Sejatinya, ini adalah membuka kembali sebuah kotak wacana pemikiran berisi salah satu persoalan yang agak sensitif, kontroversial, dan selalu menjadi topik bahasan di sekitar peristiwa isra mikraj.Â
Persoalan itu bertaut dengan pertanyaan, apakah peristiwa isra mikraj itu murni ranah keimanan atau bisa diterima akal atau masuk akal?
Persoalan ini muncul dari dulu, sejak dari zaman Nabi ketika kali pertama viralnya peristiwa yang menggemparkan di linimasa antero jazirah Arab sampai hari ini.
Dan tampaknya ini belum terpecahkan dan mungkin akan terus menjadi kontroversial sampai hari-hari ke depan. Benar, bahwa tidak sedikit pemikir, cendekiawan, dan para pakar dari lintas disiplin ilmu berupaya merasionalisasikan lewat proses logis dan analogi (kias) terhadap persoalan peristiwa ini, seperti cerita alegoris di atas.
Walaupun tetap saja akhirnya seolah-olah dipaksakan agar masuk akal. Tapi tentu itu sah-sah saja sebagai proses penafsiran dan pemikiran. Upaya untuk terus menghidupkan semangat ijtihad dan tidak melumpuhkan akal pikiran.
Tolok Ukur Tidak Masuk Akal
Ada orang yang menganggap bahwa peristiwa isra mikraj itu sulit diterima akal sehat, sesuatu yang tidak masuk akal, dan bahkan, sampai ada yang menyebutnya, itu adalah fiksi.
Makanya, peristiwa isra mikraj itu adalah ranah iman, bukan ranah akal. Tolok ukurnya adalah keimanan. Akal tidak bakal nyampe. Karena akal punya keterbatasan.
Porsi dan peran iman lebih tinggi dan wajib diutamakan daripada akal. Kalau akal dikedepankan untuk memahami isra mikraj, maka bisa-bisa berbahaya, dan sesat (kafir).Â
Pertanyaan filosofisnya, atau bolehkah orang (sekadar) bertanya seperti ini (agak liberal memang, namanya juga pendekatan filsafat), "Apakah benar jika ada orang mempertanyakan dan tidak percaya pada (proses) peristiwa isra mikraj ini, misalnya, maka ia otomatis menjadi kafir dan sesat?"
Itulah kenapa di awal saya bilang, ini adalah persoalan sensitif dan kontroversial. Wacana ini sudah muncul berabad-abad lamanya.Â
Ada sikap dan pemahaman bahwa peristiwa isra mikraj tidak boleh dipertanyakan, dan harus diterima dengan sikap samina wa atho'na, manut dan taat, iman dan percaya seratus persen.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!