Mohon tunggu...
Muhtolib
Muhtolib Mohon Tunggu... Freelancer - Seneng ngopi sambil bermacapat

Berbagi yukk

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Siasat Penghitungan Suara, Antisipasi Korban Jiwa di Pemilu 2024

25 Maret 2022   07:52 Diperbarui: 8 April 2022   06:44 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemilu (SERAMBI/M ANSHAR via KOMPAS.com)

Pemilu 2019 tercatat dalam sejarah sebagai pemilu terkelam. Di balik naiknya angka partisipasi masyarakat, ternyata harus dibayar dengan duka yang sangat mendalam.

Betapa tidak. Bersumber dari KPU yang dimuat dalam situs www.kompas.com mencatat 894 petugas KPPS meninggal dunia dan 5.175 mengalami sakit pasca pemilu 2019.

Catatan kritis ini tentu tidak ingin terulang di pemilu 2024 dan menjadi perhatian khusus KPU untuk menyiasatinya.

Sebuah konsekuensi logis bila pada akhirnya masyarakat enggan untuk menjadi petugas KPPS.

Bila melihat realita lapangan, terutama pada saat penghitungan suara, banyak TPS yang menyelesaikan lebih dari pukul 23.00 bahkan tak sedikit pula yang selesai hingga larut malam.

Kelelahan fisik menjadi mengancam daya tahan tubuh para petugas pemilu.

Keadaan ini sebenarnya sudah diprediksi oleh komisioner KPU saat itu, sebagaimana diungkapkan salah satu anggota KPU, Wahyu Setiawan yang dipublikasikan dalam situs www.kompas.com tanggal 16 April 2019 menyatakan bahwa penghitungan suara untuk tiap KPPS akan sulit diprediksi, bahkan simulasi yang dilakukan KPU, penghitungan suara selesai pukul 24.00, itupun belum dihitung bila ada protes.

Artinya, komisioner KPU tahu bahwa petugas KPPS akan mengalami kelelahan fisik. Potensi petugas KPPS menjadi sakit menjadi sangat mungkin, realitanya sampai meninggal dunia.

Sebenarnya, bila melihat regulasi pemilu, permasalahan ini muncul dari regulasi pemilu yang ada. Dalam PKPU No. 9 tahun 2019 pasal 52 poin 6 menyebutkan bahwa penghitungan suara dilakukan secara berurutan dimulai dari penghitungan suara pemilu presiden/wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Peristiwa seperti ini tentu tidak ingin terulang di pemilu 2024. Beberapa hari kemarin, KPU melontarkan tiga wacana alternatif untuk mengantisipasi tidak terulangnya peristiwa di pemilu 2019.

Pertama, penyederhanaan surat suara. Kedua, menaikan  honor KPPS tiga kali lipat. Semula 500.000 menjadi 1,5 juta. Dan ketiga, rekrutmen KPPS.

Seperti apa polanya? Apakah mencari yang muda dan tidak gampang sakit? Lantas efektifkah?

Akar permasalahan pemilu 2019 bukan pada kartu suara, bukan pada honor, bahkan bukan tingkat daya tahan tubuh petugas KPPS. Tapi, permasalahannya adalah pada sistem penghitungan suara.

Regulasi pemilu tidak memungkinkan KPPS untuk berkreasi. Semua perhitungan dilakukan sesuai urutan penghitungan.

Bila PKPU No. 9 Tahun 2019 terutama di pasal pasal 52 poin 6  tidak diubah, maka potensi peristiwa di pemilu 2019 bisa terulang.

Upaya pemecahan permasalahan ini ada 2 (dua) opsi. Pertama, Pemilu dengan transformasi digital. Kedua, perubahan mekanisme sistem penghitungan suara.

Dua hal ini sangat penting menjadi fokus pemikiran bersama. Faktor kesehatan dan kemanusiaan harus menjadi pertimbangan tersendiri di setiap perumusan regulasi pemilu, terlebih kita masih dalam situasi pandemi Covid-19.

Pertama, Pemilu dengan pola transformasi digital

Kelebihan menggunakan sistem ini adalah penghitungannya akan lebih cepat. Namun, sangat rentan bila situsnya diretas (hack).

Belanda pernah menggunakan sistem e-voting, tapi karena situsnya pernah diretas, akhirnya sistem pemilu kembali ke konvensional.

Selanjutnya, masyarakat kita belum semua mengenal dan teredukasi dengan baik tentang sistem digital. Hal ini akan menyulitkan para petugas KPPS saat memberi layanan pada pemilih. Selain akan menghabiskan waktu, masyarakat yang gagap teknologi tidak akan fokus dengan pilihannya.

Dalam konteks ini, saya lebih sepakat pemilu 2024 tetap menggunakan kertas suara.

Kedua, mengubah regulasi pemilu tentang tata cara penghitungan suara

Penyederhanaan kertas suara yang diwacanakan oleh KPU menurut saya masih belum efektif untuk mengantisipasi tidak terjadi peristiwa seperti di pemilu 2019. Mengapa demikian?

Sesederhana apapun bentuk kertas suaranya, kalau mekanisme penghitungannya berurutan seperti dalam PKPU No. 9 Tahun 2019 pasti akan memakan waktu lama.

Sebagai contoh solusi permasalahan ini, misalnya; membagi KPPS ke dalam 2 (dua) penghitungan suara.

Setiap TPS didesain menjadi 2 (dua) bilik penghitungan setelah proses pemungutan suara selesai.

Kelompok pertama, menghitung hasil pemilu presiden/wakil presiden, DPD, dan Bupati/Walikota.

Sedangkan, kelompok kedua, menghitung hasil pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten.

Masing-masing peserta pemilihan memiliki saksi yang berbeda. Pemilihan Presiden, ada saksinya. Pemilihan DPR ada saksinya, begitupun yang lainnya. Jadi, tidak akan ada tarik menarik saksi di satu TPS.

Pemilu 2024 memiliki optimisme kuat sebagai momentum pergantian pemimpin yang mampu memajukan martabat bangsa dan menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Pemilu 2024 hendaknya tidak ternodai dengan banyaknya petugas pemilu yang sakit, bahkan meninggal dunia. Kesehatan dan kemanusiaan hendaknya selalu menjadi pertimbangan dalam setiap perumusan regulasi pemilu.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun