Mohon tunggu...
Mujib AlMarkazy
Mujib AlMarkazy Mohon Tunggu... Guru - Hidup mulia atau mati dalam perjuangan mencari ridho Allah

Guru Ngaji di Pedesaan, yang penting Allah ridho untuk bekal akhirat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pesantren Pra dan Pasca Kemerdekaan

18 Mei 2019   16:01 Diperbarui: 18 Mei 2019   16:05 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://simple.wikipedia.org 

Keturunan ulama bagian barat Indonesia selalu dari kecil telah tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan ilmu. Suasana keilmuan dan tatakrama yang lahir di dunia pesantren salaf di generasi awal Indonesia itu tidak diragukan lagi. Setelah selesai pendidikan di lingkup orang tua, si anak atau dikenal dengan sebutan gus itu akan menuntut ilmu agama di luar Indonesia, misalnya Yaman, Mesir, Makkah atau Madinah. Sehingga ketika kembali ke tanah air, keunggulan ilmu di tempat ia menimba ilmu itu akan ditransferkan di lingkungan pondok pesantren ayahnya jika ia memimpin pondok pesantren nantinya. 

Di wilayah timur Indonesia, lain lagi keadaannya. Entah karena pengaruh suasana misionaris penjajah atau karena tumbuh di tempat yang bukan suasana keilmuan pesantren. Keinginan dan gairah menuntut ilmu dari putra atau putri tokoh agama atau ulama timur Indonesia kebanyakan dan hampir seluruhnya melanjutkan pendidikan di tempat yang bukan berbasis keilmuan agama. Kebanyakan menuntut ilmu di spesifikasi umum yang bukan agama, seperti di bidang pemerintahan, pendidikan umum, biologi, matematika dan lainnya. Kontras dengan wilayah barat Indonesia. 

Ditambah lagi, walaupun anak sendiri mau diajarkan ilmu agama harus tunggu berusia baligh atau setelah menikah. Maka hal inilah yang memperparah tumbuh dan berkembangnya kader baru dalam pengemban tugas dakwah. Apalagi sampai bisa membentuk pribadi yang berkarakter tangguh dalam perjuangan dakwah Islamiyah nantinya. 

Inilah sedikit analisa singkat dari mengapa Islam di Indonesia timur cenderung lebih banyak murtad setelah dijajah oleh Belanda sekian abad. Sedangkan di Indonesia barat malah sebaliknya, setelah kemerdekaan ulama yang lahir begitu banyak dan persentasi muslim yang berubah haluan agama alias murtad relatif lebih kecil. 

Berikut ini sedikit penulis sedikit menyorot keadaan pesantren dan pendidikan masa kini dan apa langkah perbaikan ke depan nanti. jika memang perlu untuk ditingkatkan kualitas yang sudah ada atau sedikit merenovasi kualitas pendidikan pesantren kita sekarang ini. 

5. Pesantren Menciptakan Bibit Unggul

Ketika awal mula pesantren didirikan oleh para ulama, semacam ada kontrak moral. Kontrak moral yang di dalamnya selain untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat juga sesuai dengan cita-cita perjuangan dari ulama terdahulu yang bersambung sampai ke Nabi dan para sahabatnya, adalah untuk membentuk generasi militan yang tidak mudah goyah dengan rusaknya keadaan zaman. 

Ingin membentuk suatu generasi yang unggul dalam segala aspek, baik dari segi Ilmu agama, sosial budaya, budi pekerti, bahasa dan sastra serta bisa melahirkan generasi yang bisa membawa Indonesia ke tatanan unggul dari semua negara. Dengan metode pesantren yang begitu sederhana, tapi memiliki cita-cita dan impian yang begitu besar. Agar bisa membentuk generasi yang memimpin dunia dan menciptakan peradaban Islami dalam bingkai perbedaan dan toleransi, sebagai wujud rahmatan lil alami itu. 

6. Fenomena Pesantren Masa Kini

Berkaca dari visi ulama awal pendiri dan penyokong keilmuan dan kemerdekaan di negeri ini, maka kita dapati sesuatu yang tidak pada tempatnya lagi. Memang tidak berjumlah keseluruhan tapi pemandangan 5- 10 tahun terakhir kondisi pesantren kita mulai terkikis dari khithah atau cita-cita awal perjuangan. Kenapa penulis berasumsi demikian?

Menurut hemat penulis sejauh ini, perkembangan kwalitas output pesantren dengan generasi pendahulu bangsa ini sangat jauh menganga. Padahal jika kita bandingkan tingkat sarana dan prasarana pendidikan pesantren dewasa ini, dibilang sangat kompleks dibandingkan dengan generasi awal yang serba keterbatasan. Hal inilah yang membuat penulis tergelitik, mengapa bisa menghasilkan output yang jauh lebih rendah kwalitas keilmuan dan mental perjuangannya. Seharusnya, bisa lebih unggul dan lebih maju. Apa yang salah atau apa yang hilang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun