Tulisan ini adalah 'hutang literasi' penulis kepada kawan-kawan pegiat lingkungan di Maluku Utara yang tengah berjuang, baik di medan ilmiah (diskusi publik, FGD), aksi jalanan hingga yang berkesempatan mendampingi langsung di lapangan, seperti AMAN.
Pun penulis pernah menyampaikan dzarrah ide terkait 'Tambang dan Akejira' pada Diskusi Publik Hima Sylva, Fakultas Pertanian, Unkhair pada 22 September 2019 di Gambesi.
Ada apa dengan Akejira?
Kisah Akejira bermula ketika sebagian warga Tobelo Dalam, Kelompok Akejira, Halmahera Tengah mengadu ke Rumah Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Maluku Utara pada 4 September 2019 (jalamalut.com). Mereka mengeluhkan ekspansi pembukaan lahan perusahan tambang nikel yang terus menyerobot lahan ruang hidup masyarakat adat Akejira guna pembuatan camp, jalan tambang dan sarana pendukung lainnya.
Ibarat bola salju, kisah pilu masyarakat Akejira tersebut, yang disampaikan langsung oleh para korban (subjek terdampak) terus menggelinding hingga menjadi salah satu drama tragedi ekologi di bumi Moloku Kie Raha.
Berdasar data AMAN Malut, wilayah Tobelo Dalam, Kelompok Akejira memiliki 15 wilayah adat, yakni Ma, Kokarebok, Folajawa, Komao, Ngoti-Ngotiri, Sakaulen, Namo, Talen, Ngongodoro, Susu Buru, Kokudoti, Sigi-Sigi, Mein, Tofu Blewen dan Lapan. Mereka merupakan wilayah adat Tobelo Dalam yang telah hidup ratusan tahun lamanya serta turun-temurun.
Selain dari perusahaan tambang, Kelompok Tobelo Dalam juga ditekan oleh ekspansi masyarakat pesisir melalui bangunan pemukiman, pengelolaan kebun dan penguasaan lahan yang pada akhirnya disewakan kepada perusahaan tambang.
Menurut Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Malut, kebijakan perusahan dan intervensi warga pesisir berbentuk penguasaan lahan menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup kelompok Tobelo Dalam Akejira.
Di samping berkurangnya anggota komunitas, yakni tersisa dua kepala keluarga sebanyak 8 orang, 3 orang laki-laki berusia remaja dan 5 orang perempuan, mereka ini juga seringkali mengalami krisis pangan. Sebuah ironi Negeri Surgawi yang gemah ripah loh jinawi tenteram dan makmur serta sangat subur tanahnya, Moloku Kie Raha.
Mengapa Ekoteologi?
Menurut Mudhofir Abdullah, ekoteologi (ecotheology) merupakan bentuk teologi konstruktif membahas interrelasi antara agama dan alam, terutama dalam menatap masalah-masalah lingkungan.