Etika Moloku Kie Raha: Implementasi Moderasi Beragama Nusantara
Penulis kini tinggal dan menetap di Ternate, salah satu kota di wilayah Provinsi Maluku Utara (Malut), yang juga dikenal dengan nama Moloku Kie Raha[11], sebagai identitas sosial budaya masyarakat setempat. Malut mempunyai empat Kesultanan, yakni Ternate (Kota Ternate), Tidore (Kota Tidore Kepulauan), Bacan (Kabupaten Halmahera Barat) dan Jailolo (Kabupaten Halmahera Barat.Â
Secara umum, empat kesultanan tersebut memiliki tradisi, kebisaaan dan adat istiadat yang bersumber pada ajaran agama Islam. Di luar masyarakat kesultanan sendiri, secara sosiokultural, Malut merupakan miniatur Indonesia dengan tiga 'potensi integral', yakni sipiritualitas, pluralitas (sosial) dan biodiversitas (keanekaragaman hayati, termasuk biofisik dan kondisi SDA-nya). Ketiga potensi tersebut Penulis sebut dengan 'potensi Ekoteologi Moloku Kie Raha'[12]. Berdasar potensi tersebut, Penulis menyampaikan sebuah sintesa bahwa 'Ekoteologi Moloku Kie Raha'sebagai etika lingkungan empat kesultanan Maluku Utara.[13]
Dari konsep etika lingkungan keempat kesultanan tersebut, dan berpadu dengan kearifan lokal masyarakat adat non kesultanan[14] di sepanjang Pulau Halmahera dan sekitarnya, sejatinya praktik moderasi beragama telah menjadi bagian dari nilai sosial budaya masyarakat Malut.
Â
Toleransi Sebumi : Ijtihad Moderasi BeragamaÂ
Menurut Penulis, moderasi beragama selain dapat diwujudkan melalui gerakan pencegahan cyber-sectarian di atas, pun dapat diimplementasikan pada aras ekoteologi Moloku Kie Raha, dan bahkan bisa dikembangkan menjadi Ekoteologi Nusantara. Sebagai ijtihad Penulis dalam kajian moderasi beragama ini adalah toleransi sebumi, sebagai salah satu narasi pembangun konsep ekoteologi di atas[15]. Penulis menyebutnya sebagai inisiasi atau ikhtiar sebuah ijtihad untuk menjaga harmoni alam dan harmoni sosial di Nusantara.
Menurut Penulis, jika di wacana teologi, toleransi menjadi sangat mahal dan 'rentan' miskomunikasi baik secara internal maupun secara eksternal. Semisal, fenomena 'Doa Bersama', di beberapa tempat di wilayah Indonesia. Secara internal, masih banyak perbedaan pendapat --dalam Islam disebut khilafiyah-di sesama penganut agama. Secara eksternal, antarpemeluk agama yang berbeda pun relatif belum bisa secara optimal, jika tidak bisa dikatakan secara tulus/ikhlas, mengikuti doa bersama tersebut. Hal ini dikarenakan adanya doktrin teologi yang beranggapan ajaran agamanya paling benar, dan yang lain salah.
Sebaliknya, isu ekologi yang dibawa dalam konsep toleransi relatif lebih 'murah', smooth, potensial dan dapat diusung oleh siapapun --pemeluk agama apa pun, bahkan masyarakat tak beragama pun- yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan/bumi. Ketika para pihak terkait (stakeholder) bertemu di 'hajatan ekologi', seperti penanaman pohon dan bersih lingkungan, mereka secara suka rela dapat menanggalkan baju primordial dan egosektoral. Mereka tidak mengenal frasa: "bagimu tanahmu, bagiku tanahku" sepertihalnya doktrin teologi "lakum diinukum wa liyadiin', tetapi"bumimu bumiku, bumiku bumimu, bumi kita: satu".
Menurut penulis, toleransi sebumi meleburkan semua anak manusia pada kesadaran yang sama untuk merawat satu sajadah/satu altar bumi yang sama dan menjadi wali atasnya dengan spirit kearifan ajaran agama masing-masing. Dalam konsep Islam, hal ini sejalan dengan konsep khalifah fil ardhi [16]. Toleransi Sebumi sebagai ikhtiar dalam moderasi beragama dapat menghantarkan kita pada tujuan penciptaan manusia dalam Al Qur'an, menurut Yusuf Qardhawi, yakni mengabdi kepada Allah ('Abdullah)[17], sebagai khalifah fil ardhi dan membangun peradaban etis di bumi (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur)[18].