Mohon tunggu...
Moehar Sjahdi
Moehar Sjahdi Mohon Tunggu... Freelancer - Titik nihil

Lelaki sagu dari Tenggara Maluku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Covid-19 dan Ujian Kedaulatan Kita

6 April 2020   01:31 Diperbarui: 6 April 2020   02:09 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak habis-habisnya kita dihadang masalah” – Goethe (1749-1832), penyair Jerman.

Seperti mencari-cari sebatang dua jarum dalam tumpukan jerami, pun betapa ruwetnya menemukan sesosok dua negarawan bangsa ini di tengah-tengah ujian kedaulatan (politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain) yang dihadapi. Kita, dalam perumpamaan jarum dalam tumpukan jerami itu, seapi dua tungku dalam situasi krisis yang mulai akut: Krisis kedaulatan itu sendiri.

Pandemi Covid-19 (Coronavirus Disease 2019), antara lain, ialah satu di antara yang menandai krisis tersebut. Di satu sisi dapat dilihat sebagai sebuah upaya bagi kerapuhan global.

Oleh karena dampaknya yang begitu massif menyebabkan kepanikan, bahkan kematian massal itu sendiri, nyaris terhadap seluruh warga dunia hari-hari ini.

Di sisi lain, justru mesti direspons, tentu sebagai sebuah ujian kedaulatan, di mana pada titik inilah ukuran bagi seorang anak bangsa (terutama di kalangan para elit politik pemerintah, selaku pemangku kebijakan, mandataris rakyat)—meminjam perkataan Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif—dapat diakui ‘naik kelas’ menjadi negarawan atau justru ‘tinggal kelas’, tersungkur pada hanya sekadar pemain (politik) lima tahunan di setiap musim pemilu.

Sebagai sebuah ekses global, efek pandemi Covid-19 telah memicu perhatian kolektif masyarakat dunia untuk memulai gerakan bersama melawan pandemi tersebut.

Apa yang disasar dari gerakan seperti itu ialah semacam penambah ‘imune’ kemanusiaan, boleh jadi, yang datang dari derajat iman (kesadaran) manusia yang paling sublim.

Sehingga bukan tidak mungkin, seruan tentang urgennya saling menjaga (social/physical distancing, self isolation, stay at home, dan semacamnya) merupakan tindakan kecil yang disepakati bersama demi memutus mata rantai penyebaran pandemi dimaksud. Sebuah tindakan yang justru lebih cenderung merepresentasi apa yang oleh Durkheim (1858-1917) disebut sebagai: solidaritas sosial.

Dalam konteks Indonesia, tindakan yang sama persis baru dimulai ketika secara resmi diumumkan bahwa terdapat kurang lebih dua pasien yang positif terpapar pandemi Covid-19 oleh Presiden Joko Widodo.

Hanya berselang beberapa bulan setelah penyebaran pandemi tersebut yang mengakibatkan Wuhan, salah satu kota di Republik Tiongkok, akhirnya diisolasi secara total (lockdown).

Hingga hari ini, jumlah pasien yang wafat per tanggal 5 April 2020 akibat positif terpapar Covid-19 di Indonesia (sebagaimana dilansir sehatnegeriku.kemkes.go.id) mencapai 198 orang. Sementara yang dinyatakan positif berjumlah 2.273 orang. Bukan tidak mungkin secara potensial, jumlah tersebut akan terus meningkat.

Persoalannya saat ini, tentu bukan hanya terkait gerak preventif serta antisipatif yang mestinya lebih awal diambil pemerintah sesaat ketika Wuhan resmi diisolasi.

Persoalan lain yang runyam dihadapi saat ini pula ialah mengenai beban sosial yang harus ditanggung seluruh warga  negeri ini sebagai dampak ikutan dari respons pemerintah sendiri terhadap penyebaran pandemi tersebut. Hal itu sempat diperparah dengan kebijakan pemanfaatan regulasi yang cenderung “bertepuk sebelah tangan”—untuk tidak disebut berwatak otoritarian.

Beban sosial tersebut seakan mengurai lagi kisah kelam bangsa ini kembali pada titik nadir pergolakannya menghadapi krisis multidimensi yang puncaknya pada akhir rezim Orde Baru.

Betapa bukan, mulai dari nilai tukar rupiah yang anjlok secara signifikan, nyaris mencapai dua puluh ribu rupiah per dollar AS, entah masih berpeluang naik lagi dan lagi? Pada saat bersamaan, RUU Omnibus Law, yang meskipun telah menuai kritik dan penolakan pengesahannya oleh berbagai elemen strategis di kalangan basis rakyat (buruh, tani, nelayan, termasuk civil society, dan sebagainya), sebab dinilai mengancam masa depan kehidupan bangsa, tapi toh seperti tak lantas dihiraukan. Toh, “anjing menggonggong, khafilah pun berlalu.”

Tak perlu menunggu waktu lama seperti rakyat disuruh mendekam di rumah masing-masing tanpa diberi jaminan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari akibat pandemi Covid-19, ketukan palu pengesahan RUU Omnibus Law mungkin akan segera dieksekusi, demi (dari, oleh dan untuk): i-n-v-e-s-t-a-s-i.

Belum lagi terkait pro kontra rencana pemindahan ibu kota negara sebagai konsekuensi logis dari pengesahan RUU Omnibus Law tersebut, dan masih berderet lagi persoalan yang tengah dihadapi bangsa ini.

Seolah tak pernah kunjung keluar dari situasi krisis yang kian hari semakin mencekik. Mencermati situasi bangsa dan negara seperti ini, kekhawatiran yang muncul kemudian, ialah hilangnya kepercayaan publik (public untrust) serta rasa empati kepada para elit kekuasaan, justru karena ‘dosa kebangsaan’, serupa kealpaan, keteledoran menjalankan fungsi kekuasaan itu sendiri.

Sehingga jangan-jangan, justru bukan Covid-19 yang berbahaya, tapi public untrust kepada para elit kita, tersebab salah atur kuasa?                

Mencari negarawan

Mengutip kalimat Goethe (1749-1832) di atas, seorang penyair yang juga ilmuwan dan filsuf berkebangsaan Jerman (sebagaimana digambarkan Ignas Kleden dalam sebuah pengantar pada buku Etika Pembebasan karya Dr. Soedjatmoko), untuk menunjuk perasaan gagalnya sebagai seorang peneliti alam, terutama ketika ia sedang menghadapi kesulitan teoretis untuk menjelaskan banyak gejala alam, pada Soedjatmoko kalimat tersebut justru menunjuk pada kesulitan praktis, bahwa terhadap otonomi dan kebebasan manusia selalu saja ada ancaman di mana-mana.

Menurut saya, pada situasi bangsa yang cenderung ke arah kolaps seperti ini, justru yang diharapkan hadir menyudahi kekarutmarutan, mampu menciptakan keadaan menjadi seimbang, mestinya ialah mereka yang disebut: “Sang Messiah”, “Ratu Adil”, atau dalam konteks kepemimpinan negara demokratis, biasa disebut: Negarawan. Bukan lagi para komprador atau begundal politik yang hanya lihai mementingkan pemenuhan hasrat jangka pendek semata.

Sebab, dalam sebuah kesulitan praktis, kelompok inilah yang justru menjadi ancaman terhadap—apa yang diistilahkan Soedjatmoko (1922-1989) sebagai—otonomi dan kebebasan manusia. Sayang, seiring menuanya usia keberbangsaan kita, justru yang saat ini mendominasi (lahirnya kebijakan, keputusan strategis di level publik, atau regulasi) ialah bukan para negarawan. Dominasi itu seperti satu (negarawan) dibanding seribu (politikus).

Tentu, ujian kedaulatan yang tengah kita hadapi saat ini akan semakin berat dan melelahkan. Entah kapan berujung dan langit negeri ini akan kembali cerah? Setidaknya, dengan ‘kehadiran’ pandemi Covid-19 yang melanda negeri ini, sudah cukup menjelaskan posisi yang mana yang sekadar disebut politikus dan mana yang layak berada pada derajat negarawan.               

Melampaui Covid-19, mungkinkah?

Solidaritas, seyogianya merupakan kata kunci sekaligus gerakan praksis, bukan hanya untuk pandemi Covid-19, tapi pula bagi ujian kedaulatan yang kita hadapi. Sesuatu yang melampaui Covid-19.

Secara teoretis, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa Durkheim, dikenal juga sebagai bapak Antropologi dan Sosiologi dari Perancis, ialah orang yang menyebut solidaritas sebagai keteraturan yang merupakan keadaan normal dari suatu masyarakat.

Menurut Durkheim, solidaritas terbentuk dari kesadaran kolektif dalam masyarakat, sehingga efek negatif akibat kejahatan yang dilakukan oleh individu adalah pelanggaran terhadap solidaritas. Ia lantas mengklasifikasi, setidaknya dua bentuk solidaritas.

Pertama, solidaritas mekanik atau bentuk solidaritas yang bersifat retributif (ganti rugi), di mana persamaan selalu menjadi pertimbangan, sebagai konsekuensi logisnya ialah individu atau pelaku pelanggaran terhadap solidaritas akan diberi sanksi atau hukuman setimpal pelanggaran yang dilakukan.

Kedua, solidaritas organik atau solidaritas yang bersifat restitutif (pemulihan), yaitu bentuk solidaritas yang mempertimbangkan perbedaan individu-individu yang terspesialisasi dalam masyarakat. Oleh karenanya, bentuk solidaritas ini cenderung menghendaki keseimbangan melalui upaya pemulihan demi terciptanya keteraturan.

Dalam pengertian yang lebih mutakhir, Harari, sejarawan kesohor abad ini, melalui sebuah tulisannya bertajuk The world after Coronavirus, terbit  pada 20 Maret 2020 di Financial Times, memberi penegasan tentang betapa mendesak dan urgennya sebuah tindakan kolektif atau apa yang disebutnya sebagai solidaritas global.

Sebuah bentuk respons masyarakat global menghadapi pandemi Covid-19. Seolah hendak mengonfirmasi Durkheim, menurut Harari, kita mungkin tak akan pernah mampu melewati segala bentuk krisis termasuk melawan pandemi Covid-19 tersebut tanpa adanya solidaritas (global). Atau dengan perkataan lain, upaya ke arah melampaui Covid-19 hanya mungkin terjadi apabila digerakkan melalui proses solidaritas itu sendiri.

Dari kedua aras pemikiran di atas, setidaknya dapat dipahami, bahwa masih terbersit secercah harapan di tengah ujian kedaulatan yang kita hadapi saat ini. Meskipun tak dapat juga dimungkiri, bahwa ujian kedaulatan yang berarti pula menandai krisis kedaulatan bangsa ini justru lebih disebabkan oleh defisitnya kaum negarawan, tapi surplus para politikus.

Menyudahi catatan singkat ini, rasanya perlu saya sertai dengan sebuah pertanyaan remeh temeh: Kapan sih ‘naik kelas’-nya para politikus

 kita?

Penulis adalah Peminat Kajian Demokrasi; Mahasiswa Pascasarjana FISIP-UI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun