Di sudut kota Solo yang tenang, terdapat sebuah bangunan yang memancarkan kehangatan dan kedamaian. Bangunan itu adalah Gereja Santo Antonius Purbayan, gereja Katolik tertua di kota ini.
Di balik keindahan arsitekturnya, gereja ini menyimpan jejak sejarah yang sarat makna tentang toleransi, kebersamaan, dan cinta terhadap keberagaman.
Gereja Katolik tertua di kota ini menyimpan kisah yang tak hanya menggambarkan sejarah panjang agama Katolik di Solo, tetapi juga menjadi simbol harmoni antara Islam dan Kristiani yang telah terjalin sejak masa Kerajaan Kasunanan Surakarta berkuasa.
Awalnya, para misionaris Katolik yang menyebarkan agama di Solo menghadapi kendala besar: mereka tidak memiliki lahan untuk membangun gereja.Â
Raja Pakubuwono IX, yang memerintah pada tahun 1861-1893, tergerak hatinya melihat perjuangan para misionaris.
Dengan semangat toleransi dan persaudaraan, beliau memutuskan untuk menghibahkan rumah milik Pakubuwono VII kepada para misionaris.
Nama "Purbayan" sendiri bukan berasal dari lokasi tempat gereja itu berdiri, melainkan diambil dari nama pemilik awal rumah tersebut, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Purbaya.
Tindakan mulia Pakubuwono IX ini menggema hingga ke Vatikan, pusat Gereja Katolik dunia. Sebagai penghormatan atas kontribusi beliau dalam mendukung toleransi beragama, Vatikan menganugerahkan medali Rosarie kepada Pakubuwono IX.Â
Sebuah simbol penghargaan atas kebesaran hati seorang raja yang memahami pentingnya keberagaman dan persatuan.
Pembangunan gereja ini kemudian diprakarsai oleh Pastor Stiphout SJ, yang saat itu bertugas di Paroki Ambarawa.Â
Proses pembangunannya dimulai pada 29 Oktober 1905 dan selesai pada November 1916, menggunakan dana yang berasal dari hasil penjualan undian berhadiah serta dukungan dari Belanda.
 Arsitektur gereja ini menjadi unik karena memadukan gaya kolonial Belanda dengan sentuhan tradisional Jawa, mencerminkan perpaduan budaya yang selaras.
Gereja Santo Antonius Purbayan tidak hanya berperan sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi saksi berbagai peristiwa bersejarah.Â
Salah satu momen penting adalah ketika Brigadir Jenderal Slamet Riyadi, pahlawan nasional Indonesia, menerima sakramen baptis di gereja ini pada tahun 1949.
Namun, Gereja Santo Antonius Purbayan hanyalah salah satu dari beberapa gereja yang memiliki latar belakang unik di Solo. Dalam sejarahnya, sejumlah rumah milik para pangeran dan tokoh Kasunanan Solo juga diubah menjadi gereja.
Contohnya adalah Gereja San Inigo di Dirjodipuran, yang sebelumnya merupakan rumah milik Raden Mas Dirjodipuro, keturunan Wreksodiningrat. Raden Mas Dirjodipuro menikah dengan seorang Eropa dan menghibahkan rumahnya untuk dijadikan gereja. Selain itu, terdapat pula rumah di Purbawardayan yang dulunya merupakan rumah para pangeran dari lingkungan kepatihan Kasunanan.
Gereja ini telah menjadi bagian penting dari perjalanan sejarah bangsa sekaligus bukti bahwa harmoni dapat terwujud di tengah keberagaman.
Dari rumah seorang pangeran hingga menjadi tempat ibadah yang dihormati, Gereja Santo Antonius Purbayan mengingatkan kita akan pentingnya cinta dan kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat.
Peran aktif Pakubuwono IX dalam mendukung keberagaman menjadi warisan yang berharga, tak hanya untuk warga Solo, tetapi juga untuk seluruh bangsa Indonesia.
Hingga kini, setiap kali lonceng gereja berdentang, Solo seolah berbisik kepada dunia: bahwa keberagaman adalah kekayaan yang mempersatukan, dan harmoni adalah harta sejati yang harus dijaga dengan hati penuh cinta.
Referensi
https://www.instagram.com/reel/DDoZk-loZCk/?igsh=MTV1OTNheTI0Nmkwcw==
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI