Saya selalu golput di setiap kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada). Alasannya, nirfaedah sama sekali. Tidak banyak memengaruhi untuk kepentingan warga. Pilkada atau enggak pilkada sama saja. Begitu-begitu saja. Enggak signifikan.
Fenomena adanya ajakan golput sama nyaringnya dengan seruan tunda pilkada di era pandemi dari beberapa tokoh dan ormas adalah sangat-sangat masuk akal. Wong enggak pandemi aja, pilkada itu nyebelin.
Artinya, dalam kondisi normal pun, di luar dan sebelum ada pandemi, yang ada, di setiap pilkada digelar, jelas-jelas warga cuma dikadalin kok. Warga sekadar dijadikan mesin pengepul dan pengumpul angka elektabilitas sang calon kepala daerah, tidak lebih.Â
Lalu, setelah kepala daerah terpilih, dilantik, dan duduk di singgasananya, boro-boro mau mikirin warga dan ngurusin kemajuan daerahnya. Justru kepala daerah terpilih mulai sibuk mengambil ancang-ancang dan memutar otak, bagaimana ngebalikin modal, ngumpulin pundi-pundi uang, dan memperkaya diri.Â
Tak peduli segala cara ditempuh, walaupun harus korupsi dan ujung-ujungnya mendekam di balik jeruji penjara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sudah banyak buktinya, tidak sedikit kepala daerah bernasib seperti itu.
Kini, di era pandemi ini, kenapa kok ngotot banget harus digelar juga pilkada? Siapa sih sebenarnya yang nafsu banget dan gede syahwatnya untuk tetap menggelar pilkada ini, rakyat (warga) biasa atau elit politik bersama pendengung (buzzer) dan pemengaruh (influencer) politik itu sendiri?Â
Jawabnya, pasti elit politik bersama segelintir orang itu yang meraup keuntungan sesaat dengan mengais cipratan money politik. Sementara rakyat kebanyakan yang biasanya selalu menjadi obyek permainan politik elit politik, tinggal manut dan enggak bisa ngapa-ngapain.
Padahal siapa yang bisa menjamin bahwa pilkada tidak bakal memunculkan klaster baru Covid-19, ketika tolok ukur sang calon kepala daerah berhasil terpilih dan tidaknya adalah berkat dukungan massa yang lumayan masif?Â
Maka mau tidak mau butuh kerumunan massa pendukung dalam kegiatan penggalangan massa dan kampanye offline. Bukankah dalam kondisi seperti itu adalah rentan terpapar pandemi?
Omong kosong mematuhi protokol kesehatan secara ketat, sementara dalam kondisi kegiatan yang biasa saja, dan emosi massa tidak meletup pun, sangat sulit mendispilin warga masyarakat untuk tidak mengeyel dan menyepelekan bahayanya pandemi ini.
Sejatinya pandemi ini mengajarkan semua orang, termasuk elit politik itu, untuk menyadari bahwa sudah berapa korban yang direnggut oleh pandemi ini. Tidak bosankah kita semua yang kerjanya cuma menghitung angka-angka korban yang terpapar dan meninggal akibat pandemi ini?
Tidak terketukkah hati mereka, para elit dan tokoh politik, ketika sesama para pejabat publik, tenaga medis, dan warga masyarakat berguguran meninggal karena terinfeksi Covid-19? Maksudnya, kenapa mereka masih saja rakus dan serakah demi materi, jabatan, dan kekuasaan?
Mereka tetap nafsu menggelar pilkada di tengah pandemi tanpa memikirkan dampaknya. Klaster baru bisa tercipta dari pilkada. Suspek dan angka kematian korban Covid-19 bisa terus membengkak dari perhelatan pilkada ini.
Dalam kaidah fikih, ada prinsip "masalih al-mursalah", artinya jika suatu pekerjaan itu nirfaedah, banyak mudaratnya, dampaknya sangat membahayakan dan banyak merugikan, maka hukumnya itu haram.Â
Pekerjaan yang seperti itu harus ditinggalkan. Tidak boleh dilakukan. Harusnya dilarang. Karena ada alasan atau sebab (illat) yang kuat yang menunjukkan hukum pelarangannya (tahrimihi).
Ingat kaidah fikih (hukum), "Al-hukmu yaduru ma'a 'illatihi wujudan wa 'adaman", berlaku tidaknya suatu hukum bergantung pada ada dan tidaknya alasan (sebab).
Contoh, meminum khamar (arak, minuman keras)) itu haram. Alasan (illat) hukumnya karena dalam khamar atau arak itu ada unsur yang memabukkan, sangat membahayakan dan dapat merusak sistem saraf.Â
Atau contoh lain, ketika Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, berpendapat bahwa poligami itu haram. Karena berdasarkan riset dan penelitian bahwa poligami itu banyak menimbulkan dampak yang negatif dan merugikan, terutama bagi istri (perempuan) ketimbang positifnya.Â
Jadi, poligami itu banyak menimbulkan problem. Menurut Prof. Siti Musdah Mulia, karena alasan (illat) hukumnya seperti itu, maka hukum poligami itu bisa menjadi haram. Walaupun, pendapat Prof. Siti Musdah Mulia ini, pada gilirannya, menjadi kontroversi. Karena bertentangan dengan tafsir mainstream (jumhur ulama).
Itu sekadar contoh bahwa berlakukanya hukum itu bergantung pada ada dan tidaknya alasan (illat). Tentu masih banyak contohnya.
Berdasarkan pemikiran ini, maka tidak berlebihan, jika pilkada di tengah pandemi hukumnya "haram". Artinya, mesti dihindari. Enggak perlu dilakukan.
Semua mestinya menahan diri, tidak perlu nafsu, dan memaksakan diri untuk menggelar pilkada di tengah pandemi. Karena alasan (illat) hukumnya kuat. Dampaknya sangat membahayakan. Menciptakan klaster baru pandemi. Bertambahnya angka pasien dan korban yang meninggal akibat pandemi. Mengerikan, bukan?
Pilkada serentak 2020 itu lebih banyak mudaratnya. Makanya, NU secara tegas menyatakan, "Tunda Pilkada!" Dan segenap tokoh menggaungkan untuk golput jika terpaksa pilkada digelar juga. Muspralah pilkada itu!Â
Yang jelas, untuk sementara, sekarang ini saya lebih sepakat dengan seruan tunda pilkada. Karena alasan-alasan tadi. Percayalah, benar menggelar pilkada di tengah pandemi itu pilihan yang dilematis bak buah simalakama. Tetapi jika tetap pilkada dipaksakan untuk digelar, adalah pilihan konyol.
Makanya, tinggalkan apa yang meragukanmu menuju kepada apa yang tidak meragukanmu. Artinya, yakinlah. "Da' ma yuribuka ila ma la yuribuka"Â kata Nabi Muhammad saw. Tabik. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H