Mohon tunggu...
Mujib Almarkazy
Mujib Almarkazy Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk memanen pahala

Menulis itu adalah rangkaian dari huruf itu-itu saja bisa membuat sedih atau bahagia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Kerajaan Fiktif, Menyorot Keteledoran Pemerintah

24 Januari 2020   10:21 Diperbarui: 24 Januari 2020   10:26 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sifat dasar manusia adalah ingin dihargai. Untuk mendapatkan penghargaan manusia menempuh bermacam cara. Ada yang berusaha menumpuk harta agar dihargai. Orang seperti ini, menganggap harta adalah sarana untuk mendapatkan penghargaan itu. 

Ada yang berusaha menempuh jalur pendidikan tinggi, walaupun dengan biaya yang tidak sedikit. Baginya, gelar yang tinggi akan menaikkan taraf dan penghargaan masyarakat. Ada pula yang mencari dengan jalur memperoleh jabatan tertentu. Dengannya ia berpendirian akan dihormati dalam suatu perkumpulan atau masyarakat. 

Senantiasa ada dua jalan untuk memperoleh sesuatu yang dicitakan. Apakah dengan jalur yang positif atau negatif. Jalur yang benar atau salah. Selama ia menempuh jalur yang benar dan legal, maka itu akan membawa dampak positif di masyarakat. Sebaliknya, jika jalur yang ditempuh adalah keliru dan salah jalan. Bukan hanya dirinya, orang lain pun akan mendapatkan imbas negatif itu. 

Menyoroti tentang kerajaan fiktif yang marak akhir-akhir ini. Diantaranya Kerajaan Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire yang sempat viral baru-baru ini. 

Menurut budayawan Sunda, Dedy Mulyadi, "Kerajaan Fiktif di Indonesia bukan hanya dua seperti yang marak saat ini, tapi jumlahnya ribuan. Hanya saja mereka tidak memproklamirkan diri dan menjadi viral di sosial media." Seperti dikutip dari tayangan kompas TV (20/1/20) beberapa hari lalu. 

Fenomena ini sempat menjadi pembicaraan hangat di berbagai tempat. Diantaranya di Jamaah Masjid Raya As Salam, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. 

Menurut Kepala Unit BRI Konawe Utara, Irwan, SE. Ia pun sempat menjadi anggota dari salah satu yayasan yang menjanjikan uang triliunan dollar sebagai asset kekayaan Indonesia sejak zaman kerajaan tempo dulu. Ia direkrut ketika menjadi mahasiswa di fakultas Ekonomi, Unhas, Makassar. 

Iming-iming dan janji manis seperti ini banyak terjadi di kalangan masyarakat bawah dengan cerita yang mirip. Diantaranya, masih banyak aset kekayaan Indonesia sejak zaman kerajaan kuno sebelum kemerdekaan Indonesia yang telah disimpan di dalam brankas Bank Swiss. 

Aset itu hanya bisa diambil oleh orang yang memiliki jalur keturunan kerajaan dan memiliki akses untuk mengambilnya Secara legal. Hal inilah yang mengharuskan anggotanya untuk memberikan donasi untuk kelancaran proses dimaksud. Dengan iming-iming akan diberikan imbalan yang jauh lebih besar jika telah berhasil. 

Tidak tanggung-tanggung, mereka dijanjikan, jika aset tersebut dapat dikembalikan kepada yang "berhak" maka mereka dengan niat yang mulia akan membantu melunasi hutang pemerintah Indonesia. Wow. 

Sebab-musabab.

Menurut hemat kami, fenomena kerajaan fiktif ini dapat terjadi oleh beberapa faktor. 

1. Faktor kemiskinan ekonomi.

Disebabkan oleh keadaan finansial yang melilit. Maka, janji manis dan cerita fiksi yang seolah solusi itu bisa menjadi obat penyembuh bagi si miskin. Masyarakat mulai merasa jika hidup dalam keadaan terpuruk ekonomi seperti saat ini. 

Di saat semua harga berlomba naik seperti pendaki gunung yang berlomba untuk mencapai puncak tertinggi. Dari kebijakan pemerintah yang akan memangkas subsidi gas LPG untuk rakyat miskin. 

Rencana kenaikan premi asuransi BPJS. Dan berbagai kenaikan harga BBM dan pangan yang telah mewarnai sejak 2019. Maka, janji manis "Sang Raja" seolah oase di tengah Sahara yang kerontang. 

2. Miskin Sejarah dan Budaya

Jika saja masyarakat masih akrab dengan warisan kerajaan kekeratonan yang masih menjadi warisan budaya. Mulai dari pengetahuan tentang silsilah yang diabadikan dalam babad. Serta rutinitas kekeratonan seperti kesultanan Jogja dan beberapa kesultanan Indonesia yang masih eksis. Maka, isu kerajaan fiktif tidak bisa digunakan lagi untuk hal semacam ini. Kecuali jika dimodifikasi dalam bentuk yang lain. Itu belum bisa dipastikan. 

3. Sifat serakah dan tamak 

Menurut Erich Formm dalam "The Art Loving" mengatakan, "Orang yang tamak adalah budak dari gairah dan  keinginannya. Dalam kehidupan nyata ia bukanlah orang yang aktif tapi ia berlaku pasif karena dikendalikan. Orang tersebut adalah si 'penderita' bukan 'sang aktor'." 

Jika kita berpijak pada sang psikolog kenamaan tersebut, maka ada dua ketamakan. Pertama, ketamakan dari sang raja fiktif dan ketamakan dari rakyat dari kerajaan fiktif. Ketamakan sang raja terlaksana dengan memanfaatkan ketamakan dari pengikutnya. 

Dengan iming-iming akan diberikan jabatan tertentu atau posisi tertentu dalam struktur kerajaanya. Juga akan diberikan uang ribuan dollar jika "proyek raksasa" mereka tercapai. Demi untuk tujuan mulia membantu melunasi hutang Indonesia. Luar biasa. 

Solusi dan Referensi

Untuk menyelesaikan problem yang senantiasa ada di tengah masyarakat seperti ini, Baik dari investasi bodong seperti Memiles, atau kerajaan fiktif yang marak. Maka, penulis mengajukan beberapa saran

1. Perkuat perekonomian. 

Pemerintah meski ambil peduli dengan maraknya penipuan. Baik yang berbentuk kerajaan atau investasi bodong dengan jalan membuat kebijakan yang pro-rakyat kecil. Jangan sedikit-sedikit naikin harga. Sedikit-sedikit pangkas subsidi dengan alasan dialihkan ke cara yang lebih efektif. Faktor kena tipu yang paling utama adalah faktor kondisi perekonomian yang tumpang tindih dan hampir merata di kalangan jelata. 

2. Menginventarisir Kekayaan Sejarah

Banyak situs sejarah yang kurang diperhatikan dan belum diperlakukan sebagaimana mestinya oleh pemerintah. Katakanlah Benteng Di Kepulauan Wakatobi. Penulis pernah berkunjung ke dua benteng di Pulau Tomia dan Pulau Wangi-wangi. Kondisinya masih sangat memperihatinkan. 

Berumput belukar dan tidak terawat. Apalagi mau menjadi ikon daerah yang dilirik menjadi destinasi wisata. Ketidak pedulian pemerintah baik pusat maupun daerah menyebabkan keakraban akan kultur budaya sendiri jadi asing. 

Sehingga cerita hoaks yang dirangkai oleh penipu yang mendongengkan tentang keadaan sejarah palsu dan aset kekayaan kerajaan, bisa dijadikan umpan untuk menangkap mangsa. 

3. Membentuk Kepribadian Hebat

Ini tugas individu, tokoh agama, keluarga, tokoh masyarakat, sampai ke tatanan pemerintah. Bukankah dalam lagu kebangsaan Indonesia raya. "Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia raya." 

Pembangunan yang asas adalah pembangunan mental, jiwa dasar manusia. Membentuk kepribadian yang paripurna dan utama adalah tanggung jawab manusia itu sebagai hamba tuhan dan pelayan masyarakat dan alam semesta. 

Bumi, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun