Derrida : Bahasa adalah perayaan
 Setelah kita tamasya dalam alam dusta ala Eco dan Lacan, masihkah kita menganggap bahwa bahasa bisa menggapai kebenaran? Saya rasa sangat perlu kita memasuki satu wahana lagi, yakni isi kepala seorang problema, yakni Jaques Derrida.
 Derrida beranggapan bahwa seluruh tradisi bahasa selalu mengandaikan apa yang disebut 'logosentrisme' atau 'metafisika kehadiran', yakni suatu konsep di mana kita mengandaikan 'kehadiran makna' yang tetap dalam suatu kata.
 Semisal kata 'Ayam' yang seolah-olah menghadirkan makna 'binatang berkaki dua', makna kata ayam yang demikian mengandaikan yang disebut Derrida sebagai 'logosentrisme' atau 'metafisika kehadiran' tadi yang mana seolah 'hewan berkaki 2' telah melekat pada kata 'ayam'Â
 Di sini dari Derrida melihat kata 'ayam' bukan sebagai denotasi tetap terhadap objek idealnya, yakni ayam yang di dunia nyata, tapi Derrida melihat 'ayam' sebagai penanda dan penanda itu adalah distruktur budaya dan tentu dapat berubah kapan pun kata sekaligus fonotasinya.
 Prinsip 'logosentrisme' menggunakan 'difference' dalam pemaknaannya, yakni suatu kata dapat bermakna ketika ia dibedakan dengan kata yang lainnya. Semisal kata 'ayam' dapat bermakna karena dibedakan dengan 'ayah', 'ayang', 'alam' dan lain-lain. Derrida menggunakan prinsip yang disebut sebagai 'differance' dengan 'a' bukan 'e' jika 'differance' itu menggunakan perbedaan yang satu untuk membedakan makna kata ayam dengan kata-kata lain.
 Differance mengajukan bahwa 'ayam' juga bisa berganti maknanya, bahkan kita bisa mengatakan 'ayam saya masih bekerja di kantor' karena memang di situlah perayaan perbedaan yang sebenarnya yang diajukan oleh Jacques derrida.
 Dari sini bisa kita lihat betapa leburnya Logosentrisme Pasca-Derrida, karena saya pribadi melihat logosentrisme sebagai kekangan budaya atas kebebasan makna. Namun, bahasa dalam kinerjanya masih sangat membutuhkan represi (penekanan) agar dapat terjadi komunikasi. Namun bila kita telaah, bagi Derrida :
"Bahasa bukan untuk komunikasi dan tukar pikiran, tapi untuk dirayakan"
Jancok sebagai perayaan kehidupan
"Jancok itu adalah ungkapan segala rasa"(Sudjiwo Tedjo)