Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Isra Mikraj Itu (Harusnya) Masuk Akal dan Bukan Sekadar Perkara Iman

11 Maret 2021   21:36 Diperbarui: 15 Maret 2021   15:40 2862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejatinya, ini adalah membuka kembali sebuah kotak wacana pemikiran berisi salah satu persoalan yang agak sensitif, kontroversial, dan selalu menjadi topik bahasan di sekitar peristiwa isra mikraj. 

Persoalan itu bertaut dengan pertanyaan, apakah peristiwa isra mikraj itu murni ranah keimanan atau bisa diterima akal atau masuk akal?

Persoalan ini muncul dari dulu, sejak dari zaman Nabi ketika kali pertama viralnya peristiwa yang menggemparkan di linimasa antero jazirah Arab sampai hari ini.

Dan tampaknya ini belum terpecahkan dan mungkin akan terus menjadi kontroversial sampai hari-hari ke depan. Benar, bahwa tidak sedikit pemikir, cendekiawan, dan para pakar dari lintas disiplin ilmu berupaya merasionalisasikan lewat proses logis dan analogi (kias) terhadap persoalan peristiwa ini, seperti cerita alegoris di atas.

Walaupun tetap saja akhirnya seolah-olah dipaksakan agar masuk akal. Tapi tentu itu sah-sah saja sebagai proses penafsiran dan pemikiran. Upaya untuk terus menghidupkan semangat ijtihad dan tidak melumpuhkan akal pikiran.

Tolok Ukur Tidak Masuk Akal

Ada orang yang menganggap bahwa peristiwa isra mikraj itu sulit diterima akal sehat, sesuatu yang tidak masuk akal, dan bahkan, sampai ada yang menyebutnya, itu adalah fiksi.

Makanya, peristiwa isra mikraj itu adalah ranah iman, bukan ranah akal. Tolok ukurnya adalah keimanan. Akal tidak bakal nyampe. Karena akal punya keterbatasan.

Porsi dan peran iman lebih tinggi dan wajib diutamakan daripada akal. Kalau akal dikedepankan untuk memahami isra mikraj, maka bisa-bisa berbahaya, dan sesat (kafir). 

Pertanyaan filosofisnya, atau bolehkah orang (sekadar) bertanya seperti ini (agak liberal memang, namanya juga pendekatan filsafat), "Apakah benar jika ada orang mempertanyakan dan tidak percaya pada (proses) peristiwa isra mikraj ini, misalnya, maka ia otomatis menjadi kafir dan sesat?"

Itulah kenapa di awal saya bilang, ini adalah persoalan sensitif dan kontroversial. Wacana ini sudah muncul berabad-abad lamanya. 

Ada sikap dan pemahaman bahwa peristiwa isra mikraj tidak boleh dipertanyakan, dan harus diterima dengan sikap samina wa atho'na, manut dan taat, iman dan percaya seratus persen. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun