Mohon tunggu...
Muhibbuddin Abdulmuid Yassin Marthabi
Muhibbuddin Abdulmuid Yassin Marthabi Mohon Tunggu... lainnya -

Saya manusia biasa yang makan dan minum...bisa lapar dan haus..yang bisa senyum dan sakit...bisa gembira dan luka hati...bisa tertawa dan meneteskan air mata...seperti teman-teman semua...saya manusia...\r\nTapi hamba ini berdo'a..jika hamba mati..darah hamba mengalir di bumi dan menulis kalimat الله\r\n\r\nwww.suaramuhibbuddin.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Muhammadiyah dan Upaya Pemurnian Sumber Hukum Islam

16 Mei 2012   09:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:13 1963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Muhammadiyah (Photo credit: Wikipedia)

Semenjak berdiri pada tahun 1912, Muhammadiyah berdiri kokoh berperan dalam upaya memurnikan sumber hukum Islam. Melalui upaya tersebut, diharapkan umat Islam bisa memilah dan memilih sumber-sumber hukum Islam yang memiliki tingkat “kebenaran” tertinggi sebagai rujukan dalam mengamalkan syariat Islam. Bersamaan dengan upaya tersebut, Muhammadiyah juga berupaya untuk memilah dan merekonstruksi bagian dari perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad yang termasuk dalam kategori adat istiadat saja dan yang termasuk dalam kategori Sunnah Nabi.

Sebagaimana kita mengetahui, bahwa selama berabad-abad umat Islam sudah terperosok dalam taklid buta terhadap “fatwa” yang “katanya” berasal dari Nabi Muhammad SAW. Pada awal berdirinya Muhammadiyah dan mungkin bersambung hingga kini, masih banyak ulama yang menggunakan hadits-hadits dengan derajat kepercayaan “lemah/dhaif” sebagai dasar hukum pengamalan beberapa syariat Islam.

Kita juga tentu masih ingat ayat-ayat setan karya Salman Rusdi, kemudian karya-karya “ulama” lain yang “sungguh memprihatinkan” ketika mereka menggambarkan tentang pribadi dan kehidupan Nabi Muhammad SAW, para sahabat dan umat Islam. Banyak di antara mereka yang menggunakan sumber-sumber yang belum divalidasi keshahihannya, sumber hukum berderajat “dhaif”, “palsu” dan “tidak dapat dipercaya”, sehingga memunculkan informasi yang bisa menyesatkan umat.

Akan tetapi, harus diakui bahwa terjadinya peristiwa itu bukan kesalahan murni dari mereka sebab ternyata dari kalangan ulama Islam sendiri masih banyak yang menggunakan sumber-sumber hukum yang berderajat “lemah”, “palsu” dan “tidak dapat dipercaya” sebagai sumber pengamalan ajaran Islam. Sehingga tidak heran, penulis sekelas Salman Rusdi juga bisa menggunakan sumber hukum berderajat “dhaif”, “palsu” dan “tidak dapat dipercaya” itu untuk mengacaukan umat Islam sendiri.

Dalam upaya memurnikan sumber hukum ajaran Islam, dalam hal ini hadits Rasulullah, agar tidak bercampur dengan “hadits-hadits” berderajat “dhaif”, “palsu” dan “tidak dapat dipercaya”, maka melalui berbagai kajian dan telaah komprehensif, Majlis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah bekerja keras memilah hadits-hadits yang masuk dalam derajat tertentu.

Selama lebih dari 15 abad berlalu, tentu banyak bermunculan ribuan hadits, bahkan mungkin mencecah jutaan hadits, yang seakan-akan dapat dipercaya dan dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam Islam. Dari ribuan atau jutaan hadits itu, tentulah secara logika akan sulit untuk memetakan derajat hadits dan perawinya. Akan tetapi, secara logika pula dapat difahami bahwa ribuan, jutaan bahkan milyaran hadits dapat ditelusuri derajat hadits-hadits tersebut, sekali lagi seberapapun banyaknya hadits, melalui ilmu yang dinamakan ilmu hadits.

Dilihat dari tingkatannya, hadits shahih terbagi dalam beberapa derajat, yaitu:

  1. Bila diriwayatkan dengan sanad-sanad dari “ashahhul asanid” (sanad paling shahih) seperti Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar.

  2. Bila disepakati oleh Bukhari dan Muslim (muttafaq’alaih).

  3. Bila diriwayatkan oleh Bukhari saja.

  4. Bila diriwayatkan oleh Muslim saja.

  5. Bila sesuai syarat keduanya meskipun tidak diriwayatkan oleh keduanya.

  6. Bila sesuai syarat Bukhari saja meskipun tidak diriwayatkan olehnya.

  7. Bila sesuai syarat Muslim saja meskipun tidak diriwayatkan olehnya.

  8. Apabila shahih menurut para ulama selain Bukhari dan Muslim (seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban), dan tidak sesuai syarat keduanya.

Selain tingkatan hadits, perawi hadits juga memiliki tingkatan tertentu, yaitu :

1. Perawi yang memiliki tingkatan ; Ats-Tsabt (yang teguh), Al-Hafizh (yang hafalannya kuat), Al-Wari’ (yang saleh), Al-Mutqin (yang teliti), An-Naqid (yang kritis terhadap hadits). Yang mendapat predikat demikian ini tidak lagi diperselisihkan, dan dijadikan pegangan atas Jahr dan Ta’dil-nya, dan pendapatnya tentang para perawi dapat dijadikan sebagai hujjah.

2. Perawi yang memiliki tingkatan ; bersifat Al-’Adl dalam dirinya, tsabt teguh dalam periwayatannya, shaduq jujur dan benar dalam penyampaiannya, wara’ dalam agamanya, hafizh dan mutqin pada haditsnya. Demikian itu adalah perawi yang ‘adil yang bisa dijadikan hujjah dengan haditsnya, dan dipercaya pribadinya.

3. Perawi yang memiliki tingkatan ; shaduq, wara’, shaleh dan bertaqwa, tsabt namun terkadang salah periwayatannya. Para ulama yang peneliti hadits masih menerimanya dan dapat dijadikan sebagai hujjah haditsnya.

4. Perawi yang memiliki tingkatan ; shaduq, wara’, bertaqwa namun seringkali lalai, ragu, salah, dan lupa. Yang demikian ini boleh ditulis haditsnya bila terkait dengan targhib (motivasi) dan tarhib (ancaman), kezuhudan, dan adab, sedangkan dalam masalah halal dan haram tidak boleh berhujjah dengan haditsnya.

5. Perawi yang memiliki tingkatan nampak sebagai pembohong maka haditsnya ditinggalkan dan riwayatnya dibuang. (Muqadimah Al-Jarh wa At-Ta’dil:1/10)

Dengan mendalami ilmu hadits, sebenarnya kita juga mempelajari bagaimana metodologi untuk mengukur “tingkat kepercayaan” sumber-sumber informasi tentang sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW.

Kalau kita baca di internet dan mungkin buku-buku yang bertebaran di tengah masyarakat, di dalam negeri dan mungkin di luar negeri, kita akan mendapatkan cerita dan sejarah tentang Nabi Muhammad SAW dengan mendasarkan pada sumber-sumber informasi yang dalam ilmu hadits disebut palsu, dhaif dan “tidak terpercaya”.

Agar tidak simpang siur memberikan contoh, maka penulis (tanpa bermaksud memburuk-burukkan Nabi Muhammad SAW) “terpaksa” mengutip beberapa informasi sebagai berikut :

Dalam suatu pemaparan di halaman blog, http://kesalahanquran.wordpress.com/kebenaran-muhammad/ diperoleh satu komentar yang tertulis sebagai berikut :

“Jika Muhammad SAW orang baik, kenapa dia: 1. Membunuh 900 pria Qurayzah yang belum tumbuh bulu kemaluannya kemudian menjarah harta benda mereka dan menjadikan wanita dan anak-anak mereka menjadi budak?

2. Memperkosa Rihanna bin Amro dan Safiyah bin Huyay setelah membunuh suami-suami wanita malang ini?

3. Menidurin Mariyah orang Koptik di ranjangnya Hafsa sehingga Hafsa naik pitam berat ame Momed SAW?

4. Ngembat Zainab bin Jash isterinya Zaid, wanita yang sangat cantik dan bahenol itu?”

Selain komentar di atas, banyak sekali berita di website, blog, dan youtube tentang “kekejaman, kejahatan dan perilaku bejat” Nabi Muhammad SAW yang digambarkan dengan berbagai media yang tersedia di internet.

Sebagai umat Islam, kita tentu tidak mudah terpedaya dalam komunitas yang tidak memahami bagaimana metodologi memperoleh sumber informasi yang dapat dipercaya.

Sumber :

http://rijalulhadits.blogspot.com/

http://lidwa.com/2011/definisi-ilmu-hadits/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun