Mohon tunggu...
Mujib AlMarkazy
Mujib AlMarkazy Mohon Tunggu... Guru - Hidup mulia atau mati dalam perjuangan mencari ridho Allah

Guru Ngaji di Pedesaan, yang penting Allah ridho untuk bekal akhirat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pesantren Pra dan Pasca Kemerdekaan

18 Mei 2019   16:01 Diperbarui: 18 Mei 2019   16:05 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://simple.wikipedia.org 

Oleh 

Mujiburrahman Al-Markazy

Tulisan kali ini penulis tergelitik untuk mengangkat topik membahas tentang mengapa penjajahan yang terjadi di Indonesia begitu merata, tapi yang terjadi kristenisasi besar-besaran hanya di wilayah Indonesia timur. Inilah sedikit ulasan yang penulis pernah wawancara ketika berkunjung ke kepulauan di Indonesia timur khusus Maluku-Maluku Utara dan sekitarnya. Cuman saat itu foto yang diabadikan penulis telah terdelet.

Untuk kelengkapan data. Insyaallah penulis berencana untuk mendatangi tempat itu lagi demi keotentikan data. Ini penulis sengaja angkat sebelum bahan yang penulis miliki bisa hilang atau terhapus dari koleksi wawancara di kepulauan Maluku itu. 

Ditambah lagi menurut yang penulis pernah baca tentang kapan awal masuknya Islam di Indonesia yang diangkat oleh yang terhormat Alm. Prof. DR. Buya Hamka. Beliau pernah mengatakan dalam tulisan beliau ketika membantah tulisan Ir. Mangaradja Onggan Parlindungan tentang tuanku Rao, bahwasanya Islam telah masuk di Indonesia sejak zaman dinasti Umayyah sekitar 40 H/ 660 M. Makam tua pembawa Islam di wilayah Tidore menunjukkan bahwa Islam di tanah timur tidak kalah tuanya jika dibandingkan dengan wilayah barat Indonesia, Aceh, misalnya.

Hal yang membuat penulis tergelitik adalah mengapa Islam di wilayah timur lebih gampang berbalik arah ke Nasrani ketimbang tetap kukuh dalam keimanan. Sebab jika kita memperhatikan kultur timur, masih banyak orang yang begitu fanatik untuk membela agama, hal nampak ketika pernah terjadi peristiwa naas, di Idul Fitri berdarah 19 Januari 1999. Inilah sedikit ulasannya yang penulis ramu dalam 8 poin. 

1. Masuk Islamnya Timur dan Barat

Jika kita telaah tentang teori masuknya Islam di Indonesia, akan kita dapati 4 teori seputar ini. Pertama adalah teori Gujarat yang memperkirakan Islam masuk sekitar abad ke-13 penguat teori ini adalah dengan ditemukannya Makam Sultan Malik As-Saleh pada tahun 1297 yang bercorak Gujarat. Pendiri teori ini adalah  S. Hurgronje dan J. Pijnapel.

Teori kedua masuknya Islam di Nusantara selanjutnya dikenal dengan teori Persia. Penguat teori ini adalah perayaan 10 Muharram di wilayah Sumatera Barat dan Jambi yang dikenal dengan nama Tabuik atau tabut, menurut penggagas teori ini memiliki kesamaan. Seperti teori Gujarat Islam masuk ke Nusantara pada Abad ke-13. Penyokong teori ini adalah Umar Amir Husein dan Hoesein Djajadiningrat. Penulis belum menelusuri lebih lanjut kedekatan kedua tokoh ini dengan Syiah Iran. 

Teori ketiga adalah teori China. Teori ini mengatakan bahwa seiring dengan masuknya pedagang muslim China masuk ke Nusantara maka saat itu pula Islam mulai berkembang di Indonesia. Ini ditandai dengan migrasinya warga Kanton, China sekitar abad ke-9. Menurut Slamet Mulyana dan Sumanto Al Qurthuby penggagas teori ini, bahwa penulisan gelar raja-raja Demak dengan tulisan China. Penguat yang lain pula, bahwa Raden Patah, Raja Demak adalah keturunan China. 

