Dugaan kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai sekitar Rp271 triliun, mencakup kerugian ekonomi yang disebabkan oleh penambangan ilegal serta kerusakan ekologis yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut. Kerugian lingkungan sangat signifikan, terutama di provinsi Bangka Belitung, yang merupakan salah satu pusat penambangan timah terbesar di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa lebih dari 170 ribu hektare lahan digali oleh perusahaan tanpa izin yang sah. Bahkan, sekitar 75 ribu hektare dari lahan yang digali terletak di kawasan hutan yang dilindungi. Kerusakan lingkungan ini juga berkontribusi pada kerugian ekologi yang mencapai lebih dari Rp223 triliun, yang terdiri dari biaya rehabilitasi lingkungan dan kerusakan ekosistem yang melibatkan ekosistem perairan dan tanah yang sudah rusak. Pemerintah dihadapkan pada tantangan besar dalam melakukan pemulihan, yang memerlukan dana yang sangat besar. Selain itu, salah satu dampak serius dari kerusakan ini adalah hilangnya habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna yang ada di kawasan tersebut.
Kejaksaan Agung (Kejagung) Indonesia mulai mengusut kasus ini pada tahun 2022 setelah adanya laporan dan temuan yang menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang dan praktik penambangan ilegal yang melibatkan PT Timah. Kejagung bekerja sama dengan sejumlah ahli kehutanan dan ahli forensik untuk menilai kerugian yang timbul akibat praktik ini, baik dari segi ekonomi maupun kerusakan lingkungan. Dalam proses investigasi, sejumlah pejabat PT Timah dan beberapa pihak terkait lainnya, termasuk Harvey Moeis, menjadi sorotan. Harvey Moeis disebut-sebut terlibat dalam kebijakan perusahaan yang lemah dalam pengawasan terhadap penambangan ilegal. Kejagung telah menetapkan beberapa tersangka yang diduga berperan dalam memfasilitasi penambangan ilegal melalui pemalsuan dokumen dan manipulasi izin usaha pertambangan (IUP). Penyelidikan juga mengungkap bahwa beberapa pejabat daerah diduga turut terlibat dalam penerbitan izin tambang yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Selain kerugian finansial dan lingkungan yang besar, kasus ini juga memberikan dampak sosial dan politik yang signifikan. Kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah untuk mengelola sumber daya alam yang dimiliki negara semakin menurun. Di sisi lain, skandal ini mengungkapkan lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum terhadap perusahaan negara yang seharusnya menjadi contoh dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa reformasi dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia sangat diperlukan. Sektor pertambangan yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia seharusnya dikelola dengan bijaksana dan transparan. Praktik korupsi yang terungkap ini mencerminkan tantangan besar dalam pengelolaan sektor yang sangat strategis bagi Indonesia. Reformasi yang lebih mendalam dalam pengawasan dan pemberantasan korupsi di sektor ini sangat dibutuhkan agar praktik serupa tidak terulang di masa depan.
Penyelidikan lebih lanjut terus dilakukan oleh Kejagung, dan meskipun beberapa tersangka telah diidentifikasi, proses hukum masih berjalan untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam skandal ini dapat dimintai pertanggungjawaban. Pemerintah Indonesia berencana untuk memperkuat sistem pengawasan terhadap industri pertambangan dengan meningkatkan transparansi dan memperketat regulasi yang mengatur izin pertambangan serta perlindungan lingkungan. Selain itu, reformasi di tubuh perusahaan BUMN juga diharapkan dapat mencegah penyalahgunaan wewenang oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Kesimpulan
Korupsi di Indonesia adalah masalah kompleks yang melibatkan berbagai aktor, dari pejabat publik hingga sektor swasta. Berbagai teori, seperti teori monopoli dari Robert Klitgaard dan fraud triangle dari Jack Bologna, memberikan wawasan mendalam tentang akar penyebab korupsi, baik dari sisi kelembagaan maupun perilaku individu. Pendekatan Klitgaard menggarisbawahi pentingnya reformasi struktural dalam mengurangi praktik korupsi, dengan fokus pada pengurangan monopoli kekuasaan, peningkatan transparansi, dan penguatan akuntabilitas. Sementara itu, teori Bologna memberikan pemahaman mengenai faktor-faktor psikologis yang mendorong individu untuk melakukan korupsi, seperti tekanan, peluang, dan rasionalisasi.
Dalam konteks Indonesia, pengaruh politik dan jaringan kekuasaan yang kuat memperburuk situasi, menciptakan celah bagi korupsi berkembang, bahkan pada tingkat yang sangat tinggi, seperti yang terlihat dalam kasus PT Timah. Korupsi dalam perusahaan milik negara ini menimbulkan kerugian finansial yang sangat besar serta kerusakan lingkungan yang meluas. Kasus ini menggambarkan bagaimana lemahnya pengawasan, kolusi antara pejabat, dan manipulasi izin dapat merusak ekosistem dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Integrasi kedua teori ini menawarkan solusi yang lebih komprehensif, dengan memperhatikan baik aspek kelembagaan dan psikologis dalam merancang kebijakan pemberantasan korupsi. Untuk memberantas korupsi secara efektif, diperlukan reformasi struktural dalam pengawasan dan pengelolaan sumber daya alam, peningkatan kesejahteraan bagi aparatur negara, serta perubahan budaya birokrasi yang mendorong integritas dan transparansi.
Daftar Pustaka
Klitgaard, R. (1988). Controlling Corruption. University of California Press.
Bologna, J. (1993). The Fraud Triangle: A Guide to Understanding and Preventing Fraud. Journal of Forensic Accounting.