Krisis Perilaku, bukan Krisis Air
Mengutip simpulan opini Direktur PDAM Ternate tersebut, sejatinya Ternate belum dikategorikan krisis air, tetapi permasalahan yang terjadi adalah sikap dan perilaku "BOROS" dalam menggunakan air. Hal ini memaksa PDAM menambah kapasitas produksi air yang lebih besar lagi, maka menurut penulis, akar masalah ini yang menjadikan alasan ataupun sekadar apologiapihak PDAM menjadikan Danau Laguna sebagi sumber air baru.
Siapa tersangka? Adalah kita semua pengguna air PDAM Ternate (pelanggan), minus sebagian pelanggan yang tengah malam berjuang menampung air mengalir sehari sekali, setiap 'sepertiga' malam terakhir. Pun minus warga Ternate lainnya yang belum menikmati sambungan air PDAM sehingga harus membeli air mobil sebanyak satu tangka profil kapasitas 1.000 liter atau 1 meter kubik per 2 atau tiga hari sekali.
Pada rubrik Pro Publik harian ini, 21 Maret 2018 lalu, permasalahan air bersih menjadi bahan diskusi Hari Air Sedunia (setiap 22 Maret) meski Kota Ternate belum tergolong kondisi krisis air secara kuantitas maupun kualitas. Namun, pertumbuhan populasi penduduk dan dinamika kota yang sangat pesat dan diperparah oleh pemanfaatan sumber air tanah yang tidak terkontrol serta perilaku boros dalam penggunaan air bersih menjadikan ancaman krisis air tersebut kian nyata (MP, 24-03-2018).Â
Beberapa solusi ditawarkan pada diskusi tersebut, dari upaya konservasi tanah dan air (melalui penghijauan Daerah Aliran Sungai / DAS maupun pembuatan sumur resapan), pembuatan regulasi spesifik, kampanye hemat air hingga penguatan kelembagaan / komunitas, seperti Forum Penyelamat Air, Forum DAS Gamalama, Gema Camtara dan sebagainya.
Maka, sejatinya Kota Ternate tidak mengalami krisis air tetapi lebih pada 'krisis perilaku' atau rendahnya 'kesalihan ekologi'. Selanjutnya, krisis perilaku ini tak sebatas hal pemborosan air bersih an sichtetapi juga menyangkut kesadaran rendah terhadap lingkungan. Anehnya, negeri yang sarat nilai-nilai religi dan adat istiadat tersebut tidak berbanding lurus dengan meningkatnya kesalihan ekologi masyarakatnya.Â
Beberapa tradisi dan aktivitas keagamaan justru berpotensi menghasilkan ironi, seperti produksi sampah anorganik (plastik, botol minuman) berlimpah, penggunaan air sembahyang berlebihan hingga pemakaian listrik dan bahan bakar mineral (BBM) yang tidak hemat energi.Â
Pada sidang KPA Ternate tersebut, Penulis pun tak mungkin menganulir keputusan KPA termasuk Tim Teknis dan Tenaga Ahli, selain mengkritis dokumen KA AMDAL dan pelaksanaannya. Pada dokumen setebal hampir 400 halaman tersebut, penulis menemukan dua hal yang saling berhadapan, yakni janji ekonomi versus komitmen ekologi.
Secara umum, dokumen tersebut memberikan harapan positif secara ekonomi bagi masyarakat Ternate, khususnya sekitar Laguna. Terbukanya kesempatan kerja, peluang berusaha, meningkatnya pendapatan masyarakat, pengembangan wilayah / penduduk hingga peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) menjadi 'nilai ekonomis' dalam proyek ini. Berdasarkan hasil konsultasi publik, masyarakat Kelurahan Fitu dan Ngade berharap pengembangan Laguna sebagai destinasi pariwisata, selain sebagai sumber air yang notabene sebuah treatmentbaru.
Hal yang kurang dari dokumen tersebut adalah pernyataan tertulis para pihak, termasuk warga sekitar Laguna, untuk membuat komitmen ekologi terkait rencana proyek PDAM Ternate ini. Komitmen ekologi ini dapat berupa tanggung jawab pemerintah -diwakili pemrakarsa (PDAM Ternate)- untuk tetap mempertahankan ekosistem Laguna, termasuk membuat langkah-langkah konservasi tanah dan air di DAS Ternate.