Konsekuensinya, orang yang berpuasa tidak boleh berhenti dan berpuas diri sebatas ritual puasanya. Dari itu, maka puasa Ramadan mestinya bukan sekadar sebuah rutinitas dan semata-mata memenuhi kewajiban yang dilakukan setahun sekali.
Tetapi dengan berpuasa sesungguhnya ada hal yang harus diraih lebih dari itu. Menjadi orang yang lebih baik, baik itu dalam dimensi spiritual maupun dimensi sosial. Dan ini tidak lain adalah tujuan yang harus diraih dengan berpuasa Ramadan.
Bukankah orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa atau yang mampu menjaga marwahnya sebagai manusia autentik (insan kamil)?
Makanya, wajar dalam persepktif filsafat pragmatisme, untuk apa berpuasa jika hanya berhenti pada simbol, tetapi secara fungsional tidak mendapatkan maanfaat atau faedah apa-apa, muspra dan sia-sia belaka dengan puasanya.
Artinya, secara pragmatis, dan ini agak liberal tapi ada baiknya, bisa dibilang, lebih baik tidak berpuasa. Atau dengan kata lain, untuk apa cape-cape berpuasa jika tidak mendatangkan manfaat dan faedah apa-apa untuk dirimu dan orang lain di sekitarmu.
Ini tidak lantas dipahami, bahwa kalau begitu tidak perlu berpuasa. Bukan. Tetapi, seharusnya berpuasalah yang bermakna. Berpuasa yang benar-benar berpuasa.
Jangan asal berpuasa. Berpuasa asal memenuhi kewajiban, dan selesai sampai di situ. Sangat disayangkan. Tapi, bagi pemula atau yang baru belajar berpuasa, itu bisa dimaklumi.
Itulah kenapa Nabi Muhammad saw menyindir orang yang berpuasa tetapi secara pragmatis, tidak mendapatkan apa-apa (tidak bermakna), muspra dan sia-sia, kecuali rasa lapar dan haus saja.
"Kam min shaimin laisa lahu min shiyamihi illa al- ju'i wa al-'athas," sabda Rasululllah saw.
Untuk itu, tanyalah pada diri kita masing-masing, betulkah kita di bulan suci Ramadan ini sudah benar-benar berpuasa, atau jangan-jangan kita sedang berpura-pura berpuasa?
Atau, kayaknya tidak sekali saya menulis falsafah Jawa ini, "Ojo nganti pasamu gabuk", yang artinya jangan sampai puasamu hampa (muspra).