Setelah lebaran, bocah kembali melakukan aktivitas rutinnya, menjadi relawan tuk melawan kesengsaraan. Mencari remah pengertian dari beberapa bacaan, hingga bocah memilih merutinkan diri tuk mampir ke perpustakaan, karena bocah ingin mencari tau dasar kesengsaraan umat manusia yang ada di dunia, sekaligus ia ingin membaca semesta, karena itulah hobinya sejak masih belia.
 Setelah membaca semesta dan membuka beragam jendela dunia, ia merasa kurang afdol kalau ia tak menuliskannya pada kolom-kolom media, menulikan ilmu yang ia dapatkan semenjak pandemi tiba, karena bagi bocah :
" Membaca adalah tanda bahwa kita butuh pikiran, menulis adalah tanda kalau kita punya pikiran"
 Jadi ketika itu si bocah mencoba iseng-iseng tuk menulis artikel pertama di Kompasiana, tak terasa ternyata bakat menulis si bocah mulai nampak adanya, sehari bahkan ia pernah menulis sampai 5 artikel berbau analisa, ia juga mendapatkan penghargaan sebagai 30 kompasianer pelajar terbaik di bulan September, suatu kebahagiaan bagi bocah.
 Ia tak puas sampai sana, ia mulai buas kemana-mana, jendela dunia yang ia buka, ia gunakan tuk memasukkan pemikiran yang dimilikinya pada dunia, bahkan tak sedikit para ahli yang mengapresiasi dan menganga ketika membaca tulisannya.
 Si bocah terus menulis, menuangkan imajinasi dan referensi yang telah ia produksi, aktivitas organisasi juga ia jalani, bahkan ia berbaur dengan para mahasiswa tuk diskusi merencanakan aksi menegakkan demokrasi kembali. Kala itu ia juga diamanahi menjadi ketua organisasi di sekolahnya, ia bangun pendidikan lewat diskusi rutinan tanpa melibatkan sekolahan, aktivitas kemanusiaan juga masih terus berjalan, hingga si bocah memutuskan tuk memulai bisnisnya.
 Mulai menjadi agen camilan makaroni selama seminggu, ia memutuskan tuk membuat produk sendiri, yaitu kopi yang dapat menghilangkan sepi di sela-sela hati, dengan bekal pelatihan bersama para ahli ketika ia SMP, bocah dapat meraih omset yang memuaskan ketika bisnis itu berjalan di Minggu pertama, ia tak takut kegagalan, kalaupun omset turun, bocah berani tuk terus mencoba, kalaupun gagal, bagi bocah ilmu pengetahuan dan dakwah keagamaan masih menjadi prioritasnya.
 Di saat bocah mengalami kesibukan yang mengayikkan tersebut, tiba-tiba ia dapat kabar bahwa sekolah akan tatap muka, si bocah langsung muram hatinya, ia tulis berantai di berbagai media akan berbahayanya sekolah. Tapi pihak sekolah masih terus bersikeras tuk memasukkan muridnya, si bocah merenung ternganga.
 Bocah paham, tak semua anak sepertinya, ada yang hanya rebahan di rumah, ada pula yang setiap hari menghabiskan waktu dengan hal yang kurang berguna. Tapi bagi bocah, ketika itulah murid atau anak-anak kembali memasuki dunianya, dunia kebebasan yang diciptakan Tuhan pada pikiran semua manusia, dunia di dalam jiwa yang istimewa.
 Jangan sampai dunia itu dirusak oleh aturan-aturan sekolah dan sistem sekolah yang membuat dunia tersebut hancur tak bersisa. Harapan usai sekolah hanyalah untuk kerja, padahal kerja hanyalah sebagian kecil dari rangkaian kehidupan, tapi diutamakan karena bagian besar kehidupan lainnya telah di bumi hanguskan oleh sekolahan.
 Si bocah sama sekali tak ingin dirinya kembali ke tempat suram itu, tempat dimana ia tak dapat bebas berkarya, tempat dimana jiwa dan raganya di penjara, tempat paling menyiksa bagi para anak yang besar impiannya.