Mohon tunggu...
Muhammad Arif Wibowo
Muhammad Arif Wibowo Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru, lulusan Universitas Negeri Yogyakarta

Mengajar di salah satu SMA Swasta Kab. Bekasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membaca Luka, Membaca Kegelisahan Rushdie Pada Mitologi

9 September 2015   13:29 Diperbarui: 9 September 2015   15:47 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Luka Dan Api Kehidupan: Terbitan Serambi"][/caption]

Judul: Luka dan Api Kehidupan

Penulis: Salman Rusdhie

Penerjemah:Yuliani Liputo

Penerbit: Serambi

Tebal:  300 halaman

Cetakan:  I, September 2011

Bagi saya, membaca Luka, tidak sama semenariknya dengan membaca Harun. Kalau saja ini bukan novel sekuel dari novel sebelumnya yang memikikat saya dan bukan Rushdie yang menuliskannya; kalau Harun-Luka bukan kakak-adik di dunia nyata dan hanya tokoh fiksi semata; dan kalau ini bukan dongeng yang ditulis Rushdie sebagai hadiah untuk mereka; barangkali ketertarikan saya akan cerita Luka akan sedikit berkurang. Barangkali!

Membaca bagian paling mula dari novel ini, bagi saya, sedikit amat membosankan. Entah karena terjemahannya yang berbeda orang atau memang susunan paragraf yang ditulis Rushdie seperti itu; saya merasa bagian di awal amat lambat membuat saya panas dan terangsang. Seolah saya ingin menyerah kalah dan pasrah begitu saja.

Tapi, karena ini adiknya Harun, dan saya merasa tidak etis kalau menelantarkan Luka, saya coba terus menghidupkannya di dalam kepala.

Bagian mula yang membosankan adalah bicara tentang kisah keseharian Luka di sekolah dan kisah tentang sirkus. Atau lebih spesifik: pada bab pertama. Meskipun memang bagian mula adalah bagian pengantar ke dalam rimba raya pemikiran dan kisah Rushdie, tapi saya tetap merasa itu membosankan dan tidak menarik. Sebelum akhirnya, saya mulai terpancing ketika Luka terantuk tangga dan ia bertemu Mr.Nobodaddy, dan kemudian masuk ke dunia dongeng berlatar video game.

Mengikuti kisah Luka di sini, entah mengapa saya jadi teringat game sega/nintendo yang saya mainkan saat SD, yakni Mario Bros. Sebuah game dua dimensi yang memunyai misi menyelamatkan putri di kandang naga dengan cara melewati level yang makin tinggi levelnya makin sulit melewatinya. Jagoannya adalah Mario dan Luigi yang kesehariannya bekerja sebagai ahli/tukang ledeng yang membenahi pipa/saluran air di kotanya. Mereka akan bertambah besar dan mempunyai kekuatan lebih dalam misi menyelamatkan putri kalau menemukan dan memakan jamur ajaib; atau akan bisa menembakkan bola-bola api kalau menemukan dan mengambil bunga emas puspawarna; atau juga akan kebal terhadap serangan musuh kalau menangkap dan menggunakan bintang yang tersembunyi di tiap levelnya dsb dsb..

Di kisah Luka yang berlatar video game ini, Mr. Nobodaddy seolah muncul sebagai Game Master (GM), ia memandu dan sesekali menyulitkan Luka; memberikan petunjuk, tapi juga merahasiakan sesuatu darinya. Ya, layaknya GM dalam game-game online sesunguhnya, ia memantau gamer dan sering memberikan “kejutan”.

Dalam menyelesaikan tiap level, Luka ditemani oleh Anjing si Beruang dan Beruang si Anjing. Dan selalu saja ada bantuan dari makhluk yang tak terduga setiap ia ingin melewati levelnya. Maka, seperti seolah kisah ini akan gagal, kehadiran makluk bantuan itu amat jadi kunci jalan keluar.

Mereka memunyai misi mencuri Api Kehidupan di dunia dongeng untuk menyelamatkan Rasyid yang sedang sakit. Ia harus mengumpulkan nyawa kalau tidak ingin permainan berakhir saat ia terkena serangan dan kehabisan nyawa. Di tiap level, ia bisa menyimpan kemajuan di tombol ‘simpan’; yang seperti check point, ia tak akan mengulangi dari awal, tapi dari terakhir ia menekan tombol ‘simpan’..

Di dalam cerita di level pertama, Luka harus beradu teka-teki dengan Pak Tua penjaga Sungai Silsila, yang sebelumnya harus melewati serangan Kumbang Api yang berbahaya. Beberapa lemparan teka-teki atas pertanyaan Harun dan Pak Tua seperti ini:

“Apa yang berputar-putar mengelilingi kayu tetapi tidak pernah masuk ke dalamnya?”

“Kulit pohon,” sahut Luka seketika, dan balas menembak. “Berdiri di atas satu kaki dengan hati di kepala.”

“Kubis,” sentak Pak Tua. “Apa yang tetap kau jaga setelah diberikan kepada orang lain?”

“Janji. Aku punya rumah kecil dan aku tinggal di dalammnya sendirian. Tidak ada pintu ataupun jendela, dan untuk keluar aku harus menembus dinding?”

Ya, seperti itulah, menarik dan menyenangkan. Tentu hal itu mengingatkan pembaca pada teka-teki atau tebak-tebakan masa kanak.

Di level selanjutnya ia bertemu dengan tikus-tikus, seperti sebuah kota tikus, di sana ia juga harus melewati itu. Kemudian harus melewati El Tiempo sebuah Pusaran Tak Terhindarkan; melewati hadangan Kapten Aag dengan ilusi sirkusnya dsb dsb...

Salman Rushdie, di novelnya ini, amat teknis bagi saya. Ia meminjam struktur game dan mengolahnya menjadi alur cerita. Tapi, tidak sesederhana itu. Ada kerja kreatif yang dibungkus intelektualitas dengan kerumitan tinggi, yang membutuhkan imaji dan riset yang tak sedikit

Dalam mengisahkan cerita Luka, dan ini bagian inteleknya—setidaknya menurut saya—yang menuntut ia melakukan riset yang tak sedikit; Rushdie tidak hanya memberikan deskripsi dan narasi yang kosong. Percakapan penuh perenungan sering terjadi antara Luka dan Mr. Nobodaddy dari awal sampai akhir: tentang hidup dan mati, awal dan akhir, juga tentang dulu-sekarang-nanti.

Selain itu, kegelisahannya akan mitologi dan legenda suatu negara yang akan hilang digerus modernitas kemajuan zaman begitu kentara di dalamnya. Dimana orang-orang tak lagi memperdulikan mitologi dan legenda itu. Makhluk-makhluk atau dewa-dewa dengan cerita penuh khayal yang dibentuk para nenek moyang adalah dongeng yang perlu dijaga. Meskipun kini, kita tahu, bahwa semacam itu adalah cara para nenek moyang membaca sesuatu yang kini kita sebutnya sebagai kejadian ilmiah. Maka, darimana dongeng itu bermula, kalau para nenek moyang tidak pernah mengkhayalkan sebelumnya? Lalu apa tugas kita? Merawatnya! Mungkin itu pertanyaan Rushdie pada pembacanya, setidaknya menurut saya.

Akan tetapi, kesan saya, kerja intelek Rushdie itu; dengan cara memasukkan nama-nama dari makhluk mitologi dan legenda di hampir seluruh dunia begitu terkesan dipaksakan. Pertama, nama-nama makhluk atau dewa begitu terlihat hanya tempelan, meskipun bukan tempelan. Sekilas terlihat tempelan! Meskipun pembaca akan tahu, itu kerja kreatif yang rumit. Tapi pengerjaannya kurang mendalam, menurut saya; setidaknya terlihat dari sisipan mitologi yang tipis dan kurang eksplorasi yang lebih. Tapi, mungkin ini juga pendapat yang dangkal.

Kedua, penempelan itu diberikan dengan penceritaan Rushdie yang sedikit kasar. Penyatuannya kurang lembut dengan kisah Luka yang berjalan. Kita akan melihat kerja penggabungan tokoh dengan karakter yang mirip dari nama dewa-dewa itu di suatu negara dengan negara lainnya. Ini ide menarik untuk mensejajarkan dewa negara x dengan negara y dengan karakteristiknya masing-masing. Tidak hanya mitologi dan legenda, juga ada dongeng yang sudah mendunia di sana.

Penggabungannya yang terdapat dalam cerita Luka seperti ini: Ketika tiba di suatu tempat dongeng, di suatu level yang entah keberapa, Luka menyaksikan sebuah pertarungan. Ada Dewi Kecantikan yang bertarung tentang siapa di antara mereka yang paling cantik. Ada Venus dari Romawi, Hathor dari Mesir, Aphrodite dari Yunani, Ishtar dari Babilonia, Freya dsb dsb.. mereka mencoba mendekati kaca ajaib yang menempel di dinding dan saling berkelahi untuk mengalahkan satu sama lain. Dan pemenangnya adalah Aphrodite yang berhasil mendekati dinding dan berkaca sambil berkata: “cermin-cermin di dinding, siapa wanita yang tercantik di negeri ini?” Ini kerja kreatif dan intelek yang fantastis, tapi hanya tempelan dan tidak lebih dari tiga halaman dari buku dengan total 300-an halaman itu.

Ada lagi, dalam cerita, saat hendak melewati Pusat Dongeng. Para Dewa Api dari seluruh dunia dihadirkan Rushdie: Amaterasu, dewa matahari dari Jepang yang selalu berperang dengan Kusanagi, dewa badai. Ada Surtr dengan rekan wanitanya, Sinmara, dengan pedang api yang maut, Bel dari Irlandia. Ada Mahuika dari Polinesia dengan kuku-kuku api. Haphaestus pandai besi dari Olympus, dan tiruannya Vulcan dari Romawi. Ada Inti dari Inca, matahari wajah manusia. Totaniuh dari Aztec. Ra dari Mesir, burung berkepala elang...

Luka dan Api Kehidupan, tidak hanya dongeng biasa. Ia kompleks dan hadir di antara kealpaan kita dalam merawat mitologi dan legenda. Pengisahannya menarik. Apa yang digelisahkan Rushdie begitu mengalir dalam cerita. Selain itu, yang menarik juga, adalah pemberian kata-kata istilah pada nama-nama yang digunakan di dalam dongengnya.

Setelah melewati berbagai level, Luka berhasil mencuri Api Kehidupan dan harus kembali ke dunia nyata. Tapi, ada Mr. Nobodaddy di sana. Ia hadir sebagai musuh di bagian akhir. Meskipun akhirnya kalah dengan cara yang fantasi.

Seperti itu, barangkali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun