Subsidi kuota internet ini ternyata bentuknya kartu perdana berisi 10 gigabita. Melalui salah satu perusahan layanan telekomunikasi, atau provider tertentu.
Jadi, sebenarnya, ngapain repot-repot mendata dan meminta nomor seluler kepada setiap siswa, jika akhirnya bentuknya berupa kartu perdana.
Kenapa hanya dikuasai oleh satu provider atau perusahaan telekomunikasi? Padahal setiap siswa berbeda-beda perusahaan telekomunikasinya dari nomor seluler yang mereka punya. Ada nomor si***ati, produk *ele*****l, atau nomor ***tari, produk **do**t, misalnya, dan sebangsanya itu.
Lantas, kenapa cuma dapat 10 gigabita setiap siswa? Bukankah informasi yang digembar-gemborkan adalah 35 gigabita per bulannya yang akan diterima setiap siswa? Apa hanya segitu doang, atau memang sengaja dengan cara dicicil dulu, dan sisanya nanti menyusul? Entahlah. Tolong Anda bantu jawab.
Kenapa begini melulu kalau bikin kebijakan, mau-mau enggak-enggak, kayak enggak serius. Dan bukankah Mas Menteri yang sekarang ini diangkat juga karena jago ITE? Ah, lieur!Â
Pokoknya yang penting, merdeka belajar, atau (baru) belajar merdeka ya, sebagai kebijakan, dan sekaligus menjadi semacam slogan Mas Menteri itu.Â
Belum lagi program yang ada kaitannya dengan program yang belum lama ini mau digulirkan. Program Organisasi Penggerak (POP) yang merupakan bagian dari kebijakan Merdeka Belajar. Belum apa-apa sudah bikin heboh dan resah penduduk antero negeri ini.
Sampai-sampai, Bang Fachry Ali, senior saya di IAIN Ciputat, tegas-tegas lewat statusnya di Facebook beberapa bulan yang lalu, tepatnya tanggal 22 Juli 2020, memerintahkan Mas Menteri untuk "belajar lagi sejarah (Indonesia)". Karena dianggap Mas Menteri itu enggak paham sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia.
Baik, saya kutip kembali pernyataan Bang Fachry Ali di Facebook itu.Â
"Ketika keluar dari istana, sehabis dipanggil presiden terpilih, akhir 2019, calon menteri pendidikan yang masih muda belia itu berkata kepada wartawan: 'Saya tidak tahu masa lalu. Tapi saya tahu masa depan.' Lalu ia pulang naik ojek."
Fachry Ali melanjutkan, "Kini, Muhammadiyah dan NU keluar dari program 'Pendidikan Merdeka' karena Menteri Pendidikan memberikan dana hibah Rp20 miliar kepada masing-masing, Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation per tahun."