Mohon tunggu...
Muinnatu Lutfiah
Muinnatu Lutfiah Mohon Tunggu... Penulis - Devisi Riset dan Kepenulisan Aswaja Muda Universitas Wahid Hasyim Semarang

Lutfia adalah nama pena dari seseorang yang bernama Muinnatu Lutfiah . Lahir di Kota Rembang Pada 22 November 2003. Saat ini, Ia Tercatat Sebagai Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum di Universitas Wahid Hasyim Semarang. Selain menjalankan kuliah, Penulis juga aktif dalam berorganisasi. Awal Mula Perjalanan Penulis Adalah Ketika Masuk Ke dalam Organisasi Kampus Eksternal yaituHimpunan Mahasiswa Islam. Semenjak dimotivasi oleh kalangan senior untuk menulis, Penulis lalu bergabung ke dalam lembaga Aswaja Muda Universitas Wahid Hasyim Pada Tahun 2021 dan Menjabat Sebagai Devisi Riset dan Kepenulisan. Meskipun Lutfia tidak memiliki latar belakang Pendidikan Bidang Sastra, namun Ia selalu tertarik dalam hal menulis. Berbagai karya tulinya telah beredar di media-media online, bahkan ada juga yang ikut dibukukan dalam karya antologi. "jika kamu bukan anak raja maka menulislah" inilah kata-kata yang dijadikan motivasi oleh penulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Benarkah Surat An-Nahl Ayat 98 Sebagai Landasan Ta'awuz Sebelum Membaca Al-Qur'an?

9 Mei 2024   06:06 Diperbarui: 9 Mei 2024   06:49 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://tafsiralquran.id/tag/surat-an-nahl-ayat-98/

Tradisi dan kepercayaan yang terlanjur berkembang dalam praktik keagamaan terkadang dapat menghasilkan kekeliruan berlarut-larut. Salah satu contohnya adalah kewajiban membaca ta'awuz sebelum membaca al-Qur'an. Beberapa ulama meyakini bahwa Surat An-Nahl Ayat 98 menjadi landasan yang memerintahkan kewajiban membaca ta'awuz sebelum membaca al-Qur'an. Namun, seiring dengan upaya pemahaman umat muslim yang lebih dalam terhadap teks suci dan konteks historisnya, muncullah penafsiran yang lebih akurat.

Q.S. An-Nahl ayat 98:

Artinya: Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.

Dalam QS. An-Nahl ayat 98 dijelaskan bahwa Nabi Muhammad disuruh untuk mencari perlindungan kepada Allah sebelum membaca al-Qu'ran. Hal ini diinterpretasikan oleh sebagian kalangan sebagai aturan yang wajib diikuti oleh umat Muslim sebelum membaca Al-Quran. Namun, pemahaman seperti ini memunculkan perdebatan tentang konteks sebenarnya dari ayat-ayat tersebut.

Dalam kitab Tafsir Ibn Katsir, ayat-ayat ini dianggap sebagai aturan yang mengikat bagi umat Muslim secara umum. Namun, penafsiran semacam ini memicu pertanyaan tentang apakah ayat tersebut memang dimaksudkan sebagai hukum yang bersifat umum ataukah merupakan instruksi khusus kepada Nabi Muhammad.

Fazlur Rahman, seorang cendekiawan Muslim terkemuka, menawarkan pandangan yang menarik terkait hal ini. Beliau berpendapat bahwa al-Qur'an bukanlah kitab hukum dalam arti konvensional, tetapi merupakan kitab yang menyampaikan nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip spiritual yang menjadi landasan bagi pembangunan hukum secara umum. Dengan kata lain, al-Qur'an memberikan pedoman moral dan etika yang menjadi dasar bagi pembentukan hukum yang adil dan berkeadilan dalam masyarakat.

Surat an-Nahl ayat 98 berisi instruksi Allah kepada Nabi Muhammad untuk mencari perlindungan kepadanya sebelum membaca Al-Quran. Ayat tersebut tidak secara langsung menjadi hukum yang harus diikuti oleh umat Muslim secara harfiah. Pemahaman ini mengingatkan kita akan pentingnya interpretasi yang cermat terhadap ayat-ayat Al-Quran, serta pentingnya memahami nilai-nilai moral dan spiritual yang terkandung di dalamnya sebagai dasar bagi pembentukan hukum yang adil dan berkeadilan dalam masyarakat Muslim. Hal ini juga terdapat dalam surat al-A'raf ayat 200 yang sama-sama tidak bisa dijadikan sebagai landasan ta'awuz sebelum membaca al-Qur'an.

Artinya: Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan maka berlindunglah kepada Allah. (al-A'raf: 200)

Dalam QS. Al-A'raf ayat 200 Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mencari perlindungan kepada-Nya dari godaan syaitan, mengingat adanya ketakutan bahwa syaitan akan mencoba mengganggu beliau. Kemudian, pada surat an-Nahl ayat 100 dijelaskan bahwa turunnya ayat ini sebagai penghibur Nabi Muhammad ketika mendapatkan wahyu dari Allah.

()

Artinya: sesungguhnya syaiton itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada tuhannya.(99) Sesungguhnya kekuasaannya (syaiton) hanyalah atas orang-orang yyang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah (100) (an-Nahl)

Dalam konteks membaca al-Qur'an, Nabi Muhammad diperintahkan untuk menirukan Jibril, bukan untuk mengucapkan dengan cepat agar bisa segera menguasainya. QS. Al-Qiyamah ayat 16-18 menegaskan bahwa Nabi Muhammad diberi kemampuan untuk menghafal dan menyampaikan al-Qur'an dengan baik oleh Allah, dan beliau tidak diperintahkan untuk menyampaikannya dengan cepat, tetapi untuk memperhatikan dengan seksama dan menirukan dengan penuh ketelitian apa yang dibacakan oleh Jibril.

() () ()

Artinya: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. (16) Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. (17) Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. (18) (al-Haqqah)

Ayat init turun karena pada waktu itu Muhammad tidak segera mendapatkan wahyu dari Allah dan setan menggoda Muhammad supaya asal bicara. Kemudian ayat ini turun dan Jibril meminta untuk Muhammad tetap menunggu wahyu dari Allah.

Ayat- ayat diatas sebagai pendukung yang menunjukkan bahwa konteks sebenarnya dalam surat an-Nahl ayat 98 bukanlah ayat tentang hukum yang dijadikan landasan dalam membaca ta'awuz, namun ayat ini merupakan ayat historis yang berisi instruksi khusus kepada Nabi Muhammad.

Histori Turunnya Surat an-Nahl Ayat 98

Pada masa awal kenabian Nabi Muhammad, ketika al-Qur'an masih belum dibukukan dan disampaikan kepada umat secara luas, masyarakat Arab sering kali mencurigai asal-usul wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad. Mereka bahkan menuduh beliau sebagai orang yang kerasukan jin atau majnun, terutama karena kemampuan luar biasa Nabi dalam menyampaikan ayat-ayat yang indah dan penuh makna.

Saat itu, penyair-penyair Arab sering melakukan praktik spiritual di lembah-lembah untuk mencari inspirasi dari jin-jin, yang kemudian mereka sampaikan sebagai syair kepada masyarakat. Praktik ini membuat masyarakat menjadi waspada dan mencurigai setiap kegiatan yang dilakukan Nabi Muhammad. Mereka menggap nabi Muhammad melakukan hal yang seperti itu juga, mendapatkan ayat dari jin atau syaitan.

Namun, kesimpulan tersebut tidaklah tepat. Nabi Muhammad tidaklah bersyair seperti para penyair, melainkan membawa wahyu ilahi yang luar biasa dan berbeda dari apa yang biasa mereka dengar. Ketika Nabi Muhammad mulai menyampaikan ayat-ayat al-Qur'an, orang-orang terkesima oleh keindahan dan kebenaran yang terkandung di dalamnya, sehingga memunculkan rasa kagum dan kebingungan di kalangan mereka.

Dalam QS. Al-Qalam ayat 2, Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang majnun dan bahwa al-Qur'an bukanlah hasil perkataan jin, melainkan wahyu yang benar-benar datang dari Allah. Hal ini merupakan penegasan yang kuat terhadap kesucian wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad, serta menolak segala tuduhan yang dilemparkan oleh kaum musyrikin pada masa itu.

Artinya: berkat karunia Tuhanmu engkau (Nabi Muhammad) bukanlah orang gila.

Penegasan ini juga disokong oleh QS. Al-Haqqah ayat 40-52 dan QS. At-Takwir ayat 19-25, di mana Allah menjelaskan dengan jelas bahwa al-Qur'an adalah wahyu yang diturunkan oleh-Nya kepada Nabi Muhammad melalui perantara Malaikat Jibril. Hal ini memperjelas bahwa Al-Quran bukanlah hasil dari ilmu atau kebijaksanaan manusia, melainkan wahyu ilahi yang murni dan suci.

Dengan demikian, ayat-ayat al-Qur'an tersebut memberikan pemahaman yang jelas bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang diberi wahyu yang suci dan benar, serta diberi kemampuan untuk menyampaikan wahyu tersebut dengan tepat dan teliti sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Malaikat Jibril. Hal ini menguatkan keyakinan umat Islam akan kesucian Al-Quran sebagai sumber petunjuk yang utama dalam kehidupan mereka.

Latar belakang Allah menurunkan surat an-Nahl ayat 98 adalah masyarakat Arab menganggap bahwa nabi Muhammad itu majnun karena melafalkan ayat-ayat syaitan. Ayat ini menjadi bukti bahwa perkataan yang diucapkan nabi Muhammad adalah wahyu dari Allah bukan dari syaitan. Hal ini dikarenakan nabi Muhammad berkata "aku berlindung kepada allah dari godaan syaitan". Jika ayat ini dianggap dari syaitan, maka tidak mungkin nabi Muhammad meminta perlindungan dari godaan syaitan.

Kesalahpahaman seputar ajaran agama memerlukan kajian yang mendalam dan pemahaman yang akurat terhadap teks suci serta konteks historinya. Kritik terhadap penafsiran kitab-kitab terdahulu juga perlu jika memang masih terdapat kekeliruan di dalamnya. Oleh karena itu, mari terus menggali dan memahami ajaran islam dengan penuh kesungguhan agar tidak senantiasa berkutik pada kesalahpamahan-kesalahpahaman yang terjadi hingga saat ini seperti halnya kesalahpahaman menjadikan surat an-Nahl ayat 98 sebagai landasan ta'awuz sebelum membaca al-Qur'an.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun