Mohon tunggu...
Muh Luthfi
Muh Luthfi Mohon Tunggu... Penulis - Yakin usaha sampai

Hidup mulia atau mati syahid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tasawuf Masyarakat Kampung Mencegah Covid-19

27 April 2020   16:48 Diperbarui: 27 April 2020   16:48 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Muh. Luthfi

Covid-19 (Corona virus desease 19) merupakan virus import berasal dari Wuhan China, artinya virus tersebut bukanlah berasal dari Indonesia sendiri melainkan sebuah virus yang sangat kecil yang membuat pemerintah Indonesia terkecoh dalam mencegah masuknya virus tersebut. Virus tersebut masuk secara diam-diam dan kemudian tersebar melalui Human to Human dan menyebar di beberapa wilayah yang ada di indonesia.


Melihat persebaran kasus virus Covid-19 hingga saat ini dalam pengamatan di berbagai media nasional angka kasusnya semakin meningkat meskipun pemerintah sudah melakukan berbagai langkah dan tahapan pencegahan.


Pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia selama ini dinilai masih bertahap, di mulai dari himbauan menjaga kebersihan, stay at home, penyemprotan disinfektan, semi lockdownd dan saat ini pencegahannya melalui PSBB () dengan harapan dapat memutus mata rantai Covid-19.


Dari berbagai tahapan pencegahan Covid-19, tahapan tersebut sudah banyak di lakukan oleh pemerintah baik ditingkat pusat maupun di daerah terkecuali PSBB. Karena PSBB selama ini masih dilakukan di wilayah yang paling banyak terkena kasus Covid-19 seperti di Jakarta.


Melihat sebaran virus Covid-19 yang tersebar di bagian wilayah Indonesia dan berbagai langkah pencegahanya, ternyata ada yang cukup membuat penulis takjub terhadap langkah-langkah masyarakat Indonesia dalam mencegah Covid-19. Hal itu penulis temui di wilayah masyarakat perkampungan.


Masyarakat perkampungan di Indonesia bisa dikatakan sebagai masyarakat yang jauh dari keramaian, masyarakat yang taraf ekonominya masih dibawah rata-rata, masyarakat yang memenuhi kebutuhannya masih tergantung terhadap hasil perkebunan atau hasil pertanian, masyarakat yang gaya hidupnya masih penuh dengan kesederhanaan. Itulah kiranya bagian dari gambaran masyarakat perkampungan.


Walaupun Masyarakat perkampungan bisa dikatakan sebagai masyarakat yang jauh dari keramaian kota, Informasi mengenai Covid-19 dan berbagai persebarannya serta berbagai bentuk pencegahannya masyarakat sudah banyak mengetahaui. hal itu karena cepatnya arus informasi dan komunikasi serta berbagai himbauan yang dilakukan oleh pemerintah desa yang sekarang bisa dikatakan blusukan turun kemasyarakat untuk melakukan proses pencegahan Covid-19.


Pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah di daerah maupun hingga ke tingkat desa memang sudah banyak digalakkan namun ada beberapa langkah  yang memang masyarakat perkampungan berbeda dengan pemerintah dalam mencegah dan melawan virus Covid-19 dalam artian mesekipun langkah yang diambil oleh masyarakat berbeda dengan pemerintah namun hal itu bukanlah bentuk dari sebuah perlawanan dan tidak menghiraukan himbauan pemerintah, Dan langkah tersebut bukan serta Merta tidak ada ladansanya melainkan landasan yang diambil oleh masyarakat sangat mendasar dan mengakar dalam jiwa masyarakat.


Landasan tersebut diantaranya adalah aspek teologis, aspek budaya gotong royong, aspek Islam kultural.

1. Aspekteologis

Ketika dilihat secara teologis, masyarakat perkampungan masih bisa dikatakan sebagai masyarakat yang masih tetap teguh dalam menjalankan, mengajarkan, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam, ajaran Islam sangatlah kental dan menjadi landasan dalam setiap aktivitasnya yang dilakukan oleh masyarakat perkampungan. Sehingga dalam mengambil segala bentuk kebijakan atau keputusan dalam kehidupan penuh dengan nilai-nilai keislaman termasuk dalam menangani dan mencegah virus Covid-19.

Sebagai mana telah dikemukakan diatas antara sikap pemerintah dan sikap masyarakat perkampungan dalam menyikapi virus Corona berbeda namun tidak berlawanan. 

Hal itu karena secara teologis Masyarakat perkampungan memliki keyakinan bahwa segalanya harus menggantungkan diri kepada sang maha kuasa, masyarakat meyakini bahwa jiwa raga hanya milik Allah, hidup dan mati memang sudah ditentukan oleh sang maha pencipta,  masyarakat rela gugur dalam perjuangan mendekatkan diri kepada Allah dibanding harus menyerah terhadap makhluknya yang menghambat pendekatan diri antara hamba dan Tuhannya, masyarakat meyakini bahwa hadirnya Covid-19 merupakan bagian dari mahluk Allah SWT yang diturunkan sebagai cobaan atau ujian atau sebagai peringatan kepada hambanya agar senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Keyakinan yang seperti itu membuat masyarakat sabar, ikhlas dan tenang dalam menghadapi COVID-19.

Kesabaran, keikhlasan, ketenangan (tidak panik) adalah perisai pertama dalam mendorong semangat ikhtiar menghadapi problematika kehidupan termasuk menghadapi wabah atau penyakit sebagaimana Ibnu Sina mengatakan bahwa kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan. Dan hal itu juga merupakan bagian dari himbauan tim kesehatan agar tetap selalu tenang dalam menghadapi semua ini.

Sebenarnya yang menjadi letak permasalahan bagi masyarakat perkampungan bukan hanya masalah COVID-19 melainkan juga himbauan pemerintah yang membatasi ruang gerak masyarakat dalam beribadah di masjid atau di tempat peribadatan yang lain, di himbau untuk tidak berjabat tangan (bersalaman), dihimbau untuk tidak berkumpul yang bisa membuat keramaian dan lain sebagainya.

Sedangkan Himbauan pembatasan ruang gerak ibadah ditempat peribadatan, masyarakat meyakini bahwa ini adalah proses dimana bisa mengikis sendi-sendi beragama karena ibadah ditempat peribadatan adalah upaya mendekatkan diri kepada sang pencipta, upaya memantapkan keimanan, upaya mendapatkan ketenangan karena ditempat ibadahlah segala urusan tak terpikirkan terkecuali hanya bertafakur kepada sang pencipta langit dan bumi.

Himbauan untuk tidak berjabat tangan (bersalaman), justru masyarakat berfikir Underdogs karena masyarakat berkeyakinan bahwa berjabat tangan (bersalaman) adalah bagian dari doa keselamatan, doa kesehatan sesama saudara seiman. Himbauan tidak berkumpul di keramaian atau mebuat keramaian masyarakat meyakini bahwa berkumpul itu adalah bagian dari silaturrahmi dengan saudara, dengan tetangga, dengan sahabat-sahabat dalam rangka mempererat tali silaturahmi, mempererat tali persaudaraan.

2. Aspek budaya

Dilihat secara aspek budaya, terlihat bahwa wajah Indonesia yang sesungguhnya yang masih tersisa sampai sekarang masih berada di masyarakat perkampungan, Hal itu bisa dilihat dari budaya gotong royong dalam berkehidupan kebangsaan. artinya adalah bahwa budaya asli Indonesia sejak dari dulu memang budaya gotong royong yang sekarang masih hidup ditengah-tengah masyarakat perkampungan, sebaliknya budaya individualistik juga mulai menyebar di kalangan masyarakat. 

Padahal Budaya individualistik membuat individu dengan individu yang lain terpisah, tetangga yang satu dengan yang lainnya saling tidak mengenal satu sama lain, dan budaya individualistik sebenarnya bukanlah budaya asli yang ada di Indonesia melainkan ia adalah budaya import dari luar.

Budaya gotong royong di masyarakat perkampungan hingga saat ini masih asri dan indah, keindahan tersebut bisa di lihat dalam berbagai aspek kehidupan yang hampir semuanya dilakukan dengan gotong royong dan saling bahu membahu dan saling tolong menolong antar masyarakat. 

Contoh sederhananya saja ketika masyarakat ada pekerjaan menggarap atau memanen perkebunan dan hasil pertanian, masyarakat yang satu dengan yang lainya saling bahu membahu dan bersama saling tolong menolong dalam pekerjaan tersebut karena sudah menjadi budaya, sudah menjadi kebiasaan di tengah-tengah masyarakat.

Melihat wajah asli Indonesia yang masih bertahan hingga kini, tentu ketika pemerintah menghimbau masyarakat agar menghindari keramaian, menghindari kerumunan. justru hal itu membuat berbagai problem baru di tengah masyarakat perkampungan, Karena pengolahan dan memanen hasil perkebunan memang cenderung di lakukan secara bersama-sama bergotong royong sesama masyarakat.

Ketika masyarakat perkampungan tidak melakukan gotong royong dalam berbagai aktivitasnya, maka masyarakat tidak bisa memaksimalkan pekerjaannya terkecuali harus membayar orang lain untuk menggarap pekerjaannya dan itu masih memerlukan tambahan finansial, sedangkan masyarakat secara finansial masih belum berkecukupan. Ketika hal ini bermasalah maka hasil pemenuhan kebutuhan pokok pun di masyarakat ikut bermasalah, ketika kebutuhan pokok di masyarakat bermasalah maka kebutuhan pokok di suatu negara pun juga ikut bermasalah.

3. Aspek Islam kultural

Dilihat dari aspek Islam kultural, sudah kita ketahui bersama bahwa masuknya Islam ke Indonesia bukan melalui jalur invasi melainkan memlalui jalur perdagangan dan jalur akulturasi budaya atau jalur asimilasi sehingga Islam mudah diterima oleh masyarakat indonesia.

Dari akulturasi budaya tersebut, Islam mampu menyesuaikan ajaranya dengan budaya lokal yang ada di Indonesia dalam artian bahwa islam tidak mengubah budaya Indonesia melainkan budaya Indonesia di internalisasi dengan nilai-nilai keislaman sehingga budaya tersebut memiliki roh atau nafas Islam.

Budaya-budaya tersebut sudah diketahui bersama oleh masyarakat Indonesia dan hal itu masih bertahan hingga saat ini, seperti tahlilan, pengajiyan Bersama, maulid Nabi Muhammad dan budaya-budaya lainya. Dari contoh budaya tersebut sudah nyata bahwa hal itu dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat perkampungan dan memang dilakukan lebih dari tiga orang dalam suatu acara budaya tersebut.

Ketika masyarakat dihimbau untuk tidak berkumpul atau menciptakan keramaian, maka sangat sulit untuk dilakukan karena budaya tersebut sudah mengakar di lingkungan masyarakat perkampungan. Masyarakat saling bergantian mengadakan acara-acara seperti diatas.

Ketiga aspek diatas adalah suatu kondisi yang memang menjadi pertimbangan oleh masyarakat perkampungan dalam menyikapi berbagai Himbauan dari pemerintah. Disadari ataupun tidak bahwa masyarakat dan pemerintah sama-sama memiliki cara masing-masing dan cara yang berbeda-beda namun memiliki tujuan yang sama yaitu untuk  mencegah COVID-19.

Maka dengan adanya tulisan ini sebenarnya bukan bermaksud memprovokasi antara kedua belah pihak melainkan agar kita sama-sama mengerti maksud dan tujuan antara masyarakat dan pemerintah  mengenai penanganan wabah COVID-19 ini yang telah menyerang di berbagai wilayah di Indonesia untuk saling mengerti satu sama lain agar wabah ini cepat purna dari ibu Pertiwi ini.

Sumenep, 04 Ramadhan 1441

*Penulis adalah Alumni ISPE (INDEF SCHOOL OF POLITICAL ECONOMY) Akt. 28

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun