Tidak ada celah sama sekali untuk peran akal dan mempertanyakannya. Karena peristiwa isra mikraj bukan soal untuk dipertanyakan tapi untuk diimani dan dipercayai. Begitu. Titik. Selesai.
Baik, saya mencoba mengelaborasi dan membabar tentang tolok ukur masuk akal dan tidak masuk akal itu.
Pertama, orang beranggapan bahwa sesuatu itu tidak masuk akal karena hal-hal yang tidak empiris. Artinya hal-hal yang hanya bisa diukur, dilihat, didengar, dan diraba oleh pancaindra, bisa dilacak secara material (fisik), dan tidak gaib, itulah yang masuk akal dan layak dipercaya.
Gula itu manis, garam itu asin, cabai itu pedas, dan seterusnya, kadang sulit dijelaskan dan diuraikan sampai mulut berbusa-busa pun, jika hanya dibayangkan, dan tidak dirasakan langsung. Itulah pendekatan empiris.
Kedua, orang beranggapan bahwa hal-hal yang tidak masuk akal itu berdasarkan kepada hal-hal yang menyimpang dari rata-rata (umumnya dan kebanyakan). Menyalahi mainstream. Tidak normal. Sesuatu yang aneh. Makanya, dunia klenik dan paranormal itu termasuk hal-hal yang tidak masuk akal.
Ketiga, ada orang yang menyebut sesuatu itu tidak masuk akal karena ia tidak memahaminya. Inilah yang paling primitif dan parah dalam cara berpikir. Dan sayangnya ini yang sering terjadi.Â
Tidak sedikit orang sering mengklaim, menganggap, menggebyah uyah (mengeneralisasi), dan gampang mengatakan sesuatu itu tidak masuk akal hanya karena tidak (belum) memahaminya.
Jangan memaksakan kehendak dan membiasakan untuk mengukur baju orang lain dengan ukuran baju sendiri. Kalau pas, tapi jika tidak, bisa berabe, dan itu menjadi problem.
Jangan gunakan alasan iman, dan karena dalih dalil iman, untuk mematikan akal dan menghambat pikiran kita. Jangan sekali-kali katakan sesuatu itu tidak masuk akal karena kita tidak memahaminya.
Wacana pemikiran ini bisa saja ringan, anggap seolah-olah tengah bertamasya (menghibur hati), mengikuti jejak perjalanan wisata penuh sukacita Nabi Muhammad saw. setelah diterpa suasana dukacita yang dalam atas kepergian untuk selamanya orang-orang terdekat dan dikasihinya: Khadijah, istri yang ia cintai, dan Abu Thalib, pamannya yang ia banggakan.
Makanya, dalam sejarah Islam, tahun itu disebut sebagai tahun dukacita ('am al-huzn).
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!