Soekarno terkejut. Dalam otobiografinya, ia mengenang momen itu dengan perasaan campur aduk. "Ratuku yang dulu cantik jelita kini tampak seperti perempuan sihir," pikirnya spontan.
Namun, Soekarno tetap bersikap sopan. Ia membalas salam Mien dan melanjutkan langkahnya, sambil mengucap syukur dalam hati. Baginya, hinaan dari ayah Mien dulu ternyata adalah rahmat tersembunyi.
Pertemuan mereka berikutnya, pada 1956, berlangsung dalam suasana yang jauh lebih bersahabat. Saat itu, Soekarno telah menjadi Presiden Republik Indonesia dan sedang mengunjungi berbagai daerah untuk melihat kondisi rakyatnya.
Di Surabaya, kota kelahirannya, ia sengaja menemui Mien, gadis yang pernah ia cintai. Ternyata, selama pendudukan Jepang dan agresi militer Belanda, Mien aktif mengelola rumah perawatan anak-anak cacat bernama Jajasan Pertolongan kepada Anak Tjatjat (JPAT).
Kali ini, mereka bertemu dalam kedewasaan yang berbeda. Dengan penuh kehangatan, Soekarno memeluk Mien, wanita yang pernah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya.
Soekarno merasa lega. Rasa sakit yang dulu ia tanggung, yang pernah membuatnya hancur, kini terasa sebagai berkah. Jika dulu ia diterima, mungkin ia tak akan memiliki tekad sebesar ini untuk memperjuangkan bangsanya.
Cinta remaja Soekarno pada Mien Hessels bukan sekadar kisah asmara yang pupus di tengah jalan. Ia adalah batu pijakan yang mengubah seorang pemuda yang patah hati menjadi seorang pemimpin yang bertekad mengubah nasib bangsanya. Dari luka itu, lahirlah seorang pejuang.
Cerita ini memang tidak tersirat secara gamblang di dalam Buku otobiografinya antara relevansi patah hati Soekarno muda dengan api perjuangan memerdekakan Indonesia. Tapi dapat dirasakan bagaimana patah hatinya seorang laki-laki ABG bisa "move on"dan bisa menimbulkan semangat baru ini jika membaca kisah di Buku otobiografinya lebih mendalam.
Terima Kasih
Referensi
https://luk.tsipil.ugm.ac.id/CindyAdams-BungKarnoPenyambungLidahRakyatIndonesia.pdf