah yang sudah rusak. Pemerintah dihadapkan pada tantangan besar dalam melakukan pemulihan, yang memerlukan dana yang sangat besar. Selain itu, salah satu dampak serius dari kerusakan ini adalah hilangnya habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna yang ada di kawasan tersebut.

Kejaksaan Agung (Kejagung) Indonesia mulai mengusut kasus ini pada tahun 2022 setelah adanya laporan dan temuan yang menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang dan praktik penambangan ilegal yang melibatkan PT Timah. Kejagung bekerja sama dengan sejumlah ahli kehutanan dan ahli forensik untuk menilai kerugian yang timbul akibat praktik ini, baik dari segi ekonomi maupun kerusakan lingkungan. Dalam proses investigasi, sejumlah pejabat PT Timah dan beberapa pihak terkait lainnya, termasuk Harvey Moeis, menjadi sorotan. Harvey Moeis disebut-sebut terlibat dalam kebijakan perusahaan yang lemah dalam pengawasan terhadap penambangan ilegal. Kejagung telah menetapkan beberapa tersangka yang diduga berperan dalam memfasilitasi penambangan ilegal melalui pemalsuan dokumen dan manipulasi izin usaha pertambangan (IUP). Penyelidikan juga mengungkap bahwa beberapa pejabat daerah diduga turut terlibat dalam penerbitan izin tambang yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

Selain kerugian finansial dan lingkungan yang besar, kasus ini juga memberikan dampak sosial dan politik yang signifikan. Kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah untuk mengelola sumber daya alam yang dimiliki negara semakin menurun. Di sisi lain, skandal ini mengungkapkan lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum terhadap perusahaan negara yang seharusnya menjadi contoh dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa reformasi dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia sangat diperlukan. Sektor pertambangan yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia seharusnya dikelola dengan bijaksana dan transparan. Praktik korupsi yang terungkap ini mencerminkan tantangan besar dalam pengelolaan sektor yang sangat strategis bagi Indonesia. Reformasi yang lebih mendalam dalam pengawasan dan pemberantasan korupsi di sektor ini sangat dibutuhkan agar praktik serupa tidak terulang di masa depan.

Penyelidikan lebih lanjut terus dilakukan oleh Kejagung, dan meskipun beberapa tersangka telah diidentifikasi, proses hukum masih berjalan untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam skandal ini dapat dimintai pertanggungjawaban. Pemerintah Indonesia berencana untuk memperkuat sistem pengawasan terhadap industri pertambangan dengan meningkatkan transparansi dan memperketat regulasi yang mengatur izin pertambangan serta perlindungan lingkungan. Selain itu, reformasi di tubuh perusahaan BUMN juga diharapkan dapat mencegah penyalahgunaan wewenang oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Kesimpulan

Korupsi di Indonesia adalah masalah kompleks yang melibatkan berbagai aktor, dari pejabat publik hingga sektor swasta. Berbagai teori, seperti teori monopoli dari Robert Klitgaard dan fraud triangle dari Jack Bologna, memberikan wawasan mendalam tentang akar penyebab korupsi, baik dari sisi kelembagaan maupun perilaku individu. Pendekatan Klitgaard menggarisbawahi pentingnya reformasi struktural dalam mengurangi praktik korupsi, dengan fokus pada pengurangan monopoli kekuasaan, peningkatan transparansi, dan penguatan akuntabilitas. Sementara itu, teori Bologna memberikan pemahaman mengenai faktor-faktor psikologis yang mendorong individu untuk melakukan korupsi, seperti tekanan, peluang, dan rasionalisasi.

Dalam konteks Indonesia, pengaruh politik dan jaringan kekuasaan yang kuat memperburuk situasi, menciptakan celah bagi korupsi berkembang, bahkan pada tingkat yang sangat tinggi, seperti yang terlihat dalam kasus PT Timah. Korupsi dalam perusahaan milik negara ini menimbulkan kerugian finansial yang sangat besar serta kerusakan lingkungan yang meluas. Kasus ini menggambarkan bagaimana lemahnya pengawasan, kolusi antara pejabat, dan manipulasi izin dapat merusak ekosistem dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Integrasi kedua teori ini menawarkan solusi yang lebih komprehensif, dengan memperhatikan baik aspek kelembagaan dan psikologis dalam merancang kebijakan pemberantasan korupsi. Untuk memberantas korupsi secara efektif, diperlukan reformasi struktural dalam pengawasan dan pengelolaan sumber daya alam, peningkatan kesejahteraan bagi aparatur negara, serta perubahan budaya birokrasi yang mendorong integritas dan transparansi.

Daftar Pustaka

Klitgaard, R. (1988). Controlling Corruption. University of California Press.

Bologna, J. (1993). The Fraud Triangle: A Guide to Understanding and Preventing Fraud. Journal of Forensic Accounting.

KPK. (2020). Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia.

Indonesia Corruption Watch. (2022). Korupsi di Indonesia: Fakta, Data, dan Analisis. ICW.

Kejaksaan Agung RI. (2023). Laporan Penyelidikan Kasus PT Timah. Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

Buku Keterbukaan Informasi Publik. (2021). Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pemerintahan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebijakan Publik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun