Mohon tunggu...
Moehar Sjahdi
Moehar Sjahdi Mohon Tunggu... Freelancer - Titik nihil

Lelaki sagu dari Tenggara Maluku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Covid-19 dan Ujian Kedaulatan Kita

6 April 2020   01:31 Diperbarui: 6 April 2020   02:09 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingga hari ini, jumlah pasien yang wafat per tanggal 5 April 2020 akibat positif terpapar Covid-19 di Indonesia (sebagaimana dilansir sehatnegeriku.kemkes.go.id) mencapai 198 orang. Sementara yang dinyatakan positif berjumlah 2.273 orang. Bukan tidak mungkin secara potensial, jumlah tersebut akan terus meningkat.

Persoalannya saat ini, tentu bukan hanya terkait gerak preventif serta antisipatif yang mestinya lebih awal diambil pemerintah sesaat ketika Wuhan resmi diisolasi.

Persoalan lain yang runyam dihadapi saat ini pula ialah mengenai beban sosial yang harus ditanggung seluruh warga  negeri ini sebagai dampak ikutan dari respons pemerintah sendiri terhadap penyebaran pandemi tersebut. Hal itu sempat diperparah dengan kebijakan pemanfaatan regulasi yang cenderung “bertepuk sebelah tangan”—untuk tidak disebut berwatak otoritarian.

Beban sosial tersebut seakan mengurai lagi kisah kelam bangsa ini kembali pada titik nadir pergolakannya menghadapi krisis multidimensi yang puncaknya pada akhir rezim Orde Baru.

Betapa bukan, mulai dari nilai tukar rupiah yang anjlok secara signifikan, nyaris mencapai dua puluh ribu rupiah per dollar AS, entah masih berpeluang naik lagi dan lagi? Pada saat bersamaan, RUU Omnibus Law, yang meskipun telah menuai kritik dan penolakan pengesahannya oleh berbagai elemen strategis di kalangan basis rakyat (buruh, tani, nelayan, termasuk civil society, dan sebagainya), sebab dinilai mengancam masa depan kehidupan bangsa, tapi toh seperti tak lantas dihiraukan. Toh, “anjing menggonggong, khafilah pun berlalu.”

Tak perlu menunggu waktu lama seperti rakyat disuruh mendekam di rumah masing-masing tanpa diberi jaminan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari akibat pandemi Covid-19, ketukan palu pengesahan RUU Omnibus Law mungkin akan segera dieksekusi, demi (dari, oleh dan untuk): i-n-v-e-s-t-a-s-i.

Belum lagi terkait pro kontra rencana pemindahan ibu kota negara sebagai konsekuensi logis dari pengesahan RUU Omnibus Law tersebut, dan masih berderet lagi persoalan yang tengah dihadapi bangsa ini.

Seolah tak pernah kunjung keluar dari situasi krisis yang kian hari semakin mencekik. Mencermati situasi bangsa dan negara seperti ini, kekhawatiran yang muncul kemudian, ialah hilangnya kepercayaan publik (public untrust) serta rasa empati kepada para elit kekuasaan, justru karena ‘dosa kebangsaan’, serupa kealpaan, keteledoran menjalankan fungsi kekuasaan itu sendiri.

Sehingga jangan-jangan, justru bukan Covid-19 yang berbahaya, tapi public untrust kepada para elit kita, tersebab salah atur kuasa?                

Mencari negarawan

Mengutip kalimat Goethe (1749-1832) di atas, seorang penyair yang juga ilmuwan dan filsuf berkebangsaan Jerman (sebagaimana digambarkan Ignas Kleden dalam sebuah pengantar pada buku Etika Pembebasan karya Dr. Soedjatmoko), untuk menunjuk perasaan gagalnya sebagai seorang peneliti alam, terutama ketika ia sedang menghadapi kesulitan teoretis untuk menjelaskan banyak gejala alam, pada Soedjatmoko kalimat tersebut justru menunjuk pada kesulitan praktis, bahwa terhadap otonomi dan kebebasan manusia selalu saja ada ancaman di mana-mana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun