Di teras rumah yang asri, berdirilah seorang pria tinggi besar dengan raut wajah yang tak ramah. Dialah Thomas Hessels, ayah Mien. Meski sadar akan risikonya, Soekarno tetap maju dan dengan suara bergetar menyampaikan maksudnya.
"Tuan, jika Anda berkenan, saya ingin melamar putri Anda," ucapnya penuh harap.
Namun, jawaban yang ia terima begitu menusuk.
"Kamu? Inlander kotor seperti kamu?" bentak Thomas Hessels. "Berani-beraninya mendekati anakku! Keluar, kamu binatang kotor! Keluar!"
Kata-kata kasar itu menghantam hati Soekarno seperti petir di siang bolong. "Perihnya begitu hebat hingga aku merasa tak akan pernah bisa melupakannya," kenangnya.
Hati Soekarno hancur. Namun, di tengah kepedihan itu, tumbuh benih kebangkitan dalam dirinya. Rasa sakit dan penghinaan itu membakar kesadarannya bahwa di tanah kelahirannya sendiri, rakyat pribumi diperlakukan tidak adil. Jika dirinya, yang berpendidikan, mengalami perlakuan seperti itu, bagaimana dengan jutaan rakyat Indonesia lainnya?
Dari luka cinta, tumbuhlah api perjuangan. Soekarno tidak lagi hanya ingin memenangkan hati seorang gadis, tetapi ingin membebaskan bangsanya dari belenggu penjajahan. Ia ingin merdeka, bukan hanya dari cengkeraman kolonial, tetapi juga dari ketidakadilan yang telah lama menekan kaumnya.
Tahun berganti, dan takdir mempertemukan mereka kembali pada 1942, saat Jepang menduduki Indonesia. Soekarno, yang baru kembali dari pengasingan di Bengkulu, sedang berjalan-jalan di Jakarta ketika tiba-tiba seorang wanita Belanda tua dan gemuk menyapanya.
"Soekarno," katanya sambil terkekeh. "Bisakah kau menebak siapa aku?"
Soekarno menggeleng. "Tidak, nyonya. Siapa Anda?"
Wanita itu tertawa lagi sebelum menjawab, "Aku Mien Hessels."