Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Isra Mikraj Itu (Harusnya) Masuk Akal dan Bukan Sekadar Perkara Iman

11 Maret 2021   21:36 Diperbarui: 15 Maret 2021   15:40 2862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjidilaqsa di Yerusalem, Palestina adalah salah satu artefak sejarah dalam peristiwa perjalanan isra mikraj Nabi Muhammad saw.(Shutterstock Via Kompas.com)

“Muhammad of Arabia ascended the highest heaven and returned. I swear by God that if I had reached that point, I should never have returned”—Syekh Abdul Quddus Gangohi (1456–1537), Sufi India

Saya awali tulisan ini dengan sebuah cerita alegoris tentang seekor lalat di sebuah bandara di Jakarta, sebut saja Bandara Soekarno-Hatta.

Terlihat seekor lalat terbang, lalu tiba-tiba hinggap di bibir cangkir kopi latte seorang penumpang yang tengah menunggu detik-detik keberangkatannya. 

Ketika orang itu bergegas masuk ke pesawat terbang, lalat ini pun dengan cepat terbang dan menempel di pakaiannya, kemudian ikut terbang ke Singapura.

Syahdan, ketika pesawat ini kembali dari Singapura ke Jakarta, lalat ini pun ikut lagi. Pesawat mendarat di Jakarta. Lalat ini dengan wajah berseri-seri, buru-buru menemui lalat-lalat yang lain, teman-temannya yang masih nongkrong di bandara.

Seekor lalat ini bercerita (semacam wara-wara, pengumuman) di hadapan teman-temannya (lalat-lalat yang lain) bahwa ia baru saja kembali dari Singapura. Ia menyatakan bahwa ia sedang tidak berbohong.

Mendengar itu, lalat-lalat yang lain, teman-temannya tersebut tentu merasa heran. Mereka benar-benar tidak percaya. Mereka membantah pengakuannya. Menurut mereka bahwa itu suatu yang mustahil dan tidak masuk akal

Pasti apa yang dikatakan lalat ini bohong. Ia mungkin bercanda. Ia sedang mimpi. Mungkin juga ia sedang mabok atau jangan-jangan lalat itu sudah gila. "Omong kosong!" meminjam frasa dalam puisi-puisi indah nan menggugah gubahan Pak Katedra hari-hari belakangan ini.

"Mana mungkin lalat mampu terbang sejauh itu dalam waktu beberapa jam. Mustahil lalat bisa terbang ke Singapura dan balik lagi ke Jakarta dalam waktu secepat itu," seru lalat-lalat itu.

Begitu kurang lebih bagaimana menggambarkan peristiwa isra mikraj dengan cara logis dan analogi lewat cerita seekor lalat. Ini diceritakan oleh Buya Hamka yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat dalam Bukunya, Meraih Cinta Ilahi: Belajar Menjadi Kekasih Allah. Pustaka IIMaN, 2008.

Sejatinya, ini adalah membuka kembali sebuah kotak wacana pemikiran berisi salah satu persoalan yang agak sensitif, kontroversial, dan selalu menjadi topik bahasan di sekitar peristiwa isra mikraj. 

Persoalan itu bertaut dengan pertanyaan, apakah peristiwa isra mikraj itu murni ranah keimanan atau bisa diterima akal atau masuk akal?

Persoalan ini muncul dari dulu, sejak dari zaman Nabi ketika kali pertama viralnya peristiwa yang menggemparkan di linimasa antero jazirah Arab sampai hari ini.

Dan tampaknya ini belum terpecahkan dan mungkin akan terus menjadi kontroversial sampai hari-hari ke depan. Benar, bahwa tidak sedikit pemikir, cendekiawan, dan para pakar dari lintas disiplin ilmu berupaya merasionalisasikan lewat proses logis dan analogi (kias) terhadap persoalan peristiwa ini, seperti cerita alegoris di atas.

Walaupun tetap saja akhirnya seolah-olah dipaksakan agar masuk akal. Tapi tentu itu sah-sah saja sebagai proses penafsiran dan pemikiran. Upaya untuk terus menghidupkan semangat ijtihad dan tidak melumpuhkan akal pikiran.

Tolok Ukur Tidak Masuk Akal

Ada orang yang menganggap bahwa peristiwa isra mikraj itu sulit diterima akal sehat, sesuatu yang tidak masuk akal, dan bahkan, sampai ada yang menyebutnya, itu adalah fiksi.

Makanya, peristiwa isra mikraj itu adalah ranah iman, bukan ranah akal. Tolok ukurnya adalah keimanan. Akal tidak bakal nyampe. Karena akal punya keterbatasan.

Porsi dan peran iman lebih tinggi dan wajib diutamakan daripada akal. Kalau akal dikedepankan untuk memahami isra mikraj, maka bisa-bisa berbahaya, dan sesat (kafir). 

Pertanyaan filosofisnya, atau bolehkah orang (sekadar) bertanya seperti ini (agak liberal memang, namanya juga pendekatan filsafat), "Apakah benar jika ada orang mempertanyakan dan tidak percaya pada (proses) peristiwa isra mikraj ini, misalnya, maka ia otomatis menjadi kafir dan sesat?"

Itulah kenapa di awal saya bilang, ini adalah persoalan sensitif dan kontroversial. Wacana ini sudah muncul berabad-abad lamanya. 

Ada sikap dan pemahaman bahwa peristiwa isra mikraj tidak boleh dipertanyakan, dan harus diterima dengan sikap samina wa atho'na, manut dan taat, iman dan percaya seratus persen. 

Tidak ada celah sama sekali untuk peran akal dan mempertanyakannya. Karena peristiwa isra mikraj bukan soal untuk dipertanyakan tapi untuk diimani dan dipercayai. Begitu. Titik. Selesai.

Baik, saya mencoba mengelaborasi dan membabar tentang tolok ukur masuk akal dan tidak masuk akal itu.

Pertama, orang beranggapan bahwa sesuatu itu tidak masuk akal karena hal-hal yang tidak empiris. Artinya hal-hal yang hanya bisa diukur, dilihat, didengar, dan diraba oleh pancaindra, bisa dilacak secara material (fisik), dan tidak gaib, itulah yang masuk akal dan layak dipercaya.

Gula itu manis, garam itu asin, cabai itu pedas, dan seterusnya, kadang sulit dijelaskan dan diuraikan sampai mulut berbusa-busa pun, jika hanya dibayangkan, dan tidak dirasakan langsung. Itulah pendekatan empiris.

Kedua, orang beranggapan bahwa hal-hal yang tidak masuk akal itu berdasarkan kepada hal-hal yang menyimpang dari rata-rata (umumnya dan kebanyakan). Menyalahi mainstream. Tidak normal. Sesuatu yang aneh. Makanya, dunia klenik dan paranormal itu termasuk hal-hal yang tidak masuk akal.

Ketiga, ada orang yang menyebut sesuatu itu tidak masuk akal karena ia tidak memahaminya. Inilah yang paling primitif dan parah dalam cara berpikir. Dan sayangnya ini yang sering terjadi. 

Tidak sedikit orang sering mengklaim, menganggap, menggebyah uyah (mengeneralisasi), dan gampang mengatakan sesuatu itu tidak masuk akal hanya karena tidak (belum) memahaminya.

Jangan memaksakan kehendak dan membiasakan untuk mengukur baju orang lain dengan ukuran baju sendiri. Kalau pas, tapi jika tidak, bisa berabe, dan itu menjadi problem.

Jangan gunakan alasan iman, dan karena dalih dalil iman, untuk mematikan akal dan menghambat pikiran kita. Jangan sekali-kali katakan sesuatu itu tidak masuk akal karena kita tidak memahaminya.

Wacana pemikiran ini bisa saja ringan, anggap seolah-olah tengah bertamasya (menghibur hati), mengikuti jejak perjalanan wisata penuh sukacita Nabi Muhammad saw. setelah diterpa suasana dukacita yang dalam atas kepergian untuk selamanya orang-orang terdekat dan dikasihinya: Khadijah, istri yang ia cintai, dan Abu Thalib, pamannya yang ia banggakan.

Makanya, dalam sejarah Islam, tahun itu disebut sebagai tahun dukacita ('am al-huzn).

Sekadar mengingat komentar dari beberapa pemikir Islam tentang dukacita Nabi. Kenapa Tuhan perlu menghibur Nabi dengan mengajaknya tamasya (jalan-jalan) itu? Bukankah Nabi itu adalah sosok yang kuat mentalnya dan orang pilihan? Kenapa Nabi pun berdukacita?

Jawabannya, karena Tuhan ingin menunjukkan (pesan) bahwa Muhammad itu, satu sisi adalah Nabi dan utusan Tuhan yang dibekali wahyu, tapi di sisi lain, Ia adalah manusia biasa (basyar). 

Setara dengan manusia biasa lainnya. Ada dimensi kemanusiaan. Perasaan dukacita adalah manusiawi. Bedanya, Ia adalah Nabi, utusan Allah, yang diberi wahyu (Kitab Suci Al-Qur'an).

Senada jawabannya dengan kenapa Nabi harus makan, sakit, terluka, menangis, tertawa, berdukacita, menikah, berdagang, dan seterusnya yang merupakan sifat-sifat manusiawi. Pahami bahwa Muhammad itu adalah manusia biasa, sekaligus Nabi yang menerima wahyu.

Atau, jangan-jangan wacana pemikiran ini justru terasa berat dan mengerutkan dahi. Hal ini sebenarnya tergantung sudut pandang, pergumulan pemikiran, dan khazanah bacaan kita sendiri.

Isra mikraj adalah sebuah peristiwa perjalanan. Tahukah Anda, bahwa ada tiga peristiwa perjalanan sangat penting yang dialami Rasulullah Muhammad, dan menjadi tonggak sejarah peradaban Islam?

Tiga perjalanan itu adalah hijrah, hajidan isra mikraj ini. Ingat, tiga-tiganya adalah sebuah perjalanan. Perjalanan dalam ruang dan waktu. 

Peristiwa yang terjadi pada suatu masa, berabad-abad (15 abad) yang lalu, jejaknya masih terekam sampai sekarang, dan terawat sebagai warisan sejarah peradaban Islam.

Pertama, hijrah, perjalanan Nabi dari kota Makkah ke kota Madinah. Kedua, haji, perjalanan ritual Nabi menuju Baitullah (Ka'bah) di Makkah. 

Ketiga, isra mikraj, perjalanan Nabi dari Masjidilharam Makkah ke Masjidilaqsa Yerusalem Palestina, lalu Nabi melanjutkan perjalanan naik menembus langit "dalam ruang dan waktu" sampai ke Sidratulmuntaha

Yang menarik, terutama dalam perspektif spiritualisme dan tasawuf falsafi (filosofis), bahwa Nabi setelah naik (mikraj) berada pada zona nyaman dan posisi puncak spiritualitas yang sangat didambakan oleh para sufi, namun hebatnya Nabi justru tetap turun kembali ke bumi. 

Sampai-sampai seorang sufi dari India, Syekh Abdul Quddus Gangohi (1456–1537) mengomentari hal ini dengan mengatakan, "Nabi Muhammad naik ke langit tertinggi dan kembali ke bumi. Demi Allah aku bersumpah, sekiranya aku seperti dia, tentu aku tidak akan mau kembali."

Jangan benturkan agama dengan filsafat. Tidak perlu dipertentangkan peran wahyu (iman) dan akal. Agama dan filsafat, atau wahyu (iman) dan akal, itu (mestinya) tidak bertentangan dan  berjalan seiring seirama. Dua-duanya adalah sangat penting kedudukannya.

Yang jelas, Islam itu mudah dipahami dan tidak menyulitkan. Islam menjunjung tinggi dan tidak menghambat kerja dan peran akal pikiran. Bahkan, Islam sangat menganjurkan menggunakan akal pikiran.

Sayang sekali, akal sebagai anugerah tertinggi yang diberikan oleh Tuhan kepada makhluknya bernama manusia, dan membedakanya dengan makhluk-makhluk lain, jika dianggurin, tidak difungsikan, dan tidak digunakan dengan sebaik-baiknya sebagai refleksi syukur  kepada-Nya.

Sayang sekali, sudah repot-repot menikah, dan punya istri, lalu selebihnya istri dianggurin dan tidak pernah disentuh.

Nabi pun berpesan, "Ad-dinu huwal 'aqlu la dina liman la 'aqla lahu." Agama itu adalah akal, tidak beragama buat orang yang tidak menggunakan akalnya (tidak berakal). Makanya, dalam hal peristiwa isra mikraj, kita tidak usah ragu menggunakan akal kita.

Demikian. Selamat memperingati isra mikraj 1442 H. Semoga kita mampu merefleksikan pesan spiritualitas dan sosial profetik isra mikraj ini dalam kehidupan sehari-hari. Sering-seringlah "naik" dan jangan lupa "turun". Wallahualam. Tabik. []

--------------

Rujukan:

Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi: Belajar Menjadi Kekasih Allah, Pustaka IIMaN, 2008 

Farhan Masood Quddusi, Quddusi: A Legacy and A Forgotten Saint,
dipublikasikan 09 September 2014 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun