Mohon tunggu...
Muhammad Arif Wibowo
Muhammad Arif Wibowo Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru, lulusan Universitas Negeri Yogyakarta

Mengajar di salah satu SMA Swasta Kab. Bekasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membaca Luka, Membaca Kegelisahan Rushdie Pada Mitologi

9 September 2015   13:29 Diperbarui: 9 September 2015   15:47 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salman Rushdie, di novelnya ini, amat teknis bagi saya. Ia meminjam struktur game dan mengolahnya menjadi alur cerita. Tapi, tidak sesederhana itu. Ada kerja kreatif yang dibungkus intelektualitas dengan kerumitan tinggi, yang membutuhkan imaji dan riset yang tak sedikit

Dalam mengisahkan cerita Luka, dan ini bagian inteleknya—setidaknya menurut saya—yang menuntut ia melakukan riset yang tak sedikit; Rushdie tidak hanya memberikan deskripsi dan narasi yang kosong. Percakapan penuh perenungan sering terjadi antara Luka dan Mr. Nobodaddy dari awal sampai akhir: tentang hidup dan mati, awal dan akhir, juga tentang dulu-sekarang-nanti.

Selain itu, kegelisahannya akan mitologi dan legenda suatu negara yang akan hilang digerus modernitas kemajuan zaman begitu kentara di dalamnya. Dimana orang-orang tak lagi memperdulikan mitologi dan legenda itu. Makhluk-makhluk atau dewa-dewa dengan cerita penuh khayal yang dibentuk para nenek moyang adalah dongeng yang perlu dijaga. Meskipun kini, kita tahu, bahwa semacam itu adalah cara para nenek moyang membaca sesuatu yang kini kita sebutnya sebagai kejadian ilmiah. Maka, darimana dongeng itu bermula, kalau para nenek moyang tidak pernah mengkhayalkan sebelumnya? Lalu apa tugas kita? Merawatnya! Mungkin itu pertanyaan Rushdie pada pembacanya, setidaknya menurut saya.

Akan tetapi, kesan saya, kerja intelek Rushdie itu; dengan cara memasukkan nama-nama dari makhluk mitologi dan legenda di hampir seluruh dunia begitu terkesan dipaksakan. Pertama, nama-nama makhluk atau dewa begitu terlihat hanya tempelan, meskipun bukan tempelan. Sekilas terlihat tempelan! Meskipun pembaca akan tahu, itu kerja kreatif yang rumit. Tapi pengerjaannya kurang mendalam, menurut saya; setidaknya terlihat dari sisipan mitologi yang tipis dan kurang eksplorasi yang lebih. Tapi, mungkin ini juga pendapat yang dangkal.

Kedua, penempelan itu diberikan dengan penceritaan Rushdie yang sedikit kasar. Penyatuannya kurang lembut dengan kisah Luka yang berjalan. Kita akan melihat kerja penggabungan tokoh dengan karakter yang mirip dari nama dewa-dewa itu di suatu negara dengan negara lainnya. Ini ide menarik untuk mensejajarkan dewa negara x dengan negara y dengan karakteristiknya masing-masing. Tidak hanya mitologi dan legenda, juga ada dongeng yang sudah mendunia di sana.

Penggabungannya yang terdapat dalam cerita Luka seperti ini: Ketika tiba di suatu tempat dongeng, di suatu level yang entah keberapa, Luka menyaksikan sebuah pertarungan. Ada Dewi Kecantikan yang bertarung tentang siapa di antara mereka yang paling cantik. Ada Venus dari Romawi, Hathor dari Mesir, Aphrodite dari Yunani, Ishtar dari Babilonia, Freya dsb dsb.. mereka mencoba mendekati kaca ajaib yang menempel di dinding dan saling berkelahi untuk mengalahkan satu sama lain. Dan pemenangnya adalah Aphrodite yang berhasil mendekati dinding dan berkaca sambil berkata: “cermin-cermin di dinding, siapa wanita yang tercantik di negeri ini?” Ini kerja kreatif dan intelek yang fantastis, tapi hanya tempelan dan tidak lebih dari tiga halaman dari buku dengan total 300-an halaman itu.

Ada lagi, dalam cerita, saat hendak melewati Pusat Dongeng. Para Dewa Api dari seluruh dunia dihadirkan Rushdie: Amaterasu, dewa matahari dari Jepang yang selalu berperang dengan Kusanagi, dewa badai. Ada Surtr dengan rekan wanitanya, Sinmara, dengan pedang api yang maut, Bel dari Irlandia. Ada Mahuika dari Polinesia dengan kuku-kuku api. Haphaestus pandai besi dari Olympus, dan tiruannya Vulcan dari Romawi. Ada Inti dari Inca, matahari wajah manusia. Totaniuh dari Aztec. Ra dari Mesir, burung berkepala elang...

Luka dan Api Kehidupan, tidak hanya dongeng biasa. Ia kompleks dan hadir di antara kealpaan kita dalam merawat mitologi dan legenda. Pengisahannya menarik. Apa yang digelisahkan Rushdie begitu mengalir dalam cerita. Selain itu, yang menarik juga, adalah pemberian kata-kata istilah pada nama-nama yang digunakan di dalam dongengnya.

Setelah melewati berbagai level, Luka berhasil mencuri Api Kehidupan dan harus kembali ke dunia nyata. Tapi, ada Mr. Nobodaddy di sana. Ia hadir sebagai musuh di bagian akhir. Meskipun akhirnya kalah dengan cara yang fantasi.

Seperti itu, barangkali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun