Dalam perjalanan pulang dari Jember, teman saya, Gus Oyik, demikian ia biasa dipanggil, bercerita tentang pengalamannya. Kira-kira begini:
Pada suatu kesempatan ia diajak temannya yang lagi kemaruk (Bhs. Jawa) naik sepeda motor. Maklum. Di usianya yang sudah kepala empat lebih, temannya itu baru bisa mengendarai sepeda motor.
Sebenarnya ini bukan fenomena yang aneh. Terlebih, kalau kita mau cermat sedikit.
Di sekitaran kampus di Malang Raya, kita juga sering menyaksikan beberapa orang "asing" yang sedang berkendara sepeda motor. Dari caranya mengendarai, bisa dipastikan mereka baru bisa. Nampak  kaku dalam berkendara dan kadang-kadang cenderung ceroboh.
Mahasiswa asing itu mungkin memanfaatkan aji mumpung. Mumpun di Indonesia. Di negara kita mendapatkan sepeda motor mudah. Apalagi seperti di Malang.
Untuk menunjang mobilitas, sangat memerlukan sepeda motor. Malam tidak ada angkutan umum seperti mikrolet. Apalagi kalau tempat kosnya jauh dari pusat kota. Sepeda motor sangat diperlukan sebagai penunjang mobilitas. Akhirnya, mereka bersepeda motor. Meskipun, saat ini sudah terbantu mode angkutan umum berbasis aplikasi semacam Go-Jek, Grab, atau sejenisnya. Tapi, bagi mereka "punya sendiri" sepeda motor lebih menjanjikan apakah itu dari hasil sewa ataupun beli. Setidaknya, lebih murah dan fleksibel.
Kembali ke cerita kawan temannya Gus Oyik yang kemaruk bersepeda motor.
"Gus, ayo ikut saya".
"Kemana?" Kata Gus Oyik menimpali ajakan kawannya.
"Udah deh, ikut saja"
Karena teman akrab, Gus Oyik mengiyakan saja ajakan itu.
Mulailah mereka berkendara. Keliling kota. Pakai sepeda motor bebek yang baru dibelinya.
Hingga pada akhirnya sampailah mereka di jembatan layang. Ada rambu sepeda motor dan truk di larang  melalui jembatan layang. Tapi, kawan Gus Oyik terus saja melaju.
Nampak ia begitu menikmati berkendara. Gus Oyik yang diboceng pun kaget ketika tahu sepeda motor yang ditumpanginya masuk ke jalur yang tidak boleh bersepada motor. Apalagi, ....priit....di depan ada razia.
Polisi pun menghentikan sepada motor. Teman saya itu pun diminta menunjukkan kelengkapan surat. Terjadilah dialog antara polisi dan temannya Gus Oyik.
"Bapak tahu, apa pelanggaran yang telah bapak lakukan?" Tanya Si Polisi setelah sebelumnya memberikan hormat dan salam.
"Tidak tahu Pak!" Jawab teman saya.
"Bapak melanggar rambu lalu lintas. Jalur ini sepeda motor tidak boleh melintas. Jembatan ini khusus untuk kendaraan roda empat" Demikian Si Polisi menjelaskan.
"Mana yang saya langgar Pak?! Tidak ada! Bapak lihat rambu itu! Di gambar itu sepeda yang tidak boleh melintas kan yang ada tengkinya? Lha ini sepeda bebek Pak. Tidak ada tangkinya. Makanya, saya melintas di jalur ini!" jawab teman Gus Oyik dengan logat luar Jawanya yang kental.
Mendengar itu, Gus Oyik pun menahan ketawa. Tak disangka kawannya itu menjawab seperti itu.
"Saya waktu itu sudah membayangkan kawan saya itu akan berdebat dan menyangkal dengan menunjukkan bahwa ia seorang 'angkatan'!". Cerita Gus Oyik dengan gayanya yang khas.
Singkat cerita, mereka pun akhirnya dilepaskan. Tidak kena tilang. Dalam perjalanan pulang itulah Gus Oyik Bertanya:
 "Pren, ente tadi membantah polisi seperti itu memang sengaja atau gimana?"
"Ya memang bener kan, kenyataannya begitu. Yang tidak boleh masuk itu kan sepeda motor yang ada tangkinya seperti dalam gambar! Lah, sepeda saya, sepeda bebek!".
Gus Oyik pun kembali meledak tawanya sembari wirid Malangannya Keluar.
***
Kisah di atas meskipun bagi beberapa orang mungkin lucu, konyol, dan anekdotal. Namun, ada pelajaran menarik yang dapat kita petik.
Yaitu, bagaimana perspektif merupakan hal penting dalam kehidupan sosial. Apa sih perspektif? Perspektif bisa dikatakan sebagai vantage point, titik pijak.
Untuk mempermudah, kiranya bisa diilustrasikan begini: Kalau kita naik kereta api dari Malang ke Surabaya, misalnya, Â dan kebetulan kita berada di jendela sebelah kanan, maka kita akan dapat menyaksikan pemandangan yang lebih "hijau" dan menarik karena di sebelah kanan terdapat pemandangan hamparan sawah, dan juga perbukitan.Â
Berbeda kalau kita duduk di sebelah kiri, sebagian besar pemandangan yang kita dapatkan adalah jalanan beraspal. Jalan Malang-Surabaya. Posisi di mana kita berapa dan oleh karenanya pemandangan yang kita dapat menjadi berbeda inilah yang disebut perspektif. Posisi seseorang akan mempengaruhi apa yang dilihatnya.
Demikian juga, tatkala kita naik pesawat terbang. Antara orang yang duduk di jendela bagian kiri dan jendela bagian kanan tentu akan mengalami pemandangan yang berbeda. Apa yang dilihatnya berbeda. Dan, karenya pengetahuan yang didapatnya juga berbeda. Demikianlah, perspektif akan berpengaruh dalam produksi pengetahuan seseorang atau sekelompok orang. Â
Demikian pula dalam konteks cerita di atas. Apa yang menjadi titik pijak antara Si Polisi dan Si Teman Gus Oyik itu berbeda. Si Polisi memahami simbol "sepeda motor dilarang masuk" dalam pemahaman yang bersifat umum. Meskipun, dalam gambar itu jelas-jelas gambar sepeda motor bertanki bahan bakar. Biasa disebut "sepeda lanang". Berbeda dengan sepeda bebek yang tidak kelihatan tanki bahan bakarnya.
Dalam bahasa pesantren kita sering mendengar istilah "dzikrul juz biiradatil kull", menyebut sebagian tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan. Meskipun, yang disimbolkan dalam rambu-rambu itu salah satu jenis sepeda motor, yang dimaksud adalah semua sepada motor. Semua jenis sepada motor dilarang. Menyebut salah satu jenis sepeda motor, tetapi yang dimaksud adalah semua jenis sepeda motor. Â
Dalam kehidupan sehari-hari hal semacam ini juga sering dilakukan. Dalam dialog keseharian kita tidak jarang sering mendengat kawan kita berkata:  "Sudah lama nian saya tidak ketemu batang hidungmu". Makna ungkapan ini tentu yang dimaksud bukan "batang hidungnya" saja, tetapi tentu yang dimaksud adalah  seseorang  secara keseluruhan. Dzikrul juz biiradatil kull. Menyebut sebagian, tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan. Â
Adapun  perspektif Si Teman Gus Oyik itu berbeda. Ia memahami gambar itu dalam makna khusus, spesifik. Makna tekstualnya. Kalau dalam gambar rambu-rambu itu adalah gambar sepeda motor yang bertanki atau sepeda lanang, maka yang dilarang melintas adalah sepeda jenis itu saja. Sementara, jenis sepeda motor yang lain tidak di larang.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mana yang benar? Perspektifnya Si Polisi itu atau perspektifnya Si Pengendara Sepeda Motor Bebek? Bagaimana menurut Anda?
Gasek, Sabtu-28 Juli 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI