Sesungguhnya bukan pula dikotomi karakter manusia darat dan laut yang ingin diketengahkan, melainkan pembauran keduanya. Memori kolektif pada budaya maritim setidaknya punya hak yang sama dalam kurikulum. Penyatuan tersebut tentu memperkaya muatan budaya dan wawasan nusantara pada pendidikan karakter. Lebih jauh, bergabungnya karakteristik kebaharian akan memunculkan kembali nilai-nilai positif yang 'hilang' dalam situasi pendidikan hari ini.
Kita ambil contoh tokoh sejarah Arung Palakka. Penguasa Kerajaan Bone ini pernah jadi bulan-bulanan atas tafsiran sejarah karena sempat bekerja sama dengan VOC. Di awal abad ketujuh belas, ia terpaksa berperang melawan Sultan Hasanuddin Raja Gowa. Narasi sejarah condong memuliakan perjuangan kontra kolonialisme Belanda sehingga sangat memuja Sultan Hasanuddin, lalu mengabaikan Arung Palakka. Tugas sejarah memang memberi konteks atas masa lalu. Namun di sisi lain, bangsa ini 'mengabaikan' warisan monumental yang menjadi tinggalan patriotisme dalam bentuk lain.
Peserta didik mungkin tidak begitu mengenal sang tokoh anatagonis. Kalah populer dengan 'Ayam Jantan dari Timur' julukan Sultan Hasanuddin. Menurut Bambang Purwanto --sejarawan -- Arung Palakka justru merupakan pahlawan. Ia sejatinya tegas pada kolonialisme. Prestasinya muncul di tahun-tahun setelah Perang Makassar  justru berhasil menyatukan laut dan darat di setidaknya hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan saat ini. Demi menambang mental maritim dari Arung Palakka maupun tokoh-tokoh lain dari kerajaan Maritim di Nusantara, ekstraksi atas nilai-nilai luhur tersebut perlu dimunculkan tanpa mengesampingkan kevalidan tafsiran sejarah yang sudah ada. Dengan cara begitu, selain sudut pandang anak didik akan semakin kaya, karakter baik yang mampu dipetik juga lebih banyak.
Pada akhirnya, bentang 'layar' pendidikan sejatinya selalu menyesuaikan arah 'biduk' karakter dan budaya bangsa. Karakter manusia bahari menuntut setiap persona menjadi pelaut yang ulung dan unggul namun penuh nuansa egaliter, gotong royong, dan mandiri. Bila misi kebudayaan menuntut demikian, begitupun harapan atas tujuan pendidikan nantinya. Lahirnya orientasi pendidikan berbasis kultur maritim (sekaligus kontinental) yang kuat. Lewat kebudayaan yang kuat, disitulah pendidikan menemukan akarnya dan mengakar. Â Sebab "tidak ada pelaut ulung lahir dari laut yang tenang"
Sebelumnya artikel di-posting di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H