Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sekolah, Jancokkah? Yuk, Permainkan Bahasa dan Rayakan Perbedaan Makna

6 Agustus 2021   07:52 Diperbarui: 6 Agustus 2021   07:54 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Editan Pribadi

"Permainan Bahasa dan Permainan Tanda ada Untuk Menghargai Perbedaan Pemaknaan Umat Manusia" (Jaques Derrida)

 Saya baru-baru ini mengalami kasus yang Ya saya rasa lumayan menegangkan, karena saya membuat caption di Instagram saya yang bertuliskan 'sekolah jancok', yang mana story tersebut adalah hasil repost dari story kawan saya yang memvideo sekolahnya. Tak lama setelah story itu diupload, saya sudah menduga bahwa saya akan di panggil oleh kesiswaan di sekolah namun memang benar adanya.

 Dan tentu seperti yang pembaca duga, Saya dianggap tidak beretika dan tidak bermoral oleh sekolah. Saya mengakui itu, karena memang sekolah dan segala oknumnya memiliki pemaknaan kaku terhadap kata 'jancok' yakni sebagai kata yang merepresentasikan umpatan. Yang mana 'Jancok' sendiri banyak maknanya, oleh karena itu saya coba ulas pada tulisan saya yang satu ini.

 'Cok raimu cok' Apa makna kata ini? apakah itu sebuah umpatan? Atau itu hanya sekedar sapaan sekaligus lambang dari keakraban? Coba kita telusuri Bagaimana bahasa itu mempermainkan kita, menstruktur kita, sekaligus membentuk diri kita.

Lacan : Bahasa adalah konstruksi kesadaran

 "Tak ada Kebenaran Semenjak Memasuki Kesadaran"

 Begitu salah satu ungkapan kontroversi Lacan, secara tautologi ungkapan tersebut berarti tak ada yang benar ketika kita sadar. Apakah benar demikian? Berarti kebenaran yang selama ini kita cari itu tidak ada, sebab kita sudah masuk dalam kesadaran sejak lama.

 Ojo gupuh, santuy dulu, minum kopi, tenangkan hati. Lacan mengatakan hal tersebut tentu bukan semata-mata ia mengecap bahwa segala ilmu yang ada di dalam kesadaran itu salah, namun Lacan mengaitkan hal tersebut sesuai bidangnya yakni psikoanalisa.

 Bapak Psikoanalisa dunia yakni Sigmund Freud mengatakan bahwa kesadaran manusia itu dikonstruksi oleh libido. Sedangkan Lacan meneruskan Freud dengan mengatakan bahwa kesadaran itu dikonstruksi oleh bahasa, mari kita simak teori Lacan tentangnya, Triad Lacanian :

Manusia dalam kesadarannya dibagi dalam 3 dunia :

1. Dunia Nyata, yakni dunia di mana seorang manusia sama sekali belum menemui bahasa

2. Dunia Imajiner, yakni ketika seorang manusia mengenali dirinya, namun menggunakan bahasa

3. Dunia Simbol, yakni ketika seorang manusia sepenuhnya telah masuk pada dunia bahasa

 Triad Lacanian inilah kemudian menjadi inti dari pemikiran filsafat Lacan, yang mana Triad Lacanian ditarik Lacan dengan perkataannya :

"Keinginan adalah keinginan dari orang lain"

 Maksudnya adalah bahwa ketika kita memiliki keinginan, keinginan kita itu sebenarnya adalah keinginan orang lain, sebab keinginan kita akan selalu kita bahasakan dan membahasakan diri, sedangkan bahasa adalah milik semua manusia.

 Bagi Lacan, tak ada kebenaran semenjak masuk dalam kesadaran, karena kesadaran kita distruktur oleh bahasa, kita juga tak dapat menemukan kebenaran di dalam bahasa sebab semua makna dapat berubah kapan saja.

Eco : Bahasa adalah kedustaan

 Umberto Eco, seorang Filsuf dan Sastrawan yang berfokus pada kajian mitos dan tafsir mengatakan dalam essainya mengenai 'overinterpretation', yang mana Eco berkata :

"Seluruh disiplin ilmu, pasti dapat digunakan untuk berdusta, jika ia tak dapat digunakan untuk berdusta maka ia tak dapat digunakan untuk mengatakan yang sebenarnya"

 Bagi Eco, bahasa secara keseluruhan adalah dusta, karena setiap orang memiliki tafsiran atas makna yang berbeda-beda, bahasa tak pernah menggapai kebenaran, ia hanya mentok pada denotasi referensial dari objek ideal. Oleh karena itu dibutuhkan ilmu (semiotika) yang bertugas tuk membongkar kedustaannya.

Derrida : Bahasa adalah perayaan

 Setelah kita tamasya dalam alam dusta ala Eco dan Lacan, masihkah kita menganggap bahwa bahasa bisa menggapai kebenaran? Saya rasa sangat perlu kita memasuki satu wahana lagi, yakni isi kepala seorang problema, yakni Jaques Derrida.

 Derrida beranggapan bahwa seluruh tradisi bahasa selalu mengandaikan apa yang disebut 'logosentrisme' atau 'metafisika kehadiran', yakni suatu konsep di mana kita mengandaikan 'kehadiran makna' yang tetap dalam suatu kata.

 Semisal kata 'Ayam' yang seolah-olah menghadirkan makna 'binatang berkaki dua', makna kata ayam yang demikian mengandaikan yang disebut Derrida sebagai 'logosentrisme' atau 'metafisika kehadiran' tadi yang mana seolah 'hewan berkaki 2' telah melekat pada kata 'ayam' 

 Di sini dari Derrida melihat kata 'ayam' bukan sebagai denotasi tetap terhadap objek idealnya, yakni ayam yang di dunia nyata, tapi Derrida melihat 'ayam' sebagai penanda dan penanda itu adalah distruktur budaya dan tentu dapat berubah kapan pun kata sekaligus fonotasinya.

 Prinsip 'logosentrisme' menggunakan 'difference' dalam pemaknaannya, yakni suatu kata dapat bermakna ketika ia dibedakan dengan kata yang lainnya. Semisal kata 'ayam' dapat bermakna karena dibedakan dengan 'ayah', 'ayang', 'alam' dan lain-lain. Derrida menggunakan prinsip yang disebut sebagai 'differance' dengan 'a' bukan 'e' jika 'differance' itu menggunakan perbedaan yang satu untuk membedakan makna kata ayam dengan kata-kata lain.

 Differance mengajukan bahwa 'ayam' juga bisa berganti maknanya, bahkan kita bisa mengatakan 'ayam saya masih bekerja di kantor' karena memang di situlah perayaan perbedaan yang sebenarnya yang diajukan oleh Jacques derrida.

 Dari sini bisa kita lihat betapa leburnya Logosentrisme Pasca-Derrida, karena saya pribadi melihat logosentrisme sebagai kekangan budaya atas kebebasan makna. Namun, bahasa dalam kinerjanya masih sangat membutuhkan represi (penekanan) agar dapat terjadi komunikasi. Namun bila kita telaah, bagi Derrida :

"Bahasa bukan untuk komunikasi dan tukar pikiran, tapi untuk dirayakan"

Jancok sebagai perayaan kehidupan

"Jancok itu adalah ungkapan segala rasa"(Sudjiwo Tedjo)

 'Jancok' adalah representasi peleburan logosentrisme bahasa, dalam etimologi saja 'Jancok' sudah banyak sejarahnya, ada yang bilang bahwa itu nama tank Belanda, ada pula yang bilang bahwa 'Jancok' adalah singkatan dari 'Jangan Anggap Neraka Cuman Omong Kosong', 'Jancok' juga bisa diakronimkan menjadi 'JAN-coCOK' dan masih banyak yang lainnya.

 Saya masih kurang paham, budaya apa yang membuat kata 'Jancok' yang awalnya perayaan bisa berubah menjadi umpatan, dan terlihat sekali logosentrisme di dalamnya, seakan-akan kata 'Jancok' memiliki ketetapan makna yang tak dapat berubah. Padahal Bahasa tak dapat meraih kebenaran makna secara utuh, pemaksaan di dalamnya hanya akan menimbulkan sikap intoleran.

 Lalu apa makna asli kata 'Jancok'? Nggak ada hoi, hellooow. Sama sekali tak ada, mangkanya tinggal kita tempatkan konteks dan permainkan bahasanya, biarlah kaum intoleran yang menganggap ketetapan makna 'Jancok' marah-marah sampai kiamat tiba.

Sekolah Jancok Juga Ternyata

 Yah karena 'Jancok' adalah perayaan, tak ada masalah bila kita men-jancokkan seluruh dunia, sebab ga ada makna di dalamnya, bagi saya 'Jancok' itu keambiguannya hampir setara kata 'Nganu'.

 Sekolah sebagai sistem yang juga beroperasi dalam dinamika tanda (bahasa), tentu yah 'Jancok' juga, karena 'Jancok' adalah ungkapan segala rasa, jangan biarkan ketetapan makna di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun