Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... Lainnya - Rakyat Jejaka

Rakyat Jejaka

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Membandingkan The Great Depression dengan Ekonomi Sekarang

26 Juni 2024   13:10 Diperbarui: 26 Juni 2024   18:42 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Depresi Besar atau lebih dikenal dengan "Great Depression" Depresi ekonomi besar ini adalah kemerosotan ekonomi global yang parah yang terjadi terutama selama tahun 1930-an. Depresi ini dimulai di Amerika Serikat setelah kehancuran pasar saham yang dramatis pada 29 Oktober 1929, yang dikenal sebagai "Black Tuesday." Peristiwa tersebut menandai awal dari periode ketidakstabilan ekonomi yang berkepanjangan, dengan dampak menghancurkan yang meluas ke seluruh dunia. Depresi ini tidak hanya melanda negara-negara industri maju seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris, tetapi juga negara-negara non-industri di berbagai benua.

Di Amerika Serikat, ribuan bank gulung tikar, mengakibatkan hilangnya tabungan masyarakat dan penurunan tajam dalam investasi serta konsumsi. Tingkat pengangguran mencapai sekitar 25%, dan banyak orang kehilangan pekerjaan dan rumah mereka. Deflasi yang parah memperburuk situasi, dengan harga barang dan jasa jatuh secara signifikan, menambah beban utang yang nyata bagi banyak individu dan bisnis.

Di Eropa, negara-negara seperti Jerman dan Inggris menghadapi krisis ekonomi yang sama parahnya. Di Jerman, Depresi Besar membuka jalan bagi ketidakstabilan politik dan sosial yang akhirnya memfasilitasi naiknya Adolf Hitler dan Partai Nazi. Inggris juga mengalami pengangguran massal dan penurunan dalam output industri, yang memaksa pemerintah untuk mengambil langkah-langkah drastis untuk mengatasi krisis.

Negara-negara di Amerika Latin, seperti Brasil dan Argentina, yang ekonominya sangat bergantung pada ekspor komoditas, mengalami penurunan drastis dalam pendapatan ekspor. Hal ini menyebabkan krisis ekonomi di wilayah tersebut dan mendorong pemerintah untuk mengadopsi kebijakan substitusi impor guna mengurangi ketergantungan pada pasar internasional.

Di Asia, Jepang mengalami penurunan dalam ekspor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonominya, sementara negara-negara lain di kawasan ini juga merasakan dampak penurunan permintaan global. 

Di Afrika, negara-negara yang bergantung pada ekspor komoditas seperti karet dan bijih mineral mengalami penurunan pendapatan yang tajam, memperparah kondisi ekonomi yang sudah sulit.

Pada tahun 1930-an, ketika Depresi Besar melanda dunia, Indonesia, yang saat itu masih dikenal sebagai Hindia Belanda di bawah kekuasaan kolonial Belanda, juga mengalami dampak signifikan dari krisis ekonomi global ini. Mengakibatkan penurunan harga komoditas, pengangguran massal, dan penurunan kesejahteraan sosial. Meskipun ada upaya dari pemerintah kolonial untuk menstabilkan ekonomi, dampaknya tetap dirasakan secara luas oleh penduduk lokal.  

Secara keseluruhan, Depresi Besar menyebabkan pengangguran massal, kemiskinan meluas, dan penurunan signifikan dalam output ekonomi global. Krisis ini juga memaksa banyak negara untuk mengevaluasi kembali dan mengubah kebijakan ekonomi mereka, dengan peningkatan intervensi pemerintah dalam upaya untuk mendorong pemulihan ekonomi. Program-program seperti New Deal di Amerika Serikat, yang mencakup proyek-proyek pekerjaan umum, reformasi perbankan, dan program jaminan sosial, menjadi contoh respons kebijakan yang diterapkan untuk mengatasi dampak krisis ini.

Membandingkan Depresi Besar dengan situasi ekonomi saat ini melibatkan analisis berbagai faktor, termasuk penyebab, dampak, dan respon kebijakan terhadap kedua periode tersebut. Meskipun terdapat beberapa kesamaan dalam tantangan yang dihadapi, ada juga perbedaan signifikan dalam cara ekonomi global menangani krisis.

Penyebab Depresi Besar

Kehancuran Pasar Saham 1929:"Black Tuesday," yang terjadi pada 29 Oktober 1929, menandai titik balik dalam sejarah ekonomi Amerika Serikat dan dunia. Hari itu, pasar saham mengalami kejatuhan yang sangat drastis, memicu kepanikan besar-besaran di kalangan investor. Harga saham anjlok secara signifikan, menghapus miliaran dolar dari nilai pasar dan menyebabkan kehilangan kekayaan yang besar-besaran. Kepanikan ini menjalar ke sektor keuangan lainnya, menciptakan lingkaran setan yang memperburuk krisis.

Kegagalan Bank:Ribuan bank mengalami kegagalan selama Depresi Besar, sebagian besar disebabkan oleh kurangnya asuransi deposito. Tanpa jaminan bahwa uang mereka aman, para penabung bergegas menarik tabungan mereka, menyebabkan "bank runs" atau kepanikan bank. Bank-bank yang tidak dapat memenuhi penarikan besar-besaran ini akhirnya bangkrut, mengakibatkan hilangnya tabungan masyarakat. Kegagalan bank secara masif ini memperburuk situasi ekonomi, karena kredit menjadi sangat sulit didapat dan aliran uang dalam perekonomian terhenti.

Penurunan Konsumsi dan Investasi:Pengangguran massal adalah salah satu dampak paling nyata dari Depresi Besar. Dengan banyaknya bisnis yang tutup atau mengurangi produksi, jutaan orang kehilangan pekerjaan. Tingkat pengangguran yang tinggi menyebabkan penurunan konsumsi karena orang-orang tidak lagi memiliki pendapatan untuk dibelanjakan. 

Selain itu, ketidakpastian ekonomi membuat para investor enggan untuk berinvestasi. Penurunan drastis dalam konsumsi dan investasi ini menciptakan lingkaran setan yang memperburuk depresi.

Kebijakan Proteksionis:Pengenaan Tarif Smoot-Hawley pada tahun 1930 adalah salah satu langkah kebijakan yang memperburuk situasi ekonomi global. Tarif ini menaikkan bea impor barang-barang asing ke Amerika Serikat dengan tujuan melindungi industri dalam negeri. Namun, sebagai tanggapan, banyak negara lain memberlakukan tarif balasan, yang akhirnya mengurangi perdagangan internasional secara signifikan. Penurunan perdagangan ini mengakibatkan penurunan pendapatan bagi banyak negara, memperburuk depresi global.

Kondisi Agrikultural yang Buruk:Kekeringan parah yang melanda wilayah tengah Amerika Serikat pada 1930-an, yang dikenal sebagai Dust Bowl, menghancurkan sektor pertanian. Tanah-tanah pertanian berubah menjadi gurun pasir yang tidak produktif, menyebabkan gagal panen dan kerugian besar bagi petani. 

Banyak petani kehilangan mata pencaharian mereka dan terpaksa meninggalkan tanah mereka untuk mencari pekerjaan di tempat lain. Krisis agrikultural ini menambah beban ekonomi pada saat Depresi Besar, memperburuk kemiskinan dan ketidakstabilan sosial di daerah pedesaan.

Penyebab Resesi Ekonomi Global Saat Ini

Pandemi COVID-19:Pandemi COVID-19 yang dimulai pada akhir 2019 menyebabkan krisis kesehatan global yang belum pernah terjadi sebelumnya dan dengan cepat berkembang menjadi resesi ekonomi pada tahun 2020. Pemerintah di seluruh dunia memberlakukan langkah-langkah pembatasan sosial yang ketat, termasuk penguncian wilayah, penutupan bisnis, dan pembatasan perjalanan, untuk mengekang penyebaran virus. 

Langkah-langkah ini mengakibatkan penurunan tajam dalam aktivitas ekonomi, dengan sektor-sektor seperti pariwisata, perhotelan, dan ritel mengalami pukulan terberat. Pengangguran meningkat secara drastis, dan banyak bisnis kecil terpaksa menutup operasi mereka secara permanen.

Gangguan Rantai Pasok:Pandemi dan konflik geopolitik telah menyebabkan gangguan besar dalam rantai pasok global. Penutupan pabrik, pembatasan transportasi, dan kekurangan tenaga kerja akibat karantina dan penyakit mengganggu produksi dan distribusi barang. Selain itu, ketegangan geopolitik, seperti perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, serta perang Rusia-Ukraina, memperburuk situasi dengan menambah ketidakpastian dan memicu hambatan perdagangan. Gangguan ini menyebabkan kekurangan barang dan komponen penting, meningkatkan biaya produksi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi global.

Inflasi:Lonjakan harga komoditas, terutama energi dan pangan, telah mendorong inflasi di banyak negara. Kekurangan pasokan dan peningkatan permintaan pasca-penguncian menyebabkan harga bahan bakar, listrik, dan bahan makanan naik tajam. 

Biaya energi yang tinggi berdampak langsung pada biaya produksi dan transportasi, yang pada gilirannya meningkatkan harga barang dan jasa secara keseluruhan. Inflasi yang tinggi mengurangi daya beli konsumen, menyebabkan penurunan konsumsi dan menambah tekanan pada ekonomi yang sudah rapuh.

Ketegangan Geopolitik:Konflik geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina dan ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok telah menambah ketidakpastian global. Perang Rusia-Ukraina, misalnya, telah mengganggu pasokan energi dan pangan global, mengingat Rusia adalah salah satu produsen energi terbesar dunia dan Ukraina adalah salah satu produsen biji-bijian utama. Sanksi ekonomi terhadap Rusia juga berkontribusi pada gangguan pasar energi dan memperburuk inflasi global. Ketegangan antara AS dan Tiongkok, termasuk dalam hal perdagangan dan teknologi, juga menciptakan lingkungan bisnis yang tidak pasti dan mempengaruhi aliran investasi global.

Kebijakan Moneter Ketat:Untuk mengendalikan inflasi yang meningkat, banyak bank sentral di seluruh dunia, termasuk Federal Reserve AS dan Bank Sentral Eropa, telah menaikkan suku bunga. 

Kebijakan moneter yang ketat ini bertujuan untuk mengurangi permintaan agregat dengan membuat pinjaman lebih mahal, sehingga mengurangi tekanan inflasi. Namun, kenaikan suku bunga juga bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan mengurangi investasi dan konsumsi. Bisnis menghadapi biaya pinjaman yang lebih tinggi, dan konsumen mungkin menunda pembelian besar seperti rumah dan mobil, yang semuanya dapat memperlambat pemulihan ekonomi.

Dampak Depresi Besar

Pengangguran Massal:Selama Depresi Besar, tingkat pengangguran di Amerika Serikat mencapai sekitar 25%. Jutaan orang kehilangan pekerjaan karena banyak bisnis tutup atau mengurangi skala operasi mereka. Tingkat pengangguran yang sangat tinggi ini menyebabkan penderitaan yang meluas, karena banyak keluarga tidak memiliki sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Deflasi Parah:Penurunan harga barang dan jasa terjadi selama Depresi Besar, yang dikenal sebagai deflasi. Meskipun harga barang menjadi lebih murah, daya beli masyarakat tetap rendah karena pendapatan mereka berkurang atau hilang sama sekali. Deflasi memperburuk beban utang, karena nilai uang yang dipinjam tetap sama sementara pendapatan untuk membayarnya menurun.

Kegagalan Bank dan Bisnis:Ribuan bank dan bisnis gagal selama Depresi Besar. Tanpa adanya asuransi deposito, tabungan masyarakat hilang ketika bank-bank bangkrut. Kegagalan bisnis juga meluas, menyebabkan kehilangan pekerjaan dan pendapatan lebih lanjut. Kepercayaan terhadap sistem perbankan dan bisnis menurun drastis, memperburuk krisis ekonomi.

Kemiskinan dan Tunawisma:Kemiskinan dan tunawisma meningkat tajam selama Depresi Besar. Banyak orang kehilangan rumah mereka karena tidak mampu membayar hipotek atau sewa. "Hoovervilles," yaitu perkampungan tunawisma yang dinamai dari Presiden Herbert Hoover, bermunculan di berbagai kota besar di Amerika Serikat. Kondisi hidup di Hoovervilles sangat buruk, mencerminkan kesulitan yang dihadapi oleh banyak orang.

Perubahan Politik:Ketidakstabilan ekonomi selama Depresi Besar berkontribusi pada kenaikan rezim totaliter di beberapa negara. Misalnya, di Jerman, krisis ekonomi memperburuk situasi politik yang akhirnya mengarah pada naiknya Nazi ke tampuk kekuasaan. Ketidakpuasan dan keputusasaan yang meluas membuat masyarakat lebih rentan terhadap propaganda politik ekstrem dan solusi radikal.

Dampak Resesi Ekonomi Global Saat Ini

Pengangguran:Tingkat pengangguran meningkat secara signifikan selama pandemi COVID-19, dengan banyak bisnis yang terpaksa tutup sementara atau permanen. Namun, setelah fase awal pandemi, banyak negara telah melihat pemulihan pekerjaan berkat langkah-langkah stimulus ekonomi dan vaksinasi massal yang memungkinkan pembukaan kembali ekonomi secara bertahap.

Inflasi Tinggi:Banyak negara saat ini menghadapi inflasi yang tinggi, yang disebabkan oleh lonjakan harga komoditas dan biaya energi. Inflasi mengurangi daya beli masyarakat, karena harga barang dan jasa meningkat lebih cepat daripada pendapatan mereka. Konsumen merasakan tekanan ini dalam bentuk kenaikan biaya hidup sehari-hari, dari makanan hingga bahan bakar.

Gangguan Bisnis:Bisnis di seluruh dunia menghadapi tantangan dari gangguan rantai pasok dan perubahan kebiasaan konsumen. Pandemi menyebabkan banyak perusahaan harus beradaptasi dengan model kerja jarak jauh dan perubahan permintaan pasar. Gangguan dalam rantai pasok global, yang disebabkan oleh penutupan pabrik, keterbatasan transportasi, dan kekurangan bahan baku, memperburuk situasi ini.

Ketidakpastian Ekonomi:Ketidakpastian tinggi akibat pandemi, perang, dan ketegangan perdagangan membuat perencanaan ekonomi menjadi sulit. Konflik seperti perang Rusia-Ukraina dan ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok menambah lapisan kompleksitas dan risiko bagi ekonomi global. Perusahaan dan investor harus mempertimbangkan berbagai faktor geopolitik dalam pengambilan keputusan mereka.

Tantangan Politik:Ketidakstabilan ekonomi saat ini berkontribusi pada peningkatan ketidakpuasan sosial dan politik di banyak negara. Pandemi telah memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi, dan banyak masyarakat merasa frustasi dengan respons pemerintah yang dianggap tidak memadai. Ketidakpuasan ini sering kali diterjemahkan ke dalam protes dan ketegangan politik, yang menambah tantangan bagi pemerintahan untuk menjaga stabilitas dan kepercayaan publik.

Respon Kebijakan dari Depresi Besar

New Deal: Di Amerika Serikat, Presiden Franklin D. Roosevelt meluncurkan New Deal, sebuah serangkaian program dan kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk memerangi efek Depresi Besar. New Deal mencakup proyek-proyek pekerjaan umum besar-besaran yang menciptakan jutaan lapangan pekerjaan. Infrastruktur penting seperti jalan raya, jembatan, dan bangunan publik dibangun atau diperbaiki. 

Selain itu, reformasi perbankan dilakukan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan, termasuk pembentukan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) yang menjamin simpanan bank. Program jaminan sosial juga diperkenalkan untuk memberikan dukungan finansial kepada lansia, pengangguran, dan mereka yang tidak mampu bekerja.

Intervensi Pemerintah: Tidak hanya di Amerika Serikat, banyak negara lain juga memperkenalkan langkah-langkah ekonomi yang signifikan untuk menghadapi Depresi Besar. 

Pemerintah meningkatkan belanja publik dan memperluas penyediaan bantuan sosial untuk meredam dampak ekonomi dan sosial dari krisis. Beberapa negara memberlakukan kontrol harga dan subsidi untuk menjaga kestabilan harga barang dan layanan penting. Intervensi pemerintah ini membantu mengurangi penderitaan masyarakat dan memacu pemulihan ekonomi.

Respon Resesi Ekonomi Global Saat Ini

Stimulus Fiskal:Selama pandemi COVID-19, pemerintah di seluruh dunia mengeluarkan paket stimulus fiskal besar-besaran untuk mendukung ekonomi yang terdampak. Langkah-langkah ini termasuk bantuan tunai langsung kepada rumah tangga, subsidi untuk bisnis yang terpaksa tutup atau mengurangi operasi, serta investasi dalam sektor kesehatan untuk meningkatkan kapasitas penanganan pandemi. Program-program ini bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat dan mencegah keruntuhan bisnis secara massal.

Kebijakan Moneter:Bank sentral di berbagai negara mengambil langkah-langkah luar biasa untuk menjaga stabilitas ekonomi selama pandemi. Mereka menurunkan suku bunga ke tingkat yang sangat rendah untuk memudahkan akses kredit dan mendorong investasi. 

Selain itu, bank sentral melakukan pembelian aset dalam skala besar, termasuk obligasi pemerintah dan sekuritas lainnya, untuk memastikan likuiditas dalam sistem keuangan. Namun, ketika inflasi mulai meningkat, banyak bank sentral kemudian menaikkan suku bunga untuk mengendalikan kenaikan harga.

Bantuan Sosial:Pemerintah meningkatkan bantuan sosial untuk membantu rumah tangga dan bisnis yang terdampak pandemi. Program-program bantuan ini termasuk tunjangan pengangguran yang diperluas, bantuan makanan, serta subsidi perumahan. Tujuannya adalah untuk menyediakan jaring pengaman bagi mereka yang paling terpukul oleh krisis dan mencegah kemiskinan yang lebih parah.

Kerjasama Internasional:Selama krisis pandemi, kerjasama internasional menjadi sangat penting. Organisasi seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia mengambil peran aktif dalam memberikan dukungan finansial kepada negara-negara yang paling membutuhkan. 

Bantuan ini berupa pinjaman dengan bunga rendah atau hibah untuk membantu negara-negara mengatasi dampak ekonomi dari pandemi, membiayai program kesehatan, dan memulihkan ekonomi mereka. Upaya ini menunjukkan pentingnya solidaritas global dalam menghadapi krisis yang bersifat lintas batas.

Saat ini, Indonesia tidak mengalami Depresi Besar seperti yang terjadi pada tahun 1930-an. Namun, Indonesia dan negara-negara lainnya dapat menghadapi tantangan ekonomi yang signifikan dari waktu ke waktu. Tantangan-tantangan ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor seperti resesi global, krisis finansial, pandemi, atau masalah struktural dalam ekonomi nasional. Indonesia sendiri telah mengalami masa-masa sulit akibat pandemi COVID-19, dengan penurunan PDB dan berbagai tantangan ekonomi lainnya. 

Namun, dengan langkah-langkah kebijakan yang diambil oleh pemerintah seperti Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN): Program ini mencakup bantuan tunai, subsidi, insentif pajak untuk mendukung masyarakat dan sektor usaha, dan  investasi infrastruktur. Indonesia berusaha menghindari resesi berkepanjangan. Meskipun ada tanda-tanda pemulihan, ketidakpastian ekonomi global dan domestik memerlukan perhatian dan respons kebijakan yang berkelanjutan.

Kesimpulan

Meskipun ada beberapa kesamaan dalam tantangan ekonomi yang dihadapi selama Depresi Besar dan situasi ekonomi saat ini, respons kebijakan dan mekanisme penanganan krisis telah berkembang pesat. Ketersediaan asuransi simpanan, kebijakan moneter yang lebih fleksibel, serta kerjasama internasional yang lebih baik telah membantu mencegah situasi saat ini menjadi seburuk Depresi Besar. 

Namun, ketidakpastian ekonomi tetap ada dan memerlukan perhatian berkelanjutan dari pemerintah dan otoritas keuangan global. Upaya proaktif dan kebijakan yang adaptif akan terus dibutuhkan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mencegah krisis besar di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun