Murid itu benar, tapi yakinlah ia tak akan pernah menyentuh aksi-aksi kunci selanjutnya yang  kritis dan eksploratif. Semisal bertanya demikian, "mengapa pelaut dan bukan petani?" Pengetahuan tersebut hanya diterima seperti itu tanpa ditanya-tanya lagi kenapa. Sesekali mungkin pendidik boleh bertanya di kelas tentang sejauh mana mereka tergugah bait "...menempuh badai sudah biasa" Mungkin jawabannya belum. Kedua poin jawaban imajiner itu dipenuhi sejarah kemaritiman, tentang penguasaan laut dan samudera. Bangsa Indonesia pernah memiliki dua kerajaan laut dengan karakter bahari yang mendunia. Penguasaan mereka pada samudera diakui penjelajah Eropa saat itu; Sriwijaya dan Majapahit.
Semisal dengan itu, slogan-slogan yang menyangkut laut jauh dari mampu dijiwai sebagian besar peserta didik. Kadang hanya jadi simbol yang disebut-sebut tapi laiknya barang asing, tidak dikenali apalagi dibanggakan esksistensinya. Aspek laut dan mental yang mengirinya sudah begitu lama di-ekslusikan dari kerangka berpikir anak didik. Contoh paling kentara, eksul bakat minat pecinta alam belum beranjak dari dominasi penelusuran dan latihan berpola daratan. Laut seperti ruang yang jauh.
Memperkaya Pengalaman Kebaharian
Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Sedikit banyak, pendidikan dan penguatan karakter yang ada minim diskursus kebudayaan. Terutama sekali penggalian pengetahuan budaya maritim dan perangkat nilanya. Contoh dalam pelajaran sejarah. Historiografi Indonesia hanya dipenuhi perjuangan mengatasi keterjajahan di 'darat' tapi miskin kabar dari 'laut'. Penelitian menunjukkan, akibat dari itu pelajaran sejarah yang diterima peserta didik kurang material aspek bahari.
Sampai di sini, siapa dan seperti apa nenek moyang bangsa Indonesia dahulu? Penelaahan peneliti arkeologi Bambang Budi Utomo (2018) dalam makalah Mengenal Lebih Jauh Budaya Maritim Indonesiamenjelaskan  bahwa mereka adalah penutur rumpun bahasa Austronesia yang hidup sekitar 5000 hingga 7000 tahun lampau di Taiwan. Hingga sekitar satu milenium SM, para penutur yang sudah mencapai pesisir Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Sumatera membentuk sub-rumpun bahasa Melayu-Polinesia barat.  Sedangkan kelompok penutur yang melebarkan pelayaran arah berlawanan membentuk bahasa Melayu-Polinesia timur. Itulah nenek moyang sebenarnya bangsa Indonesia yang di satu masa membentuk riwayat kejayaan maritim panjang dan mengesankan.
Sejarawan maritim pertama Indonesia A.B. Lapian mengemukakan aspek maritim akan terus menonjol dalam konteks Sejarah Nusantara. Tanpa laut sejarahnya tinggal kisah pulau-pulau yang terpisah, bukan integrasi atas himpunan pulau yang terserak tersebut. Â Peninggalannya berupa kerajaan maritim, pengetahuan kebaharian, suku bangsa bahari, hingga sistem aturan di luat dan pesisir. Sistem pengetahuan dan nilai-nilai ini belum tercakup baik dalam pengajaran-pengajaran di sekolah. Jika anak didik tidak mengenyam jurusan pelayaran di kejuruan, mungkin selamanya mereka tak mengenal navigasi laut. Jika anak didik bukan berasal dari kampung pembuat Pinisi di Bulukumba Sulawesi Selatan, mungkin mereka tidak akan pernah mengenal sistem budaya pembuatan perahu legendaris itu.
Kebesaran dunia maritim di era perdagangan Nusantara rentang abad 16 hingga 18 masih tersisa hingga kini. Eksplanasi Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia (2013) mengguratkan jelas bahwa persinggahan kapal-kapal tersebut mencerminkan peran penting pelabuhan. Seperti Pelabuhan Barus di Sumatera Utara, Samudera Pasai, Sibolga, Jambi, Palembang, Banten, Demak, Jepara, Lasem, Tuban, Ampenan, Somba Opu, Ternate, Tidore, dan lain-lain hingga abad ke-19 masih berperan penting dalam dinamika dunia pelayaran dan perdagangan di Nusantara kala itu.
Pelabuhan ini layaknya market place atau pasar elektronik saat ini. Perbedaannya, market place tidak memunculkan apa-apa selain meneguhkan budaya kontemporer lewat revolusi teknologi dan industri. Sedangkan pelabuhan kuno yang berfungsi tempat bertukar (pasar) di masa lalu dan menjadi tempat berkumpul pedagang, pengelana, saudagar, hingga agamawan dari seluruh tempat. Posisinya sangat penting, karena menjadi ruang pertukaran yang tidak hanya barang, tapi juga ruang asimilasi budaya, pengetahuan, hingga persebaran agama.
Persoalannya kemudian dampak dari ketiadaan muatan pengetahuan kesejarahan kemaritiman tersebut berbuah minimnya pengalaman kebahariaan peserta didik. Situasi tersebut semakin menjauhkan laut sebagai ruang pengenalan atas budaya bangsa. Pihak terkait juga belum mengatur bagaimana mengejawantahkan visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia ke dalam kurikulum. Bila ingin maju selangkah, harus ada pengejawantahan mental bahari dalam bentuk praksis. Laut, bersama muara dan pesisir menjadi beranda sekaligus ruang kultural yang harus di-introduksi sedini mungkin pada generasi-generasi selanjutnya.
Sesedikit mungkin, pengetahuan ruang laut diharapakan juga bisa membaur bersama yang lain --sawah, hutan, gunung- dalam rangka mengejawantahkan mental bahari ke dalam bentuk-bentuk praksis. Tanpa berwacana lebih jauh, peserta didik dibawa menyaksikan ruang-ruang tersebut, menapaktilasi banyak hal sesuai fokus pelajaran yang ingin digali. Barangkali dengan pelayaran edisi singkat yang dilaksanakan sekolah ataupun pihak lain.
Menambang Karakter Positif