Teori keempat adalah teori Makkah. Teori ini berasumsi bahwa Islam langsung dibawa oleh pejuang dan musafir demi tersebarnya agama ke seluruh alam. Teori ini diusung oleh Buya Hamka, Van Leur, Anthony H. Johns,  dan T.W Arnold. Penguat teori ini adanya perkampungan Arab di Barus dengan nama Bandar Khalifah. 

Penguat lainnya adalah adanya batu bertulis di salah satu Makam di daerah Barus sejak Abad ke-7 M. Pada masa itu diperkirakan kekhalifahan Islam saat itu di bawah kepemimpinan seorang Sahabat Nabi yang terkenal bernama Sayyidina Muawiyah ra., atau yang dikenal juga awal dari kepemimpinan Bani Umayyah kala itu. 

Penulis condong pada teori keempat ini, bahwa Islam masuk jauh sebelum abad ke-13 atau abad ke-9 itu. Bahkan Indonesia telah dikenal oleh Dunia jauh sebelum abad ke-7 masa Kekhalifahan Bani Umayyah itu. Menurut seorang pakar Bahasa Arab, Ust. Ady Hidayat. Lc.,M.A Ia pernah mengatakan bahwa Indonesia jauh telah di kenal oleh orang Arab, bahkan ada salah satu kosa dan dalam Al-Qur'an yang menyerap dari bahasa Indonesia. Kata "kaafura," itu diambil dari bahasa Indonesia yang berasal dari Barus itu, ya, kapur barus. 

Kata "Kaafuraa", terdapat pada Surat ke-76 ayat ke-5 atau dikenal dengan Surat Al-Insan atau juga Ad Dahr. Jika merujuk kepada tafsir Ibnu Katsir, bahwa "Kaafur" adalah sesuatu yang harum dan sejuk. Memang kapur yang menjadi campuran kapur sirih adalah dingin, harum dan sejuk. Kata yang di serap dari Bahasa Indonesia. 

Sejauh pengamatan penulis, jalur masuknya Islam ke Indonesia bukan hanya melewati pintu barat yakni Banda Aceh, tapi juga dari wilayah timur Indonesia. Prasasti itu pernah diungkapkan dalam bukunya Buya Hamka, "Tuanku Rao: Antara Khayalan dan Fakta." Prasasti Kuburan tua yang berada sekitar abad ke-7 silam di wilayah Tidore. 

Salah satu yang memperkuat dugaan penulis tentang tuanya masa masuknya Islam di wilayah timur Indonesia itu adalah umur dari kerajaan Islam kala itu. Silahkan kita lihat di Wikipedia, Kesultanan Samudera Pasai berdiri sejak tahun 1267 M dan berakhir ketika invasi Portugis tahun 1521 M. Sedangkan jika dibandingkan dengan masa berdirinya Kesultanan Tidore sejak tahun 1081 M kemudian menyatakan diri bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950 M. Lihat perbedaannya hampir 200 tahun jarak antara lahirnya Kesultanan Samudera Pasai dengan Kesultanan Tidore.

Jika dibandingkan dengan Kesultanan Demak, sebagai kesultanan pertama di tanah Jawa. Kesultanan Demak berdiri pada tahun 1475 M dan berakhir tahun 1554 M akibat perebutan kekuasaan di kalangan kerabat kerajaan. Jika dibandingkan dengan Kesultanan Samudera Pasai maka kesultanan Demak baru lahir setelah 200 tahun berkibar bendera Kesultanan Samudera Pasai. Artinya, hampir 400 tahun alias 4 Abad jarak antara kesultanan Tidore dan Kesultanan Demak sebagai pusat penyebaran Islam di Indonesia, seperti yang diketahui kebanyakan orang itu. 

Maka, penulis berasumsi bahwa memang Islam masuk ke wilayah timur hampir sama tuanya dengan ketika Islam masuk di wilayah barat Indonesia. Terus yang menjadi pertanyaan sehingga penulis tergelitik untuk menuliskan perkara ini adalah, mengapa Islam di tanah Jawa lebih bertahan lama alias mampu awet dalam mengahadapi gempuran misionaris Belanda kala itu? 

Apa keunggulan Islam di tanah Jawa? Jangan berasumsi bahwa adanya para wali saja, sebab sebenarnya semua pejuang penyebar Islam itu hakekatnya dia adalah wali Allah, cuman mungkin level setiap kewalian itu berbeda. Mengenai terkenal itu anugerah, memang ada wali Allah yang tidak terkenal. Katakanlah Nabi Musa as., lebih terkenal di kalangan Bani Israel kala itu daripada guru spiritual Nabi Musa as, yakni Nabi Khidir as.

2. Keunggulan Islam di Indonesia Barat

Kalau kita berjalan di tanah Jawa, maka kita akan dapat begitu berjibun pondok pesantren. Hampir setiap lorong ada lagi pesantren. Inilah rahasianya, yakni, kaderisasi. 

Islam di tanah Jawa mulai menguat adalah dari dakwahnya para wali Songo. Setiap para wali itu memiliki murid yang datang untuk belajar. Penampungan untuk para santri telah ada walaupun seadanya. Kita saksikan tonggak utama perjuangan Rasulullah saw., adalah para 'santri' beliau yang begitu antusias untuk memahami agama. Sampai ada salah satu lantai khusus di Masjid Nabawi tempat i'tikaf dan mukimnya para penuntut Ilmu itu. Tempat itu bernama Shuffah, sehingga penghuni yang mendiami Shuffah itu bergelar Ashabu Shuffah. Abu Hurairah ra., adalah salah satu santri di Ashabu Shuffah itu. 

Sekarang coba saudara sekalian jalan ke wilayah Indonesia timur, silahkan cari pondok pesantren yang berumur ratusan tahun. Tidak ada, kalaupun ada di wilayah Sulawesi Tengah, Palu, tepatnya di Kabupaten Donggala bernama pesantren Al-Khairat. Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada para Ulama dan Habaib yang ada di dalamnya, pesantren ini didirikan oleh Guru Tua, Habib Idrus bin Salim Aldjufrie pada tahun 1930, pada masa kependudukan Belanda di Indonesia. Dengan adanya pesantren ini telah muncul kaderisasi, tapi untuk menangkal invasi kristenisasi oleh Belanda sudah tidak memadai lagi. Wilayah kerajaan Tidore tidak ada regenerasi pejuang Islam dalam artian mencetak kader ulama. 

Menurut cerita dari guru kami KH. Mukhlisun AR., bahwa pejuang kemerdekaan dahulu semenjak Pangeran Diponegoro ketika pasukan mereka dalam pengejaran oleh Belanda, mereka 'menyusup' ke tengah masyarakat dengan mengajarkan mengaji, baca tulis Al-Qur'an dikemudian hari berkembang menjadi pesantren tua di tanah Jawa. Salah satu pesantren tua di tanah Jawa adalah Pesantren yang didirikan oleh Mbah Siroj di Jawa Tengah di Payaman. Nama Payaman diambil dari kata pengayoman tempat berlatih Suluk, alias mujahadah spiritual Pangeran Diponegoro kala itu. 

Inilah menurut hemat penulis, bahwa penopang alias pasak dari kuatnya Islam di tanah Jawa adalah karena kaderisasi pesantren yang terus di kembangkan. Sedangkan 5 Pesantren tua yang telah berumur sekitar 2 abad yang telah dikenal Indonesia dan terkenal di Pulau Jawa adalah, Pondok Pesantren (PP) Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur yang berdiri sejak 1718 atau 1745 M memang ada dua versi, PP Jamseran di Jawa Tengah yang berdiri sejak 1750, PP Miftahul Huda, di Gading, Malang yang berdiri sejak 1768 M, PP Buntet di Cirebon, Jawa Barat yang berdiri sejak 1785, dan yang terakhir adalah PP Darul Ulum di Banyuanyar, Pamekasan, Madura, Jawa Timur yang berdiri sejak tahun 1787 M. Kaderisasi yang berjalan 2 abad lebih inilah yang menjadi tonggak memperkokoh Islam di tanah Jawa.

3. Ulama Timur vs Ulama Barat

Pada poin ini, penulis hendak menyampaikan tentang cara ulama (tokoh agama) dalam menyampaikan ilmu. Penulis tidak membandingkan tingkat keilmuan dan pendidikan dari ulama atau tokoh agama itu, tapi yang menjadi sorotan penulis adalah cara transfer ilmu dari para tokoh agama baik di timur Indonesia maupun di baratnya. 

Menurut hemat penulis, cara transfer ilmu yang diberikan oleh ulama timur Indonesia lebih tertutup dibandingkan dengan di wilayah barat. Kalau di barat Indonesia pentransferan ilmu dengan metode pembelajaran di pesantren, umum bagi siapa saja yang mau belajar. 

Lain lagi di wilayah timur Indonesia itu.  Pada timur Indonesia transfer Ilmu yang dilakukan oleh tokoh agama cenderung secara kekeluargaan. 

Jika ada orang dari luar keluarga pihak tokoh agama atau orang yang diulamakan itu didatangi para penuntut Ilmu ia relatif cenderung menyuruh orang tersebut untuk menuntut dari wilayah keluarganya terlebih dahulu. Jika tidak ada dari pihak keluarga si penuntut ilmu itu, maka sebelum nasehat atau ilmu agama yang akan diberikan semacam ada syarat tertentu, seperti membawa ayam hitam atau ayam putih kemudian diberikan ilmu agama dan nasehat di tempat yang tertutup, face to face, tidak secara terbuka. 

Kalau disimpulkan singkat tentang metode penyampaian ilmu agama di wilayah timur Indonesia cenderung kekeluargaan, relatif banyak persyaratan, dan face to face alias tertutup. 

4. Perbedaan Mencolok antara generasi pelanjut Ulama Timur dan Barat

Keturunan ulama bagian barat Indonesia selalu dari kecil telah tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan ilmu. Suasana keilmuan dan tatakrama yang lahir di dunia pesantren salaf di generasi awal Indonesia itu tidak diragukan lagi. Setelah selesai pendidikan di lingkup orang tua, si anak atau dikenal dengan sebutan gus itu akan menuntut ilmu agama di luar Indonesia, misalnya Yaman, Mesir, Makkah atau Madinah. Sehingga ketika kembali ke tanah air, keunggulan ilmu di tempat ia menimba ilmu itu akan ditransferkan di lingkungan pondok pesantren ayahnya jika ia memimpin pondok pesantren nantinya. 

Di wilayah timur Indonesia, lain lagi keadaannya. Entah karena pengaruh suasana misionaris penjajah atau karena tumbuh di tempat yang bukan suasana keilmuan pesantren. Keinginan dan gairah menuntut ilmu dari putra atau putri tokoh agama atau ulama timur Indonesia kebanyakan dan hampir seluruhnya melanjutkan pendidikan di tempat yang bukan berbasis keilmuan agama. Kebanyakan menuntut ilmu di spesifikasi umum yang bukan agama, seperti di bidang pemerintahan, pendidikan umum, biologi, matematika dan lainnya. Kontras dengan wilayah barat Indonesia. 

Ditambah lagi, walaupun anak sendiri mau diajarkan ilmu agama harus tunggu berusia baligh atau setelah menikah. Maka hal inilah yang memperparah tumbuh dan berkembangnya kader baru dalam pengemban tugas dakwah. Apalagi sampai bisa membentuk pribadi yang berkarakter tangguh dalam perjuangan dakwah Islamiyah nantinya. 

Inilah sedikit analisa singkat dari mengapa Islam di Indonesia timur cenderung lebih banyak murtad setelah dijajah oleh Belanda sekian abad. Sedangkan di Indonesia barat malah sebaliknya, setelah kemerdekaan ulama yang lahir begitu banyak dan persentasi muslim yang berubah haluan agama alias murtad relatif lebih kecil. 

Berikut ini sedikit penulis sedikit menyorot keadaan pesantren dan pendidikan masa kini dan apa langkah perbaikan ke depan nanti. jika memang perlu untuk ditingkatkan kualitas yang sudah ada atau sedikit merenovasi kualitas pendidikan pesantren kita sekarang ini. 

5. Pesantren Menciptakan Bibit Unggul

Ketika awal mula pesantren didirikan oleh para ulama, semacam ada kontrak moral. Kontrak moral yang di dalamnya selain untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat juga sesuai dengan cita-cita perjuangan dari ulama terdahulu yang bersambung sampai ke Nabi dan para sahabatnya, adalah untuk membentuk generasi militan yang tidak mudah goyah dengan rusaknya keadaan zaman. 

Ingin membentuk suatu generasi yang unggul dalam segala aspek, baik dari segi Ilmu agama, sosial budaya, budi pekerti, bahasa dan sastra serta bisa melahirkan generasi yang bisa membawa Indonesia ke tatanan unggul dari semua negara. Dengan metode pesantren yang begitu sederhana, tapi memiliki cita-cita dan impian yang begitu besar. Agar bisa membentuk generasi yang memimpin dunia dan menciptakan peradaban Islami dalam bingkai perbedaan dan toleransi, sebagai wujud rahmatan lil alami itu. 

6. Fenomena Pesantren Masa Kini

Berkaca dari visi ulama awal pendiri dan penyokong keilmuan dan kemerdekaan di negeri ini, maka kita dapati sesuatu yang tidak pada tempatnya lagi. Memang tidak berjumlah keseluruhan tapi pemandangan 5- 10 tahun terakhir kondisi pesantren kita mulai terkikis dari khithah atau cita-cita awal perjuangan. Kenapa penulis berasumsi demikian?

Menurut hemat penulis sejauh ini, perkembangan kwalitas output pesantren dengan generasi pendahulu bangsa ini sangat jauh menganga. Padahal jika kita bandingkan tingkat sarana dan prasarana pendidikan pesantren dewasa ini, dibilang sangat kompleks dibandingkan dengan generasi awal yang serba keterbatasan. Hal inilah yang membuat penulis tergelitik, mengapa bisa menghasilkan output yang jauh lebih rendah kwalitas keilmuan dan mental perjuangannya. Seharusnya, bisa lebih unggul dan lebih maju. Apa yang salah atau apa yang hilang?

7. Islam Berkembang dalam Pergerakan

Untuk sementara penulis berasumsi bahwa kemajuan keilmuan dan karakter yang tangguh dalam membuat suatu perubahan tidak tergantung pada sekedar menyediakan sarana dan prasarana pendidikan saja, tapi ada satu hal yang lebih penting, yakni hidup dalam suasana pergerakan. 

Penulis tidak menuduh bahwa pendidikan sekarang ini tidak memiliki visi pergerakan seperti generasi awal. Cuman, tulisan ini sedikit menggelitik para pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan, terkhusus pendidikan Islam seperti IAIN, dan pondok pesantren lainnya. 

Mohon maaf, menurut hemat penulis, bahwa untuk membentuk anak didik dengan output yang bisa membawa terobosan besar untuk Islam dan Indonesia, mestilah dimulai dari para ustadz dan dewan guru pun harus aktif dalam dunia pergerakan Islam. Aktif dalam pergerakan Islam tidak harus turun dalam aksi demo, tapi sifat pergerakan dan api semangat pergerakan itu tidak boleh luntur dari jiwa pendidik. Kita sering menyoal tentang rendahnya kualitas output dari siswa di sekolah atau santri di pesantren tapi praktek dari guru yang tidak bisa menjadi teladan dalam mendidik telah menjawab semua ketersesatan dan kelemahan ini. 

8. Mengawinkan Pesantren dan Pergerakan

Sudah menjadi keharusan bahwa pendidikan keilmuan dan karakter tidak bisa dipisahkan dari nilai pergerakan. Dimulai dari dewan guru dan asatidz yang rela bertungkus-lumus dalam Pergerakan Islam. Menyediakan sedikit waktu diluar kesibukan mengajarnya untuk terjun membina ummat tanpa pamrih agar apa? Agar tumbuh dan tetap terpelihara militansi perjuangan dalam membangun ummat. 

Diharapkan dari resonansi atau getaran amplitudo dari jiwa seorang pendidik yang cinta dengan perjuangan akan melahirkan generasi yang cinta kepada Allah dan Rasulul-Nya. Juga diharapkan akan melahirkan generasi yang tangguh dab unggul dalam segala hal  demi perjuangan menghidupkan Islam secara kaffah di seluruh penjuru dunia, serta menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah dan guru bagi kemajuan Islam, keilmuan dan kemanusiaan nantinya. Aammiin. 

Semoga bermanfaat. 

Wanggudu,  Asera, Sulawesi Tenggara,

8 Desember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun