Pada klaster ketenagakerjaan dalam RUUCK, Kompas menemukan 3 pasal yang berubah dari draf awal yang disahkan dalam rapat paripurna DPR pada tanggal 5 Oktober 2020 (905 halaman) dengan versi terakhir yang diklaim DPR final yakni versi 12 Oktober 2020 (812 halaman) terdiri dari pasal 79, pasal 88A dan pasal 154A (1).
Menambahkan temuan kompas a quo, saya hanya perlu mencantumkan satu temuan 'kecil' yang bagi saya sudah sangat fatal karena terbukti menghapus satu frasa yang sebelumnya banyak ditentang banyak pihak (termasuk saya), yakni pasal 156 ayat 2 khususnya pada frasa 'paling banyak'.
Ini tentu merupakan cara yang tidak lazim di parlemen manapun di seluruh dunia dan cenderung cacat hukum secara formil dalam proses pembentukan sebuah UU, sebab ketika sebuah RUU disahkan melalui rapat tertinggi di tingkat paripurna, maka sudah sepatutnya sebuah draf tidak dirubah secara substansi. Proses labil yang terang benderang ini tentu meludahi UU PPUU yang telah dibentuk secara sakral oleh mereka sendiri.
Padahal, pembentukan UU adalah produk hukum yang bersifat publik. Tetapi mengapa prosesnya bahkan jauh lebih buruk dari produk hukum yang bersifat privat di level terbawah masyarakat?
Terus terang, bagi saya ini betul-betul perbuatan yang sangat pantas untuk digolongkan dalam perbuatan kejahatan. Mengutak-atik titik atau koma saja sudah berbeda maknanya. Apalagi mengubah kata. Terlebih ini dilakukan pasca pengesahan pada rapat Paripurna 5 Oktober 2020.
Bayangkan misalnya, jika anda dan saya sudah menyepakati sebuah perjanjian jual beli, lalu dengan seenak jidat saya mengubah perjanjian tanpa sepengetahuan anda. Apakah anda akan diam?
Maka tentu saja anda sepakat bahwa ini merupakan perbuatan yang sangat fatal.
Namun tentu bukan DPR namanya jika tidak membuat 'kegaduhan' dalam menyelundupkan pasal ilegal. Temuan BBC dalam laporannya bertajuk #BBCIndonesiaMembahas menjelaskan dengan sederhana betapa terpampang jelas rekam jejak DPR dalam menyelundupkan pasal, di antaranya penyelundupan pasal kretek dalam draf RUU Kebudayaan tahun 2015, penambahan pasal dalam UU Penyelenggaraan Pemilu tahun 2007 dan terakhir perubahan ketentuan dalam pasal yang mengatur usia pimpinan KPK pada tahun 2019.
Maka, apa perlu anda para white-collar (re: pekerja-kantoran-yang-tidak-mau-disebut-buruh) akan menggantungkan nasib kepada produk hukum karya mereka dan memilih bungkam pada keadaan?
Silahkan pilih jalan anda. Semoga tulisan saya kali ini bermanfaat.