Sanggama dalam Agana Islam
Sanggama (jimak, berasal dari kata Bahasa Arab, jama'a, yang artinya berkumpul). Kata jimak kemudian digunakan dalam arti hubungan seksual antara seorang pria dan lawan jenisnya atau sebaliknya, karena dalam hubungan seksual terjadi proses perkumpulan, yakni, berkumpulnya dua alat kelamin pria dan wanita. Kata al-wathu juga sering digunakan untuk menyebut sanggama.
Tulisan ini fokus pada bahasan sanggama antara suami istri dalam perkawinan yang sah. Sanggama di luar perkawinan yang sah, dalam hukum Islam, disebut zina. Hukumnya haram. Karena termasuk perilaku keji (fahisyah) dan cara yang buruk atau menyimpamg (sa-a sabila) -- Al-Quran Surat al-Isra [17] ayat 32).
Bersanggama adalah kebutuhan biologis setiap makhluk hidup, manusia. Kecenderungan tertarik dan hasrat seksual pada lain jenis adalah naluri, dan alami (sunatullah). Pemenuhan hasrat seksual secara terhormat, etis dan suci, adalah refleksi kemanusiaan dan ketuhanan itu sendiri. Makanya, etika dan spiritualitas seksual menjadi penting. Pemenuhan kebutuhan seksual tidak sekadar pelampiasan nafsu dan libido belaka.
Perkawinan adalah ikatan batin antara seorang pria dan seorang wanita yang menghalalkan hubungan seksual untuk membangun keluarga bahagia dengan penuh tanggung jawab dan amanah menuju perkenan (rida) Tuhan Yang Mahaesa.
Nabi Muhammad saw, menyatakan, "Saling berpesanlah (ingatlah) tentang perempuan. Sesungguhnya Anda mempersuntingnya (perempuan) atas dasar amanah Allah. Dan dengan kalimat Allah (baca: ijab qabul/akad nikah) dibolehkannya (dihalalkan) hubungan seksual."
Bersanggama atau hubungan seksual yang dilakukan dalam ikatan perkawinan yang sah adalah bagian dari pergaulan suami istri yang diperintahkan syariat Islam.Â
Allah memerintahkan agar suami dan istri menciptakan suasana hubungan rumah tangga yang baik, dan mampu memenuhi kebutuhan-kenutuhan fisik dan psikologis dengab baik. "Dan bergaulilah dengan mereka (istri-istrimu) secara patut..." (QS. An-Nisa [4] ayat 19).
Dalam beberapa hadis Nabi yang menyebutkan bahwa seorang istri harus manut dan taat pada suami ketika diajak bersanggama, karena iming-iming bersifat agamis, yaitu balasan untuk memilih masuk surga dari pintu mana pun (HR. Imam Ahmad bin Hanbal), atau jika istri menolak ketika suaminya mengajak bersanggama, lantas suaminya marah, maka akan mendapat laknat dari malaikat sampai waktu subuh (HR. Al-Bukhari)
Sementara seorang istri tidak diberikan kesempatan sama sekali hak untuk menolak, karena alasan gabut, sedang lelah, atau lagi datang rasa kantuk yang berat, dan lain-lain yang bisa mengganggu kenyamanan dan konsentrasi pikiran dan psikologis, sehingga istri tidak bisa melayani keinginan suami.
Pemahaman terhadap teks-teks agama (hadis) inilah yang menyebabkan kesewenang-wenangan, pemaksaan kehendak, dan kekerasan seksual suami terhadap istri.Â