Tidak terketukkah hati mereka, para elit dan tokoh politik, ketika sesama para pejabat publik, tenaga medis, dan warga masyarakat berguguran meninggal karena terinfeksi Covid-19? Maksudnya, kenapa mereka masih saja rakus dan serakah demi materi, jabatan, dan kekuasaan?
Mereka tetap nafsu menggelar pilkada di tengah pandemi tanpa memikirkan dampaknya. Klaster baru bisa tercipta dari pilkada. Suspek dan angka kematian korban Covid-19 bisa terus membengkak dari perhelatan pilkada ini.
Dalam kaidah fikih, ada prinsip "masalih al-mursalah", artinya jika suatu pekerjaan itu nirfaedah, banyak mudaratnya, dampaknya sangat membahayakan dan banyak merugikan, maka hukumnya itu haram.Â
Pekerjaan yang seperti itu harus ditinggalkan. Tidak boleh dilakukan. Harusnya dilarang. Karena ada alasan atau sebab (illat) yang kuat yang menunjukkan hukum pelarangannya (tahrimihi).
Ingat kaidah fikih (hukum), "Al-hukmu yaduru ma'a 'illatihi wujudan wa 'adaman", berlaku tidaknya suatu hukum bergantung pada ada dan tidaknya alasan (sebab).
Contoh, meminum khamar (arak, minuman keras)) itu haram. Alasan (illat) hukumnya karena dalam khamar atau arak itu ada unsur yang memabukkan, sangat membahayakan dan dapat merusak sistem saraf.Â
Atau contoh lain, ketika Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, berpendapat bahwa poligami itu haram. Karena berdasarkan riset dan penelitian bahwa poligami itu banyak menimbulkan dampak yang negatif dan merugikan, terutama bagi istri (perempuan) ketimbang positifnya.Â
Jadi, poligami itu banyak menimbulkan problem. Menurut Prof. Siti Musdah Mulia, karena alasan (illat) hukumnya seperti itu, maka hukum poligami itu bisa menjadi haram. Walaupun, pendapat Prof. Siti Musdah Mulia ini, pada gilirannya, menjadi kontroversi. Karena bertentangan dengan tafsir mainstream (jumhur ulama).
Itu sekadar contoh bahwa berlakukanya hukum itu bergantung pada ada dan tidaknya alasan (illat). Tentu masih banyak contohnya.
Berdasarkan pemikiran ini, maka tidak berlebihan, jika pilkada di tengah pandemi hukumnya "haram". Artinya, mesti dihindari. Enggak perlu dilakukan.
Semua mestinya menahan diri, tidak perlu nafsu, dan memaksakan diri untuk menggelar pilkada di tengah pandemi. Karena alasan (illat) hukumnya kuat. Dampaknya sangat membahayakan. Menciptakan klaster baru pandemi. Bertambahnya angka pasien dan korban yang meninggal akibat pandemi. Mengerikan, bukan?