Mohon tunggu...
Mujahid Zulfadli AR
Mujahid Zulfadli AR Mohon Tunggu... Guru - terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

an enthusiast blogger, volunteer, and mathematics teacher | https://mujahidzulfadli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menguatkan Karakter dengan Budaya Bahari

15 April 2019   13:17 Diperbarui: 15 April 2019   13:24 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
apal Padewakang, bukti kejayaan maritim Indonesia dimpamerkan Kingdoms of the Sea Archipel Belgia, 24 Oktober 2017 (brusselsdiplomatic.com) 

Kekerasan dan anomali karakter dalam dunia pendidikan belakangan semakin sering terkuak. Meninggalkan ceruk besar bahwa ada yang 'terlupa' dalam pola pendidikan karakter di sekolah. Muatannya minim konten yang berakar kuat dari sejarah kebudayaan bangsa. Sebutan Indonesia bangsa maritim, unggul pengetahuan dan gemar gotong royong semakin kabur tertutupi kuasa budaya kontemporer.  

Reformasi Minus Basis Kebudayaan

Reformasi 1998 muncul akibat desakan penataan kehidupan berdemokrasi lebih baik. Kondisi yang tidak tertahankan (situasi politik, hukum, dan HAM) membuat reformasi saat itu tidak bisa ditunda-tunda lagi. Keterdesakan tersebut akhirnya hanya membuahkan perubahan politik secara struktural.

Padahal seturut reformasi birokrasi, reformasi atas pendidikan dan kultural tidak kalah pentingnya. Alasan paling kuat menurut Karlina Supelli (2018) ialah demi melahirkan masyarakat sipil yang akan menuntun dan menjaga cita-cita reformasi. Generasi yang memiliki budaya rasionalitas yang berfondasi kuat pada budaya bangsa. Peralihan era kemudian bergulir tanpa agenda kultural yang jelas.

Sementara itu misi kebudayaan dan misi pendidikan -termasuk pendidikan karakter- memiliki hubungan relasional sejak awal. Karakter yang kuat lahir dari pelembagaan budaya atau intisari warisan masa lampau yang baik, utamanya dalam menciptakan mental maritim. Negara membutuhkan masyarakat yang siap melangsungkan kehidupan berkewargaan yang lebih terarah dan demokratis. Kebudayaan memiliki lapisan yang banyak, dan perilaku masyarakat hanya salah satu komponen tersebut.

Tentu butuh perencanaan dan persiapan. Kita hanya tahu satu-satunya intervensi dan investasi penanaman karakter ialah pendidikan. Caranya melalui pengajaran dan pembiasaan. Pendidikan akan mengalirkan benih karakter baik ke seluruh tubuh bangunan Indonesia. Ibarat menyuntikkan cairan ke pembuluh darah. Agenda pendidikan karakter adalah masukan atau input-annya. Dari situ akan menyebebar, terhubung dan terkoneksi ke semua lini.

Cita-cita ini pernah bergaung ketika reformasi milenium baru saja dimulai. Namun kandas karena persoalan lain mengambil banyak perhatian. Olehnya itu, memperkaya konten kebudayaan dengan kristalisasi nilai budaya rasionalitas (berpikir ilmiah) dan budaya masa lampau dalam pendidikan karakter jadi penting diarusutamakan hari-hari ini. Membangkitkan kembali kehidupan berkebudayaan demi terbentuknya karakter tangguh.

Krisis Budaya Bahari

Bayangkan seorang murid sekolah menengah berpidato ringkas. Oleh gurunya disuruh menerangkan tentang Indonesia di depan murid lain. Kita bisa menebak jawabannya. Ketika menjelaskan, barangkali tidak sudi ia menguraikan kembali era kolonialisasi yang gelap, karena bangsanya sudah lama merdeka. Tidak akan diungkit lagi memori itu. Pikirannya lantas jauh mengingat ke belakang, lalu spontan berujar 'nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut'. Lalu selanjutnya menyinggung dengan gembira, negara yang ia tinggali punya keragaman alam dan budaya yang sambung-menyambung menjadi Indonesia hari ini.

Penelitian Anthony Read (1988) dalam Southeast Asia in the Age of Commerce: 1450 -- 1680 menyebut ketika pertama kali pengelana dari barat menemukan kepulauan Nusantara, kecakapan dunia maritim bangsa ini sejajar dengan yang barat miliki. Muhamad Yamin menyebut dua kedatuan itu "Republik Pertama" dan "Republik Kedua" Indonesia. Sejarawan Bambang Purwanto menegaskan posisi khusus Sriwijaya dalam mendominasi laut sebagai penguasa darat dan laut. Sumber itu disarikan dari sumber sejarah dari Arab beratus tahun lampus yang secara simbolik menjuluki penguasa Sriwijaya sebagai the Lord of the Mountain and the Maharaja of the Isles.

Murid itu benar, tapi yakinlah ia tak akan pernah menyentuh aksi-aksi kunci selanjutnya yang  kritis dan eksploratif. Semisal bertanya demikian, "mengapa pelaut dan bukan petani?" Pengetahuan tersebut hanya diterima seperti itu tanpa ditanya-tanya lagi kenapa. Sesekali mungkin pendidik boleh bertanya di kelas tentang sejauh mana mereka tergugah bait "...menempuh badai sudah biasa" Mungkin jawabannya belum. Kedua poin jawaban imajiner itu dipenuhi sejarah kemaritiman, tentang penguasaan laut dan samudera. Bangsa Indonesia pernah memiliki dua kerajaan laut dengan karakter bahari yang mendunia. Penguasaan mereka pada samudera diakui penjelajah Eropa saat itu; Sriwijaya dan Majapahit.

Semisal dengan itu, slogan-slogan yang menyangkut laut jauh dari mampu dijiwai sebagian besar peserta didik. Kadang hanya jadi simbol yang disebut-sebut tapi laiknya barang asing, tidak dikenali apalagi dibanggakan esksistensinya. Aspek laut dan mental yang mengirinya sudah begitu lama di-ekslusikan dari kerangka berpikir anak didik. Contoh paling kentara, eksul bakat minat pecinta alam belum beranjak dari dominasi penelusuran dan latihan berpola daratan. Laut seperti ruang yang jauh.

Memperkaya Pengalaman Kebaharian

Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Sedikit banyak, pendidikan dan penguatan karakter yang ada minim diskursus kebudayaan. Terutama sekali penggalian pengetahuan budaya maritim dan perangkat nilanya. Contoh dalam pelajaran sejarah. Historiografi Indonesia hanya dipenuhi perjuangan mengatasi keterjajahan di 'darat' tapi miskin kabar dari 'laut'. Penelitian menunjukkan, akibat dari itu pelajaran sejarah yang diterima peserta didik kurang material aspek bahari.

Sampai di sini, siapa dan seperti apa nenek moyang bangsa Indonesia dahulu? Penelaahan peneliti arkeologi Bambang Budi Utomo (2018) dalam makalah Mengenal Lebih Jauh Budaya Maritim Indonesiamenjelaskan  bahwa mereka adalah penutur rumpun bahasa Austronesia yang hidup sekitar 5000 hingga 7000 tahun lampau di Taiwan. Hingga sekitar satu milenium SM, para penutur yang sudah mencapai pesisir Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Sumatera membentuk sub-rumpun bahasa Melayu-Polinesia barat.  Sedangkan kelompok penutur yang melebarkan pelayaran arah berlawanan membentuk bahasa Melayu-Polinesia timur. Itulah nenek moyang sebenarnya bangsa Indonesia yang di satu masa membentuk riwayat kejayaan maritim panjang dan mengesankan.

Sejarawan maritim pertama Indonesia A.B. Lapian mengemukakan aspek maritim akan terus menonjol dalam konteks Sejarah Nusantara. Tanpa laut sejarahnya tinggal kisah pulau-pulau yang terpisah, bukan integrasi atas himpunan pulau yang terserak tersebut.  Peninggalannya berupa kerajaan maritim, pengetahuan kebaharian, suku bangsa bahari, hingga sistem aturan di luat dan pesisir. Sistem pengetahuan dan nilai-nilai ini belum tercakup baik dalam pengajaran-pengajaran di sekolah. Jika anak didik tidak mengenyam jurusan pelayaran di kejuruan, mungkin selamanya mereka tak mengenal navigasi laut. Jika anak didik bukan berasal dari kampung pembuat Pinisi di Bulukumba Sulawesi Selatan, mungkin mereka tidak akan pernah mengenal sistem budaya pembuatan perahu legendaris itu.

Kebesaran dunia maritim di era perdagangan Nusantara rentang abad 16 hingga 18 masih tersisa hingga kini. Eksplanasi Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia (2013) mengguratkan jelas bahwa persinggahan kapal-kapal tersebut mencerminkan peran penting pelabuhan. Seperti Pelabuhan Barus di Sumatera Utara, Samudera Pasai, Sibolga, Jambi, Palembang, Banten, Demak, Jepara, Lasem, Tuban, Ampenan, Somba Opu, Ternate, Tidore, dan lain-lain hingga abad ke-19 masih berperan penting dalam dinamika dunia pelayaran dan perdagangan di Nusantara kala itu.

Pelabuhan ini layaknya market place atau pasar elektronik saat ini. Perbedaannya, market place tidak memunculkan apa-apa selain meneguhkan budaya kontemporer lewat revolusi teknologi dan industri. Sedangkan pelabuhan kuno yang berfungsi tempat bertukar (pasar) di masa lalu dan menjadi tempat berkumpul pedagang, pengelana, saudagar, hingga agamawan dari seluruh tempat. Posisinya sangat penting, karena menjadi ruang pertukaran yang tidak hanya barang, tapi juga ruang asimilasi budaya, pengetahuan, hingga persebaran agama.

Persoalannya kemudian dampak dari ketiadaan muatan pengetahuan kesejarahan kemaritiman tersebut berbuah minimnya pengalaman kebahariaan peserta didik. Situasi tersebut semakin menjauhkan laut sebagai ruang pengenalan atas budaya bangsa. Pihak terkait juga belum mengatur bagaimana mengejawantahkan visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia ke dalam kurikulum. Bila ingin maju selangkah, harus ada pengejawantahan mental bahari dalam bentuk praksis. Laut, bersama muara dan pesisir menjadi beranda sekaligus ruang kultural yang harus di-introduksi sedini mungkin pada generasi-generasi selanjutnya.

Sesedikit mungkin, pengetahuan ruang laut diharapakan juga bisa membaur bersama yang lain --sawah, hutan, gunung- dalam rangka mengejawantahkan mental bahari ke dalam bentuk-bentuk praksis. Tanpa berwacana lebih jauh, peserta didik dibawa menyaksikan ruang-ruang tersebut, menapaktilasi banyak hal sesuai fokus pelajaran yang ingin digali. Barangkali dengan pelayaran edisi singkat yang dilaksanakan sekolah ataupun pihak lain.

Menambang Karakter Positif

Sesungguhnya bukan pula dikotomi karakter manusia darat dan laut yang ingin diketengahkan, melainkan pembauran keduanya. Memori kolektif pada budaya maritim setidaknya punya hak yang sama dalam kurikulum. Penyatuan tersebut tentu memperkaya muatan budaya dan wawasan nusantara pada pendidikan karakter. Lebih jauh, bergabungnya karakteristik kebaharian akan memunculkan kembali nilai-nilai positif yang 'hilang' dalam situasi pendidikan hari ini.

Kita ambil contoh tokoh sejarah Arung Palakka. Penguasa Kerajaan Bone ini pernah jadi bulan-bulanan atas tafsiran sejarah karena sempat bekerja sama dengan VOC. Di awal abad ketujuh belas, ia terpaksa berperang melawan Sultan Hasanuddin Raja Gowa. Narasi sejarah condong memuliakan perjuangan kontra kolonialisme Belanda sehingga sangat memuja Sultan Hasanuddin, lalu mengabaikan Arung Palakka. Tugas sejarah memang memberi konteks atas masa lalu. Namun di sisi lain, bangsa ini 'mengabaikan' warisan monumental yang menjadi tinggalan patriotisme dalam bentuk lain.

Peserta didik mungkin tidak begitu mengenal sang tokoh anatagonis. Kalah populer dengan 'Ayam Jantan dari Timur' julukan Sultan Hasanuddin. Menurut Bambang Purwanto --sejarawan -- Arung Palakka justru merupakan pahlawan. Ia sejatinya tegas pada kolonialisme. Prestasinya muncul di tahun-tahun setelah Perang Makassar  justru berhasil menyatukan laut dan darat di setidaknya hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan saat ini. Demi menambang mental maritim dari Arung Palakka maupun tokoh-tokoh lain dari kerajaan Maritim di Nusantara, ekstraksi atas nilai-nilai luhur tersebut perlu dimunculkan tanpa mengesampingkan kevalidan tafsiran sejarah yang sudah ada. Dengan cara begitu, selain sudut pandang anak didik akan semakin kaya, karakter baik yang mampu dipetik juga lebih banyak.

Pada akhirnya, bentang 'layar' pendidikan sejatinya selalu menyesuaikan arah 'biduk' karakter dan budaya bangsa. Karakter manusia bahari menuntut setiap persona menjadi pelaut yang ulung dan unggul namun penuh nuansa egaliter, gotong royong, dan mandiri. Bila misi kebudayaan menuntut demikian, begitupun harapan atas tujuan pendidikan nantinya. Lahirnya orientasi pendidikan berbasis kultur maritim (sekaligus kontinental) yang kuat. Lewat kebudayaan yang kuat, disitulah pendidikan menemukan akarnya dan mengakar.  Sebab "tidak ada pelaut ulung lahir dari laut yang tenang"

Sebelumnya artikel di-posting di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun