Seperti apa polanya? Apakah mencari yang muda dan tidak gampang sakit? Lantas efektifkah?
Akar permasalahan pemilu 2019 bukan pada kartu suara, bukan pada honor, bahkan bukan tingkat daya tahan tubuh petugas KPPS. Tapi, permasalahannya adalah pada sistem penghitungan suara.
Regulasi pemilu tidak memungkinkan KPPS untuk berkreasi. Semua perhitungan dilakukan sesuai urutan penghitungan.
Bila PKPU No. 9 Tahun 2019 terutama di pasal pasal 52 poin 6 Â tidak diubah, maka potensi peristiwa di pemilu 2019 bisa terulang.
Upaya pemecahan permasalahan ini ada 2 (dua) opsi. Pertama, Pemilu dengan transformasi digital. Kedua, perubahan mekanisme sistem penghitungan suara.
Dua hal ini sangat penting menjadi fokus pemikiran bersama. Faktor kesehatan dan kemanusiaan harus menjadi pertimbangan tersendiri di setiap perumusan regulasi pemilu, terlebih kita masih dalam situasi pandemi Covid-19.
Pertama, Pemilu dengan pola transformasi digital
Kelebihan menggunakan sistem ini adalah penghitungannya akan lebih cepat. Namun, sangat rentan bila situsnya diretas (hack).
Belanda pernah menggunakan sistem e-voting, tapi karena situsnya pernah diretas, akhirnya sistem pemilu kembali ke konvensional.
Selanjutnya, masyarakat kita belum semua mengenal dan teredukasi dengan baik tentang sistem digital. Hal ini akan menyulitkan para petugas KPPS saat memberi layanan pada pemilih. Selain akan menghabiskan waktu, masyarakat yang gagap teknologi tidak akan fokus dengan pilihannya.
Dalam konteks ini, saya lebih sepakat pemilu 2024 tetap menggunakan kertas suara.
Kedua, mengubah regulasi pemilu tentang tata cara penghitungan suara
Penyederhanaan kertas suara yang diwacanakan oleh KPU menurut saya masih belum efektif untuk mengantisipasi tidak terjadi peristiwa seperti di pemilu 2019. Mengapa demikian?