Mohon tunggu...
Muhlis Lamuru
Muhlis Lamuru Mohon Tunggu... Guru - Penting tak Penting

Lahir di sebuah Dusun terpencil di Kab. Bone, Sulawesi-Selatan. Namanya, Dusun Masumpu, Des. Massengrengpu, Kec Lamuru. Dusun tersebut baru dialiri listrik PLN pada pertengahan tahun 1999. Muhlis Lamuru menghabiskan masa kecil di Kampung halaman dan bersekolah di MI 43 Pising (Masumpu) dan SLTP di Kecamatan sebelum hijrah ke Kota Makassar melanjutkan pendidikan menengah. Sejak 2004 hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan Tinggi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dan, tahun 2010 mencoba mengadu nasib n memulai hidup baru di Ibu Kota Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Imagining Covid-19

25 Juli 2021   12:38 Diperbarui: 25 Juli 2021   13:03 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Saya lupa tepatnya. Mungkin sekitar Juni 2020 lalu. Saya cuma ingat Juli 2020 saya mudik dan melaksanakan sholat idul adha di Kampung, Masumpu, Bone, Sulawesi Selatan. Meski saat itu dunia dilanda pandemic covid-19, suasana lebaran idul adha di kampong berjalan seperti biasanya. Mungkin karena mobilitas keluar masuk warga tidak begitu tinggi, potensi penularan pun jadi relatif rendah dan warga beraktivitas seperti biasa.

Keesokan harinya juga demikian, kalau tidak salah sebanyak tujuh ekor sapi atau hewan qurban disembelih dan dagingnya dibagikan ke seluruh warga di kampung. Luar biasa, semangat berqurban warga di kampung semakin tinggi. Tujuh sapi qurban adalah record dari tahun-tahun sebelumnya. Karena jumlah nya cukup banyak, sebagian daging qurban tersebut dibagi ke desa dan kampung sebelah.

Ahhhhh, sudahlah. Ini bukan cerita mudik, bukan juga cerita hewan qurban. Sebetulnya, ini cerita sebelum musim mudik idul adha 2020. Lagi-lagi saya lupa waktu tepatnya. Namun, saya masih mengingat benar alasan saya mudik idul adha tahun 2020 itu. 

Pertama, saya sudah lama tidak melaksanakan sholat idul adha di kampung. 

Kedua, saya tidak mudik idul fitri sebelumnya akibat adanya pembatasan gerakan aktivitas sosial masyarakat sebagai upaya pemerintah untuk menekan penyebaran covid-19 yang saat itu juga sudah melanda Indonesia. 

Jadi mudik itu adha 2020 itu adalah akumulasi dari musim mudik idul adha sekaligus sebagai pengganti rencana mudik idul fitri 2020 yang tertuda.

Waduuhhh, bahasannya masih saja tentang mudik. Sekali lagi, ini sebetulnya bukan urusan mudik. Ini menceritakan saat saya membayangkan skenarion terpapar covid-19 tahun lalu. Ingat, membayangin terpapar covid-19, bukan positif covid-19. Singkatnya, sebelum saya mudik lebaran idul adha 2020 itu saya sempat sakit. Sakitnya bukan karena terpapar covid-19. 

Saya meyakini betul bahwa meskipun wabah covid-19 sudah semakin meluas di Indonesia tetapi saya sakit bukan karena covid-19. Sederhana saja, saya tidak terkonfirmasi positif. Saya tahu karena memang waktu itu saya tidak memeriksakan diri ke dokter. Saat itu saya tidak melakukan test antigen, rapid test, atau test PCR. 

Pada hal, hasil test itulah yang menjadi rujukan satu-satunya untuk memastikan seseorang terkena covid-19 atau positif. Clear, saya tidak terkena covid 19, setidaknya tidak terkonfirmasi.

Meski tidak terkonfirmasi tetapi ada cerita unik yang menyertainya. Lagi-lagi saya lupa kapan persisnya tetapi saya mencoba kembali mengingat memori itu. 

Seingat saya, saya mengalami gejala seperti batuk dan sedikit demam. Lemas seluruh badan juga sempat terasa. Saya mengalami beberapa hari, 2-3 hari. Saat itu saya memutuskan untuk tetap tinggal di rumah. Saya tidak pernah keluar. Saya tentu saja berusaha menghindari kontak dengan orang lain, termasuk tetangga. 

Saya pun tidak ke kantor. Bahasa lainnya, saya melakukan isolasi mandiri dan menerapkan konsep work from home. Belakangan saya lebih sering menggunakan istilah Kurungan Mandiri (Kuman) dibanding Isolasi Mandiri (Isoman). 

Rasanya lebih tepat, saya mengurung diri di rumah dibanding mengisolasi diri. Namun, istilah kurungan mandiri ini hanya untuk menjelaskan kondisi saya saat itu, bukan ke orang lain. Hehehehheh

Untungnya, tempat kerja saya memberlakukan absen online. Jadi saya bisa mengisi absen meski tetap di rumah. Pekerjaan saya sehari-hari pun bisa dilakukan secara online.  Komunikasi dengan kolega termediasi melalui aplikasi WhatsApp. 

Urusan dengan mahasiswa terwadahi oleh banyak media, WhasApp, Zoom Meeting, Classroom, dan Spada. Informasi dari dunia luar pun dengan mudah diperoleh. 

Berapa jumlah kasus positif covid-19 terbaru, jumlah pasien sembuh, atau jumlah yang tidak tertolong bisa diketahui melalui smart phone. Saat itu saya juga masih mengaktifkan TV langganan yang memungkinkan saya mengakses berita-berita internasional seperti CNN, BBC, Aljazera, Blomberg, dan lain-lain. Singkatnya, semua berjalan dengan normal walau semua harus dilakukan berkat bantuan teknologi.

Saat berada di rumah, satu hal yang juga krusial adalah urusan logistik. Logistik tetap harus tersedia, makan dan minum harus tetap rutin tanpa kompromi. 

Tanpa itu semua, kehidupan akan terhenti. Untuk urusan makanan, saya memanfaatkan aplikasi online Go food. Saya memesan dan membayar makanan secara online. Saat makanan sudah datang, saya meminta pesanan saya diletakkan di luar atau di teras saja. Saya membayarnya melalui Go Pay. 

Setelah si Go food meninggalkan pesanan saya, saya baru keluar dan mengambil makanan saya. Cara ini cukup membantu dan perlu dilakukan untuk membatasi kontak langsung dengan orang luar. Sebab, meski saya jelas tidak terkonfirmasi positif covid-19 tetapi gejala itu ada dan saya harus bertanggung jawab untuk turut menekan penyebarannya dengan membatasi kontak langsung dengan orang lain.

Terlepas dari keadaan saya yang sempat sakit meskipun tidak terkonfirmasi positif, saya sempat merasakan gejala yang umum dirasakan penderita covid-19. Saya merasakan batuk, demam, dan lemas dan semua ini menjadi momok di masa pandemic. Selama 2-3 hari itu saya merasakannya dan bertahan tidak memeriksakan diri ke dokter. Penyebabnya tak lain adalah vonis positif covid-19. 

Saya enggan menerima vonis itu. Masih banyak permasalahan yang membuat saya enggan menerimanya, sebut saja kekhawatiran salah diagnosa. Istilah lainnya, dicovidkan. Kala itu, cerita pasien dicovidkan sangat tinggi yang meski sebetulnya nilai kebenarannya masih perlu diverifikasi. Belum lagi stigma masyarakat terhadap pasien covid-19 juga masih sangat kuat. 

Stigma ini juga jadi masalah besar dan hingga kini masih belum selesai. Stigma buruk perlu ditangani untuk mempercepat penanganan covid-19 ini. Belum lagi alasan-alasan lainnya yang cukup panjang untuk diceritakan.

Peristiwa ini sudah cukup lama, jadi saya tidak bisa mengingatnya secara persis tetapi saat memasuki hari ketiga, pemikiran nyeleneh muncul di kepala saya. Saat itu saya mulai berpikir untuk mengakhiri bertahan tidak memeriksakan diri ke dokter. Terlintas di pikiran saya untuk menunggu sehari lagi. Tak kala hari keempat kondisi kesehatan belum membaik, saya mau ke rumah sakit dan memeriksakan diri. Saya pun sempat menyusun scenario meski baru sebatas dalam pikiran. Saat itu, saya memikirkan dua alternatif. Pertama, sekiranya, sakit biasa, berarti saya hanya ke rumah sakit dan memeriksakan diri kepada dokter. Lalu, saya meminta resep obat. Setalah itu, saya kembali ke rumah.

Scenario kedua, benar terpapar covid-19. Dalam pikiran saya, sekiranya skenario ini yang terjadi, saat memeriksakan diri, saya otomatis harus tinggal atau isolasi di rumah sakit. Saya membayangkan datang seorang diri ke rumah sakit dan tidak membawa bekal apa dan harus diisolasi selama 14 hari di rumah sakit. Tidak punya pilihan lain. 

Dalam banyangan nyeleh itu saya akan menghubungi kolega. Saya akan menginformasikan kondisi terakhir yang harus diisolasi sekaligus meminta tolong untuk dibelikan berbagai keperluan pribadi dan dikirimkan ke rumah sakit melalu aplikasi Go Send. Saya sudah menceritakan scenario bayangan ini ke kolega saya. Dia pun sempat menilai pikiran saya nyeleneh namun siap melakukannya jika itu benar-benar terjadi.

Untungnya, cerita tahun lalu ini hanyalah sebatas scenario dalam banyangan dan tidak terwujud. Memasuki hari ke empat, kondisi kesehatan saya sudah mulai membaik. Gejala yang menghawatirkan itu sudah mulai menghilang. Itu artinya, saat itu saya tidak perlu ke rumah sakit untuk memeriksakan diri. Dan, sampai terakhir meski sempat mengalami gejala yang umum terjadi pada pasien covid-19 tetapi saat itu saya tetap tidak terkonfirmasi terinfeksi virus yang bermula muncul di Wuhan, China itu.

Mataram, 21 Juli 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun