Menurut hemat kami, fenomena kerajaan fiktif ini dapat terjadi oleh beberapa faktor.Â
1. Faktor kemiskinan ekonomi.
Disebabkan oleh keadaan finansial yang melilit. Maka, janji manis dan cerita fiksi yang seolah solusi itu bisa menjadi obat penyembuh bagi si miskin. Masyarakat mulai merasa jika hidup dalam keadaan terpuruk ekonomi seperti saat ini.Â
Di saat semua harga berlomba naik seperti pendaki gunung yang berlomba untuk mencapai puncak tertinggi. Dari kebijakan pemerintah yang akan memangkas subsidi gas LPG untuk rakyat miskin.Â
Rencana kenaikan premi asuransi BPJS. Dan berbagai kenaikan harga BBM dan pangan yang telah mewarnai sejak 2019. Maka, janji manis "Sang Raja" seolah oase di tengah Sahara yang kerontang.Â
2. Miskin Sejarah dan Budaya
Jika saja masyarakat masih akrab dengan warisan kerajaan kekeratonan yang masih menjadi warisan budaya. Mulai dari pengetahuan tentang silsilah yang diabadikan dalam babad. Serta rutinitas kekeratonan seperti kesultanan Jogja dan beberapa kesultanan Indonesia yang masih eksis. Maka, isu kerajaan fiktif tidak bisa digunakan lagi untuk hal semacam ini. Kecuali jika dimodifikasi dalam bentuk yang lain. Itu belum bisa dipastikan.Â
3. Sifat serakah dan tamakÂ
Menurut Erich Formm dalam "The Art Loving" mengatakan, "Orang yang tamak adalah budak dari gairah dan  keinginannya. Dalam kehidupan nyata ia bukanlah orang yang aktif tapi ia berlaku pasif karena dikendalikan. Orang tersebut adalah si 'penderita' bukan 'sang aktor'."Â
Jika kita berpijak pada sang psikolog kenamaan tersebut, maka ada dua ketamakan. Pertama, ketamakan dari sang raja fiktif dan ketamakan dari rakyat dari kerajaan fiktif. Ketamakan sang raja terlaksana dengan memanfaatkan ketamakan dari pengikutnya.Â
Dengan iming-iming akan diberikan jabatan tertentu atau posisi tertentu dalam struktur kerajaanya. Juga akan diberikan uang ribuan dollar jika "proyek raksasa" mereka tercapai. Demi untuk tujuan mulia membantu melunasi hutang Indonesia. Luar biasa.Â