Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tuhan, Hambamu Ingin Merasakan Corona

7 Januari 2021   14:05 Diperbarui: 7 Januari 2021   16:33 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Kisah ini adalah ungkapan doa-doa seorang hamba yang ingin meminta kebahagiaan kepada Tuhan-nya, yang mungkin kebahagiaan itu adalah suatu siksaan pada hamba lain-nya, kadangkala bagi sebagian manusia, siksa adalah bahagia dan bahagia bisa pula menjadi siksa, hal demikian akan terkelupas apabila anda telah membaca dan meresapi inti sari dalam cerita ini, simaklah dan masuki seutuhnya....

***

 Kala itu, dunia sedang dilanda pandemi dan manusia sedang diisolasi, beberapa saat ketika pandemi telah memasuki Indonesia, ada seorang bocah SMK yang baru sampai di rumah, karena semua sekolah dikosongkan dari hiruk-piruk siswa, bocah itu senang karena menurutnya sekolah adalah siksa, pengembalian siswa pada habitatnya sangatlah cocok dengan isi kepala si bocah.

 Saat siswa lain di rumah tidak ngapa-ngapain dan hanya melihat angin, si bocah mengikuti kegiatan pemberantasan wabah bersama salah satu lembaga kemanusiaan di negrinya, ia merasa bebas se-bebasnya, karena ketika sedang berada pada belenggu sekolah, si bocah tak dapat melakukan pergerakan secara leluasa.

 Pandemi semakin menghujat bumi, virus semakin menggerogoti akal budi, terbitlah pandemi lama yang dianggap baru kala itu, yakni pandemi ekonomi, karena situasi yang semakin mencekam, maka segala sektor pasti terancam. Sekolah salah satunya, pembelajaran di rumah diperpanjang hingga kondisi kembali memungkinkan, entah kapan. Si bocah semakin senang, ia dapat semakin leluasa tuk melakukan aktivitas kemanusiaan, mengisi pikiran, melakukan pembelajaran yang tak pernah diajarkan oleh sekolahan, bahkan ia dapat membuka usaha kecil-kecilan. Kala bocah itu sedang melakukan aktivitas kemanusiaan, betapa kagetnya ia ketika meliat suatu fenomena di bagian lain di dunia, fenomena yang menggerus hati si bocah.

 Mulai dari kemiskinan yang semakin merajalela, hingga kejahatan yang semakin buas adanya, ada keluarga kelaparan yang sedang menunggu sang pencari nafkah untuk pulang ke rumah, adapula gadis kecil yang meringkik memanjatkan doa di pinggir perempatan kota, bahkan ada tukang sampah yang tetap bekerja tuk memberi senyuman pada Istri yang sedang merawat buah hati di rumah. Tanpa disadari, air mata bocah telah menetes sejak tadi, betapa pilu hatinya ketika melihat fenomena bencana kemanusiaan yang sedemikian rupa, tetesan air mata telah mengalir bersamaan dengan ribuan kesedihannya, bocah tersebut-pun memutuskan tuk terus melakukan gerakan kemanusiaan sampai tubuh tak menyisakan bayang-bayang.

 Sesampainya si bocah di rumah, ia bermimpi sampai pagi, impiannya menggugurkan sepi, bersama setumpuk bacaan yang bergizi, bocah terus mengisi kepala dengan menuang ilmu di dalam cangkir-cangkir waktu, tugas malam  tuk memejamkan mata digagalkan olenya. Ketika itu, banyak sekali seminar online yang diadakan, bocah memiliki antusias tersendiri kepada aneka ragam seminar itu, karena baginya, inilah kesempatan tuk mewujudkan sekolah yang sesungguhnya, sekolah yang membuat siswanya antusias belajar karena ingin memahami dunia, bukan gara-gara ijazah.

 Sedikit dari banyak ilmu ia cerna, karena dalam banyaknya seminar tersebut, si bocah tak peduli apapun temanya ia tetap mengikuti dan memahami, mulai dari Agama, Sains, Sosial, Sastra, Kedokteran hingga Filsafat. Bocah amat gembira, sembari mengumpulkan remah pengertian di jejalanan, juga remah kepedulian di sepanjang tujuan. Si bocah berharap ia tak masuk sekolah selamanya.

 Bocah sumringah, lebaran telah tiba, perayaan atas sebulan puasa, masih dalam bayang-bayang wabah tentunya. Lebaran tahun lalu, umat manusia berhamburan di jejalanan kota untuk ibadah, sedangkan lebaran kali ini, umat manusia hanya dapat melantunkan doa dari dalam rumah, sehingga kota dipenuhi oleh harapan yang berhamburan di jejalanan.

 Bocah memutuskan tuk segera melampiaskan hasrat pengetahuannya, sehingga uang lebaran yang diberikan oleh keluarga ia barter dengan tumpukan jendela dunia. Yahh untuk menjaga kewarasan di tengah kepanikan dan untuk mempertahankan nyala ilmu pengetahuan.

 Setelah lebaran, bocah kembali melakukan aktivitas rutinnya, menjadi relawan tuk melawan kesengsaraan. Mencari remah pengertian dari beberapa bacaan, hingga bocah memilih merutinkan diri tuk mampir ke perpustakaan, karena bocah ingin mencari tau dasar kesengsaraan umat manusia yang ada di dunia, sekaligus ia ingin membaca semesta, karena itulah hobinya sejak masih belia.

 Setelah membaca semesta dan membuka beragam jendela dunia, ia merasa kurang afdol kalau ia tak menuliskannya pada kolom-kolom media, menulikan ilmu yang ia dapatkan semenjak pandemi tiba, karena bagi bocah :

" Membaca adalah tanda bahwa kita butuh pikiran, menulis adalah tanda kalau kita punya pikiran"

 Jadi ketika itu si bocah mencoba iseng-iseng tuk menulis artikel pertama di Kompasiana, tak terasa ternyata bakat menulis si bocah mulai nampak adanya, sehari bahkan ia pernah menulis sampai 5 artikel berbau analisa, ia juga mendapatkan penghargaan sebagai 30 kompasianer pelajar terbaik di bulan September, suatu kebahagiaan bagi bocah.

 Ia tak puas sampai sana, ia mulai buas kemana-mana, jendela dunia yang ia buka, ia gunakan tuk memasukkan pemikiran yang dimilikinya pada dunia, bahkan tak sedikit para ahli yang mengapresiasi dan menganga ketika membaca tulisannya.

 Si bocah terus menulis, menuangkan imajinasi dan referensi yang telah ia produksi, aktivitas organisasi juga ia jalani, bahkan ia berbaur dengan para mahasiswa tuk diskusi merencanakan aksi menegakkan demokrasi kembali. Kala itu ia juga diamanahi menjadi ketua organisasi di sekolahnya, ia bangun pendidikan lewat diskusi rutinan tanpa melibatkan sekolahan, aktivitas kemanusiaan juga masih terus berjalan, hingga si bocah memutuskan tuk memulai bisnisnya.

 Mulai menjadi agen camilan makaroni selama seminggu, ia memutuskan tuk membuat produk sendiri, yaitu kopi yang dapat menghilangkan sepi di sela-sela hati, dengan bekal pelatihan bersama para ahli ketika ia SMP, bocah dapat meraih omset yang memuaskan ketika bisnis itu berjalan di Minggu pertama, ia tak takut kegagalan, kalaupun omset turun, bocah berani tuk terus mencoba, kalaupun gagal, bagi bocah ilmu pengetahuan dan dakwah keagamaan masih menjadi prioritasnya.

 Di saat bocah mengalami kesibukan yang mengayikkan tersebut, tiba-tiba ia dapat kabar bahwa sekolah akan tatap muka, si bocah langsung muram hatinya, ia tulis berantai di berbagai media akan berbahayanya sekolah. Tapi pihak sekolah masih terus bersikeras tuk memasukkan muridnya, si bocah merenung ternganga.

 Bocah paham, tak semua anak sepertinya, ada yang hanya rebahan di rumah, ada pula yang setiap hari menghabiskan waktu dengan hal yang kurang berguna. Tapi bagi bocah, ketika itulah murid atau anak-anak kembali memasuki dunianya, dunia kebebasan yang diciptakan Tuhan pada pikiran semua manusia, dunia di dalam jiwa yang istimewa.

 Jangan sampai dunia itu dirusak oleh aturan-aturan sekolah dan sistem sekolah yang membuat dunia tersebut hancur tak bersisa. Harapan usai sekolah hanyalah untuk kerja, padahal kerja hanyalah sebagian kecil dari rangkaian kehidupan, tapi diutamakan karena bagian besar kehidupan lainnya telah di bumi hanguskan oleh sekolahan.

 Si bocah sama sekali tak ingin dirinya kembali ke tempat suram itu, tempat dimana ia tak dapat bebas berkarya, tempat dimana jiwa dan raganya di penjara, tempat paling menyiksa bagi para anak yang besar impiannya.

 Dikala itulah, bocah terbesit keinginan tuk terpapar virus Corona, ia telah mempertimbangkan tenaga kesehatan dan para dokter yang berjuang mati-matian, tapi ia inilah harapan kecilnya diwujudkan oleh Tuhan, ia ingin melanjutkan kesibukan mengasyikkannya, ia ingin bebas berkarya, ia ingin Tuhan menjaga impiannya dan menghindarkannya dari tempat menakutkan yang telah lama membelenggu dunianya.

 Bahkan bagi bocah, tak apa apabila bocah tak dirawat di rumah sakit dan dihindari oleh para manusia, baginya kebebasan berkarya adalah kesenangan paling sempurna. Ia-pun memanjatkan doanya di sela-sela malam kepada Tuhan :

Tuhan, kumohon bebaskan hambamu

Dari belenggu yang menyiksa itu

Tuhan, kasihanilah hambamu

Dari tempat mengerikan itu

Biar-pun kau kirimkan wabahmu

Itu lebih baik daripada kembali ke tempat itu

Tuhan, hambamu ingin kesehatan

Karena sejak dulu jiwaku telah kesakitan

Dikurung oleh ujian yang kau ciptakan

Biarlah hambamu istirahat dari segala penat

Sembari memunajatkan diri kepadamu

Semoga kau mendengarkan doaku, Tuhan

Doa kecil si bocah menggemparkan semesta, karena semesta telah tau sejak dulu, bahwa jiwa bocah telah tersiksa sejak lama, bocah ingin merasakan Corona, karena Corona adalah obat bagi kesengsaraan jiwanya.

Terima kasih telah menyempatkan diri membaca, semoga tak ada korban lagi seperti bocah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun