Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... Lainnya - Penggiat Sejarah

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Patah Hati Soekarno Hingga Muncul Api Perjuangan Kemerdekaan

31 Januari 2025   09:58 Diperbarui: 31 Januari 2025   19:29 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soekarno (sumber gambar: Pojoksatu)

Di masa remajanya, Soekarno bukan hanya seorang pemuda cerdas dengan semangat besar terhadap ilmu dan perjuangan, tetapi juga seorang pemuda yang pernah merasakan pahitnya cinta yang tak direstui. Salah satu cinta yang paling membekas dalam hidupnya adalah kisahnya dengan Mien Hessels, seorang gadis Belanda yang pernah mengisi relung hatinya.

Kisah ini tertuang dalam Buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams (2011), Salah satu kisah Soekarno muda bertemu noni cantik bernama Mientje Hessels alias Maria Gesina Wilhelmina, lahir pada tahun 1902, anak dari Thomas Wiggert Hessels dari Amsterdam.

Pertemuan mereka terjadi saat Soekarno bersekolah di Hogere Burger School (HBS) Surabaya. Mien Hessels, dengan paras khas Eropanya, berhasil menarik perhatian Soekarno. Baginya, Mien bukan sekadar gadis cantik, melainkan seorang dewi yang ia puja. Cintanya begitu dalam hingga ia berani melamar Mien kepada orang tuanya.

Sebelum bertemu dengan Mien Hessels, Soekarno mudah jatuh hati pada noni-noni Belanda. Saat menempuh pendidikan di HBS Surabaya, ia kerap menjalin hubungan asmara dengan gadis-gadis negeri oranye ini.

"Hanya ini satu-satunya cara yang kutemukan untuk menunjukkan keunggulanku atas bangsa kulit putih dan membuat mereka tunduk padaku," ungkap Soekarno mengenai alasannya. Hmm..Memang Keren Pak Karno ini

Dalam buku otobiografinya, disebutkan beberapa nama gadis yang pernah mengisi hatinya. Ada Pauline Gobee, putri salah seorang gurunya, serta Laura, yang dalam beberapa sumber lain disebut sebagai Laura Fikenscher. Ia juga memiliki hubungan dengan kakak beradik dari keluarga Raat, dua gadis Belanda yang menjadi pujaan hatinya.

"Menaklukkan seorang gadis kulit putih dan membuatnya tergila-gila padaku adalah soal kebanggaan," ujar Soekarno.

Namun, segalanya berubah ketika Soekarno bertemu dengan Mien Hessels. Sejak saat itu, pesona noni-noni Belanda lain memudar. Ia begitu terpikat pada Mien, gadis yang ia gambarkan sebagai "bunga tulip berambut pirang dan berpipi merah muda."

Setiap kali Mien naik atau turun dari trem, Soekarno selalu berusaha menarik perhatiannya. "Aku rela mati untuknya, jika dia menginginkannya," katanya dengan penuh rasa cinta. Ke mana pun Soekarno pergi, Mien selalu diajak, bahkan dibonceng dengan sepeda.

Rasa cintanya begitu besar hingga ia memberanikan diri melamar Mien. Dengan hati berdebar, Soekarno yang saat itu baru berusia 18 tahun membulatkan tekad untuk menemui ayah gadis pujaannya. Ia mengenakan pakaian terbaiknya dan datang ke rumah keluarga Hessels, meski di dalam hati diliputi kegugupan.

Di teras rumah yang asri, berdirilah seorang pria tinggi besar dengan raut wajah yang tak ramah. Dialah Thomas Hessels, ayah Mien. Meski sadar akan risikonya, Soekarno tetap maju dan dengan suara bergetar menyampaikan maksudnya.

"Tuan, jika Anda berkenan, saya ingin melamar putri Anda," ucapnya penuh harap.

Namun, jawaban yang ia terima begitu menusuk.

"Kamu? Inlander kotor seperti kamu?" bentak Thomas Hessels. "Berani-beraninya mendekati anakku! Keluar, kamu binatang kotor! Keluar!"

Kata-kata kasar itu menghantam hati Soekarno seperti petir di siang bolong. "Perihnya begitu hebat hingga aku merasa tak akan pernah bisa melupakannya," kenangnya.

Hati Soekarno hancur. Namun, di tengah kepedihan itu, tumbuh benih kebangkitan dalam dirinya. Rasa sakit dan penghinaan itu membakar kesadarannya bahwa di tanah kelahirannya sendiri, rakyat pribumi diperlakukan tidak adil. Jika dirinya, yang berpendidikan, mengalami perlakuan seperti itu, bagaimana dengan jutaan rakyat Indonesia lainnya?

Dari luka cinta, tumbuhlah api perjuangan. Soekarno tidak lagi hanya ingin memenangkan hati seorang gadis, tetapi ingin membebaskan bangsanya dari belenggu penjajahan. Ia ingin merdeka, bukan hanya dari cengkeraman kolonial, tetapi juga dari ketidakadilan yang telah lama menekan kaumnya.

Tahun berganti, dan takdir mempertemukan mereka kembali pada 1942, saat Jepang menduduki Indonesia. Soekarno, yang baru kembali dari pengasingan di Bengkulu, sedang berjalan-jalan di Jakarta ketika tiba-tiba seorang wanita Belanda tua dan gemuk menyapanya.

"Soekarno," katanya sambil terkekeh. "Bisakah kau menebak siapa aku?"

Soekarno menggeleng. "Tidak, nyonya. Siapa Anda?"

Wanita itu tertawa lagi sebelum menjawab, "Aku Mien Hessels."

Soekarno terkejut. Dalam otobiografinya, ia mengenang momen itu dengan perasaan campur aduk. "Ratuku yang dulu cantik jelita kini tampak seperti perempuan sihir," pikirnya spontan.

Namun, Soekarno tetap bersikap sopan. Ia membalas salam Mien dan melanjutkan langkahnya, sambil mengucap syukur dalam hati. Baginya, hinaan dari ayah Mien dulu ternyata adalah rahmat tersembunyi.

Pertemuan mereka berikutnya, pada 1956, berlangsung dalam suasana yang jauh lebih bersahabat. Saat itu, Soekarno telah menjadi Presiden Republik Indonesia dan sedang mengunjungi berbagai daerah untuk melihat kondisi rakyatnya.

Di Surabaya, kota kelahirannya, ia sengaja menemui Mien, gadis yang pernah ia cintai. Ternyata, selama pendudukan Jepang dan agresi militer Belanda, Mien aktif mengelola rumah perawatan anak-anak cacat bernama Jajasan Pertolongan kepada Anak Tjatjat (JPAT).

Kali ini, mereka bertemu dalam kedewasaan yang berbeda. Dengan penuh kehangatan, Soekarno memeluk Mien, wanita yang pernah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya.

Soekarno merasa lega. Rasa sakit yang dulu ia tanggung, yang pernah membuatnya hancur, kini terasa sebagai berkah. Jika dulu ia diterima, mungkin ia tak akan memiliki tekad sebesar ini untuk memperjuangkan bangsanya.

Cinta remaja Soekarno pada Mien Hessels bukan sekadar kisah asmara yang pupus di tengah jalan. Ia adalah batu pijakan yang mengubah seorang pemuda yang patah hati menjadi seorang pemimpin yang bertekad mengubah nasib bangsanya. Dari luka itu, lahirlah seorang pejuang.

Cerita ini memang tidak tersirat secara gamblang di dalam Buku otobiografinya antara relevansi patah hati Soekarno muda dengan api perjuangan memerdekakan Indonesia. Tapi dapat dirasakan bagaimana patah hatinya seorang laki-laki ABG bisa "move on"dan bisa menimbulkan semangat baru ini jika membaca kisah di Buku otobiografinya lebih mendalam.

Terima Kasih

Referensi

https://luk.tsipil.ugm.ac.id/CindyAdams-BungKarnoPenyambungLidahRakyatIndonesia.pdf

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun