"Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Mahateliliti." (QS. Al Hujurat/49:13)
"Para hadirin, mari kita saksikan penampilan sendratari kolosal berjudul 'Sang Imam' persembahan dari putra-putri Nagari!". Suara Master of Ceremony (MC) disambut gemuruh tepuk tangan peserta Pembukaan MTQ VI KORPRI tadi malam, Senin, 08 November 2022. Maklumat tersebut seakan memanggil hati Penulis untuk maju menyaksikan lebih dekat dari barisan depan para peserta MTQ, dari barisan Kementerian/Lembaga Negara. Maju dengan segala rasa di hati, syukur, haru, kagum sekaligus terkenang dengan sosok 'Sang Imam' tersebut, Tuanku Imam Bonjol, dengan sebagian kisah dan legacy yang Penulis dengar dan saksikan.
Termasuk negeri tempat 'Sang Imam' terakhir hidup dan bersemayam atau dikuburkan, yakni Minahasa dan Manado. Kedua kota itu sendiri, termasuk salah satu negeri yang paling berkesan bagi Penulis, terlebih dalam belajar dan giat moderasi beragama.
Alhamdulillah, pelajaran moderasi beragama Penulis kian lengkap ketika tinggal dan menetap di negeri Al Mulk, negeri 'Para Sultan', bumi Moloku Kie Raha (Provinsi Maluku Utara/Malut). Bahkan hingga Penulis menjejakkan kaki kembali di bumi Minangkabau ini, pada perhelatan literasi Qur'ani ini, MTQ KORPRI. Penulis perlu menegaskan bahwa tulisan ini tidak wicara tentang sejarah kehidupan Tuanku Imam Bonjol, 'Sang Imam'.
Sependek pengetahuan Penulis, Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu Pahlawan Nasional dari Minangkabau, hidup berdakwah agama Islam sekaligus melawan penjajahan kolonial. Berdasarkan sejarah yang Penulis baca dan pelajari, Tuanku Imam Bonjol sosok utama dalam Perang Paderi melawan masyarakat adat yang dibantu oleh pemerintah kolonial Belanda. Perlawanan terhadap masyarakat adat Paderi di sini bukanlah karena dorongan kebencian kepada masyarakat atau tokoh adat, tapi lebih sebagai dorongan dakwah agama Islam yang mencoba meluruskan nilai-nilai adat sesuai dengan ajaran Islam.
Seperti disebutkan pada alur cerita pentas kolosal 'Sang Imam', masyarakat adat Paderi mengalami kekalahan dan meminta bantuan kolonial Belanda, sehingga Tuanku Imam Bonjol mengalami kekalahan dan ditangkap serta dibuang ke luar Nagari Mingkabau. Namun, alur cerita tadi malam tidak sampai pada kehidupan paska pembuangan Tuanku Imam Bonjol dan prajuritnya, yakni di bumi Celebes (Sulawesi), tepatnya kampung Tondano[1].
Dalam sejarah disebutkan, bahwa Tuanku Imam Bonjol dan prajurit pengikutnya ketika hidup di pembuangan tersebut, menjalin hubungan sosial secara baik dengan tokoh setempat dan masyarakat Minahasa yang mayoritas beragama Kristen. Dari proses sosialisasi tersebut, terjadilah amalgamasi/perkawinan campuran antara pengikut Tuanku Imam Bonjol, yang semuanya laki-laki dengan para perempuan Minahasa atas seizin tokoh adat setempat.
Pernikahan tersebut melahirkan suatu akulturasi budaya, yakni kampung 'Jawa Tondano' atau Jaton [2]. Sesuai adat patrilineal [3] masyarakat Minahasa, jika perempuan menikah dengan seorang lelaki, maka ia akan mengikuti suaminya termasuk dalam beragama dan pemberian nama bagi anak-anaknya, yakni mengikut nama fam/ marga suami [4].
Selanjutnya, wicara moderasi beragama, sepengetahuan Penulis merupakan suatu praktik perilaku baik (best practise) masyarakat beragama di kehidupan sosial (bermasyarakat, berabangsa dan bernegara) secara moderat, mengakui perbedaan dan kemajemukan, anti kekerasan serta menghormati kearifan tradisional/kebisaaan masyarakat setempat (local wisdom).
Dalam moderasi beragama diperlukan prinsip-prinsip, antara lain: komitmen kebangsaan, anti kekerasan, berorientasi pada kemaslahatan umum dan menghargai kearifan lokal. Moderasi beragama muncul sebagai salah satu solusi kehidupan sosial, di tengah tantangan kemajuan global ilmu pengetahuan teknologi (IPTEK) dan potensi masalah disintegrasi antar-anak negeri, khususnya bangsa Indonesia.
Potensi konflik sosial menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat Indonesia dengan megadiversitas tinggi, meliputi keanekaragaman sosial (multikultural, aspek sumber daya manusia/SDM) sekaligus keanekaragaman hayati dan potensi biofisiknya (biodiversitas, aspek sumber daya alam/SDA). Selanjutnya, fenomena Cyber-sectarian[5], sebagai sektarian gaya baru berbasis internet dan media sosial, juga menjadi salah satu tantangan praktik moderasi beragama di era kemajuan IPTEK dan kelanjutannya: Era Informasi[6] hingga Era Disrupsi (Inovasi)[7], sekarang ini.
Peran agama dalam masyarakat megadiversitas ini sangat penting, baik dalam pengelolaan SDM maupun SDA. Agama dapat menjadi pemantik sekaligus peredam potensi konflik sosial di 'Negeri Surgawi'[8], bernama Indonesia (Nusantara). Agama menjadi pemantik konflik sosial manakala praktik dan pemahaman agama belum tepat dan cenderung disalahgunakan (dipahami secara tekstual), dan berlebihan. Beberapa ironi praktik beragama tersebut melahirkan kekerasan atas nama agama (fisik-non fisik, individu-komunal, verbal-non verbal) dan potensi konflik sosial lain yang memicu adanya disintegrasi bangsa.
Namun, jika pemahaman dan praktik keberagamaan tersebut sudah tepat, maka agama akan menjadi peredam sekaligus alat pemersatu bangsa melalui toleransi beragama. Moderasi beragama merupakan salah satu ikhtiar untuk mewujudkan toleransi beragama tersebut, hingga terwujud mayarakat harmoni. Menurut Penulis, masyarakat harmoni menjadi impian bagi para pribadi salih dalam berinteraksi dengan sesama.[9]
Kampung Jaton : Legacy 'Sang Imam' di Tanah Minahasa
Apa hubungan Tuanku Imam Bonjol dan moderasi beragama? Menurut Penulis, Tuanku Imam Bonjol, dan para pahlawan pejuang lainnya yang dibuang di Minahasa, merupakan figur yang meninggalkan warisan baik (legacy) terkait praktik moderasi beragama. Segala spirit/semangat moderasi beragama tersebut telah dilakukan oleh dipraktikkan secara baik oleh Tuanku Imam Bonjol dan pengikutnya.
Mereka, para pendakwah tersebut, menjadikan Islam benar-benar sebagai rahmatan lil 'alamien, sehingga bisa bergaul dengan baik dengan masyarakat setempat, mengakui perbedaan, tanpa kekerasan dan tetap menghormati kearifan lokal masyarakat Minahasa. Mereka mengamalkan ayat Al Qur'an, termasuk ayat yang Penulis kutip di atas (QS.Al Hujurat ayat 13). Bahkan, sebagai suami bagi para puan Minahasa, mereka memuliakan istri-istri mereka serta para orang tua, sehingga diterima baik oleh masyarakat Minahasa.
Hingga sekarang, masyarakat Minahasa dan Provinsi Sulawesi Utara pada umumnya terkenal sebagai salah satu pelaksana praktik moderasi beragama, warisan dari Tuanku Imam Bonjol dan para tokoh adat Minahasa sebelumnya. Praktik tersebut bukan bersifat temporal atau musiman (musim hajat politik misalnya), tapi sudah menjadi bagian kehidupan sosial masyarakat Minahasa, dari hubungan kekeluargaan, pesta adat (perkawinan-kedukaan-panen hasil bumi) dan lain sebagainya.
Penghormatan masyarakat Minahasa terhadap para tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat sangat tinggi, apapun agamanya, dari mana pun asalnya. Bahkan, makam Tuanku Imam Bonjol berada di bagian selatan Kota Manado, tepatnya di Desa Pineleng.Hingga sekarang kompleks makam Tuanku Imam Bonjol, dengan corak bangunan Minangkabau, masih sering dikunjungi para peziarah[10] maupun wisatawan lokal.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kampung_Jawa,_Tondano_Utara,_Minahasa
Etika Moloku Kie Raha: Implementasi Moderasi Beragama Nusantara
Penulis kini tinggal dan menetap di Ternate, salah satu kota di wilayah Provinsi Maluku Utara (Malut), yang juga dikenal dengan nama Moloku Kie Raha[11], sebagai identitas sosial budaya masyarakat setempat. Malut mempunyai empat Kesultanan, yakni Ternate (Kota Ternate), Tidore (Kota Tidore Kepulauan), Bacan (Kabupaten Halmahera Barat) dan Jailolo (Kabupaten Halmahera Barat.
Secara umum, empat kesultanan tersebut memiliki tradisi, kebisaaan dan adat istiadat yang bersumber pada ajaran agama Islam. Di luar masyarakat kesultanan sendiri, secara sosiokultural, Malut merupakan miniatur Indonesia dengan tiga 'potensi integral', yakni sipiritualitas, pluralitas (sosial) dan biodiversitas (keanekaragaman hayati, termasuk biofisik dan kondisi SDA-nya). Ketiga potensi tersebut Penulis sebut dengan 'potensi Ekoteologi Moloku Kie Raha'[12]. Berdasar potensi tersebut, Penulis menyampaikan sebuah sintesa bahwa 'Ekoteologi Moloku Kie Raha'sebagai etika lingkungan empat kesultanan Maluku Utara.[13]
Dari konsep etika lingkungan keempat kesultanan tersebut, dan berpadu dengan kearifan lokal masyarakat adat non kesultanan[14] di sepanjang Pulau Halmahera dan sekitarnya, sejatinya praktik moderasi beragama telah menjadi bagian dari nilai sosial budaya masyarakat Malut.
Toleransi Sebumi : Ijtihad Moderasi Beragama
Menurut Penulis, moderasi beragama selain dapat diwujudkan melalui gerakan pencegahan cyber-sectarian di atas, pun dapat diimplementasikan pada aras ekoteologi Moloku Kie Raha, dan bahkan bisa dikembangkan menjadi Ekoteologi Nusantara. Sebagai ijtihad Penulis dalam kajian moderasi beragama ini adalah toleransi sebumi, sebagai salah satu narasi pembangun konsep ekoteologi di atas[15]. Penulis menyebutnya sebagai inisiasi atau ikhtiar sebuah ijtihad untuk menjaga harmoni alam dan harmoni sosial di Nusantara.
Menurut Penulis, jika di wacana teologi, toleransi menjadi sangat mahal dan 'rentan' miskomunikasi baik secara internal maupun secara eksternal. Semisal, fenomena 'Doa Bersama', di beberapa tempat di wilayah Indonesia. Secara internal, masih banyak perbedaan pendapat --dalam Islam disebut khilafiyah-di sesama penganut agama. Secara eksternal, antarpemeluk agama yang berbeda pun relatif belum bisa secara optimal, jika tidak bisa dikatakan secara tulus/ikhlas, mengikuti doa bersama tersebut. Hal ini dikarenakan adanya doktrin teologi yang beranggapan ajaran agamanya paling benar, dan yang lain salah.
Sebaliknya, isu ekologi yang dibawa dalam konsep toleransi relatif lebih 'murah', smooth, potensial dan dapat diusung oleh siapapun --pemeluk agama apa pun, bahkan masyarakat tak beragama pun- yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan/bumi. Ketika para pihak terkait (stakeholder) bertemu di 'hajatan ekologi', seperti penanaman pohon dan bersih lingkungan, mereka secara suka rela dapat menanggalkan baju primordial dan egosektoral. Mereka tidak mengenal frasa: "bagimu tanahmu, bagiku tanahku" sepertihalnya doktrin teologi "lakum diinukum wa liyadiin', tetapi"bumimu bumiku, bumiku bumimu, bumi kita: satu".
Menurut penulis, toleransi sebumi meleburkan semua anak manusia pada kesadaran yang sama untuk merawat satu sajadah/satu altar bumi yang sama dan menjadi wali atasnya dengan spirit kearifan ajaran agama masing-masing. Dalam konsep Islam, hal ini sejalan dengan konsep khalifah fil ardhi [16]. Toleransi Sebumi sebagai ikhtiar dalam moderasi beragama dapat menghantarkan kita pada tujuan penciptaan manusia dalam Al Qur'an, menurut Yusuf Qardhawi, yakni mengabdi kepada Allah ('Abdullah)[17], sebagai khalifah fil ardhi dan membangun peradaban etis di bumi (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur)[18].
Akhirnya, toleransi sebumi dapat menjadi jembatan penghubung 'Harmoni Nusantara', moderasi beragama warisan 'Sang Imam' yang dapat dikembangkan di seluruh pelosok negeri, bahkan di dunia internasional. Wicara toleransi sebumi, moderasi beragama dan kiprah 'Sang Imam' melalui dzarrah tulisan ini menjadikan Penulis kian bangga sebagai anak negeri, Indonesia. Alhamdulillah.
Catatan:
- Artikel ini terpilih sebagai Pemenang I Lomba Penulisan Artikel Al-Qur'an pada MTQ KORPRI Nasional ke-6 di Padang, 6-13 November 2022
- Penulis mewakili Kafilah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
[1] Sebuah desa di tepian Danau Tondano, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara.
[2] Penamaan Jawa-Tondano (Jaton) tersebut dikarenakan selain Tuanku Imam Bonjol dan pengikutnya, pada masapembuangan tersebut juga terdapat pengikut Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo dan para pejuang Jawa yang juga melawan Kolonial Belanda. Selain di Tondano, Pemerintah Kolonial Belanda juga membuang pejuang dari Banten ke wilayah Minahasa lainnya, yang notabene juga mayoritas beragama Kristen, yakni di Tomohon dan terbentuk membentuk kampung ‘Jawa-Tomohon’ atau Jatom.
[3] Patrilineal merupakan pembagian peran gender berdasarkan garis ke-bapa-an (laki-laki).
[4] Hingga kini, salah satu nama marga/fam Minangkabu yang masih ada hingga sekarang adalah marga ‘Baginda’, di kampung Jaton. Sedangkan nama marga Jawa di kmapung Jaton, antara lain: Kyai Demak, Mojo, Maspeke/Mas Pekik, dan sebagainya. Di Kota Tomohon, nama marga Banten yang masih ada adalah ‘Tubagus’, selain Masloman/Mas Sulaiman, dan sebagainya.
[5] Menurut Thornton, sebagaimana dikutip Hafiz Al Asad, Cyber-sectarian merupakan bentuk organisasi yang menyangkut tentang sekelompok kecil pembangkang yang bergerak secara anonim dalam konteks sosial yang lebih luas dan berjalan secara rahasia, namun dalam masih tetap terhubung dengan jaringan para penganut yang lebih besar yang memiliki kesamaan praktik serta pedoman. Lihat, Hafiz Al Asad, “Cybersectarian dan Urgensi Fatwa MUI: Merawat Keberagaman Menjaga Ketahanan Bangsa” dalam Asrorun Ni’am Saleh, Dr. (ed.), 2017. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Dalam Pandangan Akademisi, Peran Fatwa MUI Dalam Kehidupan Berbangsa dan Beragama, Jakarta : Majelis Ulama Indonesia, Cetakan pertama, hal. 5.
[6] Menurut ramalan Alvin Toffler (1980), dunia kita telah memasuki gelombang ketiga, sebagai tanda kita telah berada pada era informasi:”Sebuah komunitas global elektronik saat manusia begitu mudah menjangkau segala jasa dan informasi tanpa batas dan membangun komunitasnya, berinteraksi bukan berdasarkan jarak geografi, melainkan karena kesamaan minat”. Menurut Rhenald Kasali, ramalan Toffler itu menggerakkan para pelaku, pionir, dan disruptor teknologi sehingga lahirlah internet. Lihat, Rhenald Kasali, 2022. Disruption, Tak Ada yang Tak Bisa Diubah Sebelum Dihadapi, Motivasi Saja Tidak Cukup, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cetakan keduabelas, hal. 56.
[7] Menurut Rhenald Kasali, disruption adalah sebuah inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru, berpotensi menggantikan pemain-pemain lama dengan yang baru serta menggantikan teknologi lama yang serbafisik dengan teknologi digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru dan lebih efisien, juga lebih bermanfaat. Ibid., hal. 34.
[8] Puisi ‘Negeri Surgawi 1-4’ menjadi salah satu ilustrasi Penulis menggambarkan salah satu negeri Nusantara, di mana Penulis tinggal, yakni di Maluku Utara (Malut). Puisi tersebut terkompilasi dalam Bambang Kariyawan YS, (ed.), 2017.Metamorfosis Rimba, Sehimpun Puisi Hijau Warga SMA Cendana & Penyair Tamu, Depok-Jawa Barat: Imaji Indonesia, hal. 123-126.
[9] Lihat, Mahmud, Muh. Arba’in (2), 2021.Ekoteologi Moloku Kie Raha, Gagasan Kendali Ekosistem Hutan Maluku Utara, Yogyakarta:Deepublish, hal. 48. Penulis mengklasifikasi kesalihan beragama menjadi tiga kategori, yakni a) Salih Diri/Pribadi; b) Salih Sosial; dan Salih Ekologi/Lingkungan. Lebih lanjut, tentang kesalihan ini, lihat Malut Post, 21 Februari 2014 dan terangkum pula pada buku sebelumnya, Mahmud, Muh. Arba’in (1), 2015. Ekoteologi Moloku Kie Raha, Gagasan Pengendalian Ekosistem Hutan Maluku Utara, Yogyakarta:The Phinisi Press.
[10] Para perantau Minangkabau dan sebagian wisatawan Muslim di Manado biasa berziarah di makam Tuanku Imam Bonjol.Selain makam Tuanku Imam Bonjol, terdapat bangunan masjid Imam Bonjol dan batu bekas tapak kaki/tilas, tempat Tuanku Imam Bonjol bersujud. Para perantau Minangkabau dan sebagian wisatawan Muslim di Manado biasa berziarah di makam Tuanku Imam Bonjol.
[11] Secara etimologi, Moloku artinya: Maluku, Kie: Gunung dan Raha: Empat. Frasa ‘Empat Gunung” sendiri menggambarkan keberadaan empat gunung/pulau Malut, yakni gunung Ternate, gunung Tidore, gunung Makian dan gunung Moti. Dalam sejarahnya, keempat gunung tersebut bertransformasi menjadi kerajaan-kerajaan (Kesultanan) di Malut, yakni Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Bacan dan Kesultanan Jailolo. Lebih lanjut, lihat Amin, Safrudin, “Analisis Struktural Terhadap Mitos “Tujuh Putri” pada kebudayaan Ternate , Maluku Utara, dalam Ibnu Maryanto dan Hari Sutrisno (ed.), 2011. Ekologi Ternate, Jakarta:LIPI Press. Konsep Moloku Kie Raha muncul pertama kali oleh Fr. Valentijn yang menggambarkan empat kerajaan sebagai satu kesatuan, terdiri dari Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan. Lihat, Pora, Syahyunan, 2014. Filosofis Kearifan Lokal Sastra Lisan Ternate, dalam Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404.
[12] Frasa ‘Ekoteologi’ merupakan bentuk teologi konstruktif membahasa interrelasi antara agama dan alam, terutama dalam menatao masalah lingkungan. Abdullah, Mudhofir, 2010. Al Qur’an dan Konservasi Lingkungan, Argumen Konservasi Lingkungan SebagaiTujuan Tertinggi Syari’ah, Jakarta: Dian Rakyat, hal. 133. Dari konsep ekoteologi tersebut, muncul spirit baru pengelolaan SDA, yakni motif devosi/penghambaan/ibadah, selain motif ekonomi, motif sosial dan motif ekologi. Lebih lanjut tentang, potensi ekoteologi Moloku Kie Raha, lihat, Mahmud, Muh.Arba’in, (2), op.cit.hal.11-13.
[13] Lebih lanjut tentang hal ini, baca ibid.,hal. 10-37.
[14] Menurut data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, jumlah masyarakat adat di Maluku Utara kurang lebih 57 komunitas yang terdaftar, dan kurang lebih 100 yang belum terdaftar. Ibid., hal. 76. Penulis sendiri mengklasifikasikan keberadaan masyarakat adat di Maluku Utara menjadi dua, yakni Masyarakat Adat Kesultanan danBukan Kesultanan. Hal ini dikarenakan perbedaan persepsi Penulis dengan pegiat AMAN Maluku Utara yang tidak mengakui Kesultanan sebagai masyarakat adat. Lebih lanjut, bacaibid., hal. 76-78.
[15] Beberapa narasi integral yang gayut di konsep ekoteologi tersebut, antara lain : kesalihan ekologi, fikih lingkungan, toleransi sebumi dan resolusi hijau. Lihat, ibid. xxii-xxiii.
[16] QS. Al Baqarah/2:30, QS. Fatir/35:39. Robin Attfield (2010) menyebutkan frasa ‘Wali Planet’. Attfield, Robin, 2010. Etika Lingkungan Global, Jogjakarta: Kreasi Wacana, cetakan pertama.
[17] QS. Adz Dzariyat/51:56.
[18] QS. Saba’/34:15. Lihat, Abdullah, Mudhofir, op.cit., hal.237.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Mudhofir, 2010. Al Qur'an dan Konservasi Lingkungan, Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syari'ah, Jakarta: Dian Rakyat.
Asrorun Ni'am Saleh, Dr. (ed.), 2017. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Dalam Pandangan Akademisi, Peran Fatwa MUI Dalam Kehidupan Berbangsa dan Beragama, Jakarta : Majelis Ulama Indonesia, Cetakan pertama.
Attfield, Robin, 2010. Etika Lingkungan Global, Jogjakarta: Kreasi Wacana, cetakan pertama.
Bambang Kariyawan YS, (ed.) 2017. Metamorfosis Rimba, Sehimpun Puisi Hijau Warga SMA Cendana & Penyair Tamu, Depok-Jawa Barat: Imaji Indonesia.
Ibnu Maryanto dan Hari Sutrisno (ed.), 2011. Ekologi Ternate, Jakarta: LIPI Press.
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404.
Kementerian Agama Republik Indonesia,2014. Semesta Quran, Bandung: Penerbit Semesta Al Qur'an.
Mahmud, Muh. Arba'in (1), 2015. Ekoteologi Moloku Kie Raha, Gagasan Pengendalian Ekosistem Hutan Maluku Utara, Yogyakarta: The Phinisi Press.
------, (2), 2021. Ekoteologi Moloku Kie Raha, Gagasan Kendali Ekosistem Hutan Maluku Utara, Yogyakarta: Deepublish.
Malut Post, 21 Februari 2014.
Rhenald Kasali, 2022. Disruption, Tak Ada yang Tak Bisa Diubah Sebelum Dihadapi, Motivasi Saja Tidak Cukup, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cetakan keduabelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H