Saya pun tidak ke kantor. Bahasa lainnya, saya melakukan isolasi mandiri dan menerapkan konsep work from home. Belakangan saya lebih sering menggunakan istilah Kurungan Mandiri (Kuman) dibanding Isolasi Mandiri (Isoman).Â
Rasanya lebih tepat, saya mengurung diri di rumah dibanding mengisolasi diri. Namun, istilah kurungan mandiri ini hanya untuk menjelaskan kondisi saya saat itu, bukan ke orang lain. Hehehehheh
Untungnya, tempat kerja saya memberlakukan absen online. Jadi saya bisa mengisi absen meski tetap di rumah. Pekerjaan saya sehari-hari pun bisa dilakukan secara online. Â Komunikasi dengan kolega termediasi melalui aplikasi WhatsApp.Â
Urusan dengan mahasiswa terwadahi oleh banyak media, WhasApp, Zoom Meeting, Classroom, dan Spada. Informasi dari dunia luar pun dengan mudah diperoleh.Â
Berapa jumlah kasus positif covid-19 terbaru, jumlah pasien sembuh, atau jumlah yang tidak tertolong bisa diketahui melalui smart phone. Saat itu saya juga masih mengaktifkan TV langganan yang memungkinkan saya mengakses berita-berita internasional seperti CNN, BBC, Aljazera, Blomberg, dan lain-lain. Singkatnya, semua berjalan dengan normal walau semua harus dilakukan berkat bantuan teknologi.
Saat berada di rumah, satu hal yang juga krusial adalah urusan logistik. Logistik tetap harus tersedia, makan dan minum harus tetap rutin tanpa kompromi.Â
Tanpa itu semua, kehidupan akan terhenti. Untuk urusan makanan, saya memanfaatkan aplikasi online Go food. Saya memesan dan membayar makanan secara online. Saat makanan sudah datang, saya meminta pesanan saya diletakkan di luar atau di teras saja. Saya membayarnya melalui Go Pay.Â
Setelah si Go food meninggalkan pesanan saya, saya baru keluar dan mengambil makanan saya. Cara ini cukup membantu dan perlu dilakukan untuk membatasi kontak langsung dengan orang luar. Sebab, meski saya jelas tidak terkonfirmasi positif covid-19 tetapi gejala itu ada dan saya harus bertanggung jawab untuk turut menekan penyebarannya dengan membatasi kontak langsung dengan orang lain.
Terlepas dari keadaan saya yang sempat sakit meskipun tidak terkonfirmasi positif, saya sempat merasakan gejala yang umum dirasakan penderita covid-19. Saya merasakan batuk, demam, dan lemas dan semua ini menjadi momok di masa pandemic. Selama 2-3 hari itu saya merasakannya dan bertahan tidak memeriksakan diri ke dokter. Penyebabnya tak lain adalah vonis positif covid-19.Â
Saya enggan menerima vonis itu. Masih banyak permasalahan yang membuat saya enggan menerimanya, sebut saja kekhawatiran salah diagnosa. Istilah lainnya, dicovidkan. Kala itu, cerita pasien dicovidkan sangat tinggi yang meski sebetulnya nilai kebenarannya masih perlu diverifikasi. Belum lagi stigma masyarakat terhadap pasien covid-19 juga masih sangat kuat.Â
Stigma ini juga jadi masalah besar dan hingga kini masih belum selesai. Stigma buruk perlu ditangani untuk mempercepat penanganan covid-19 ini. Belum lagi alasan-alasan lainnya yang cukup panjang untuk diceritakan.